Wednesday, December 06, 2006

Hak Legal Atas Land Reform: Kumpulan Berita


Politik & Hukum Jumat, 14 Juli 2006 Agraria
Tanah untuk Rakyat
B Josie Susilo Hardianto

Keterlaluan jika seekor tikus mati di lumbung padi yang penuh dengan gabah kering panen. Mati kekenyangan melahap gabah itu atau mati karena tidak mau memakan gabah tersebut. Kesimpulannya tetap sama, tak tahu diri. Kerakusan menyebabkan tikus itu mati, demikian juga kebodohan membuatnya binasa.

Meski nilainya lain, fakta kematian warga akibat busung lapar adalah peristiwa yang juga menyedihkan, memprihatinkan, dan menyakitkan.

Sebagai negara dengan tradisi agraris dan kelautan, justru para petani dan nelayan mereka hidup dalam impitan kemiskinan. Itu adalah fakta menyakitkan di negeri yang mengenal mitos Dewi Sri, personifikasi tanaman padi, simbolisasi kesejahteraan.
Subardi, petani asal Ciamis, Jawa Barat, dalam sebuah aksi di Bundaran Hotel Indonesia, Mei lalu, mengutarakan, banyak petani di desanya tidak lagi memiliki tanah. Mereka umumnya menjadi buruh tani.

Ketika panen mereka hanya memperoleh uang Rp 1.750 dari tiap kilogram gabah yang mereka jual. Padahal, pada saat yang sama, harga tiap kilogram pupuk urea telah mencapai Rp 2.000. Tidak mengherankan jika kemiskinan menjadi bagian hidup mereka dan persoalan kepemilikan tanah kembali menguat, gugatan petani tentang itu menjadi marak.

Apalagi ketika akses terhadap modal produksi itu makin menyempit. Satu peristiwa yang menarik perhatian adalah bentrok di antara petani Desa Tanak Awu, 30 kilometer arah timur Mataram, Lombok, minggu 18 September 2005.

Bentrokan itu menyebabkan 11 polisi dan 40 warga luka-luka. Tempat bentroknya adalah tempat pertemuan Serikat Tani sekaligus lokasi rencana pembangunan bandara internasional. Kontan insiden itu menarik perhatian.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria Usep Setiawan pada 26 September 2005 di Kompas menulis bahwa bentrok itu adalah kado pahit di hari tani yang setiap tahun diperingati pada 24 September. Ia mengemukakan, tragedi itu merupakan isyarat represifnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Penolakan atas perpres itu bermunculan karena dinilai tidak berpihak kepada petani. Alasannya, aturan itu tidak mengakomodasi kepentingan rakyat. DPR pun memberi rekomendasi agar perpres itu ditunda dan direvisi.

Lalu, muncullah Perpres No 65/2006 yang adalah revisi dari Perpres No 36/2005. Namun, bagi para petani dan pemerhati hak asasi manusia, revisi itu isinya setali tiga uang. Sebagaimana pendahulunya, Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tetap dianggap berpihak pada kepentingan kapital, khususnya dunia infrastruktur.

Koalisi lembaga swadaya masyarakat seperti YLBHI, PBHI, KPA, dan FSPI dengan tegas menolak perpres tersebut. Mereka, misalnya, menunjuk Pasal 13 dalam perpres itu sebagai salah satu contoh ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat, khususnya petani. Pasal itu hanya menyatakan, untuk pelepasan tanah, ganti rugi yang diberikan bisa berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, dan atau gabungan dari itu atau bentuk ganti kerugian lain.

Padahal, harusnya penggantian kerugian mestinya menjamin mereka yang dirugikan untuk tidak mengalami penurunan kualitas hidup. Ganti kerugian itu mestinya juga mempertimbangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pemerintah dianggap kurang peka terhadap tuntutan rakyat, khususnya petani, yang membutuhkan tanah. Koalisi LSM itu kemudian merujuk Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang dianggap lebih memberi tempat dan jaminan bagi petani.

Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengemukakan, dalam UU Pokok Agraria itu hak petani untuk memperoleh dan memiliki tanah dijamin. Ada konsolidasi tanah yang kemudian menjadi subyek reforma agraria.

Dalam Pasal 11, misalnya, disebutkan jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 13 juga disebutkan bahwa pemerintah berusaha agar usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat. Dalam ayat berikutnya bahkan pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi dan perorangan yang bersifat monopoli swasta.

Gunawan mengungkapkan, UU Pokok Agraria itu memang memberi jaminan kepada rakyat kecil kepemilikan tanah dan mencegah munculnya tuan tanah. Namun, kelemahan dari UU Pokok Agraria adalah idiom- idiom sosialisme Indonesia yang tentu saja tidak lagi laku untuk saat ini. Namun, aturan itu, dalam banyak hal, tetap cocok untuk saat ini karena mampu meredam munculnya konflik agraria dan dapat menjadi dasar bagi strategi pembangunan ekonomi yang lebih luas.

Usep Setiawan mengatakan, Perpres Nomor 65/2006 jelas-jelas menjadi karpet merah bagi investor. Infrastructure Summit yang bakal diselenggarakan Oktober mendatang menjadi titik yang memang dituju pemerintah.

Hal senada dikatakan Henry Saragih dari Federasi Serikat Petani Indonesia. Perpres Nomor 65/2006 dilihat dalam posisi yang lebih memihak pemilik modal. Kebijakan itu dilihat sebagai komitmen pemerintah yang berencana menggelar Infrastructure Summit II. Pertemuan yang akan diikuti investor di bidang infrastruktur itu mengingatkan kembali Infrastructure Summit I, Januari 2005, saat pemerintah menjanjikan berbagai kebijakan yang mempermudah masuknya investasi ke Indonesia.
Saragih mengemukakan, dari Pasal 5 Perpres Nomor 65/2006 itu tampak bahwa semua proyek yang disebutkan dalam pasal itu adalah proyek-proyek dalam bidang infrastruktur.
Para aktivis itu mengaku tidak anti terhadap pembangunan, tetapi pembangunan tidak boleh begitu saja mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Patra Zen dari YLBHI mengatakan, pemindahan warga haruslah membuat warga itu menjadi lebih sejahtera. "Penggusuran atau pemindahan rakyat tak boleh menyebabkan mereka dipisah dari akses terhadap mata pencarian mereka. Pemindahan tidak boleh membuat mereka lebih menderita," katanya.

Tanah yang adalah modal dasar bagi rakyat menjadi makin penting, apalagi saat ini Indonesia tak mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan nasional. Tidak hanya itu. Pada sektor perkebunan pun petani Indonesia tertinggal dari Vietnam.

Keberpihakan kepada rakyat juga menjadi perhatian anggota Komisi II DPR, M Nazir Djamil (Fraksi PKS, NAD I). Ia mengatakan, umumnya apa yang disebut dengan pembangunan untuk kepentingan umum tetap berkorelasi dekat dengan kepentingan kapital.

Oleh karena itu, Djamil meminta agar peraturan tentang pertanahan dapat mengakomodasi itu. Mengutip keterangan Kepala BPN Joyo Winoto, Nazir Djamil mengatakan, revisi Perpres Nomor 65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum harus lebih baik dari perpres sebelumnya.

Dalam pertemuan antara Komisi II dan BPN, Januari lalu, disebutkan, revisi terbatas yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjamin kepastian hukum dan hak rakyat atas tanah, tersedianya tanah bagi kepentingan umum, serta terhindarnya warga dari spekulan tanah.

Namun, menurut Nazir, yang jauh lebih penting adalah pembangunan yang dilakukan itu harus sesuai dengan tata ruang wilayah. Selama ini masyarakat tak tahu tata ruang wilayahnya. Padahal, harusnya rakyat bukan cuma tahu tentang tata ruang wilayah, tetapi juga terlibat saat penyusunannya sehingga rakyat tidak selalu dirugikan.

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS


Politik & Hukum Kamis, 03 Agustus 2006 Kemiskinan
Memanggil Kembali Tindakan Negara
B Josie Susilo Hardianto

Dua lembar uang seribuan itu terus dibalik-baliknya. Uang yang sudah lusuh itu menjadi makin lusuh. Meskipun menceritakan kisahnya dengan senyum, Yuli tetap saja tidak mampu menyembunyikan galaunya.

Yuli adalah pemulung yang kemudian membuka warung rokok. Ia tinggal di tanah milik PJKA di kawasan Kebon Melati sejak tahun 1981. Ia tak memiliki surat-surat apa pun sebagai bukti ia sah secara hukum tinggal di kawasan itu.

Saat ditemui Kompas, ia menceriterakan cucunya yang terpaksa pulang sekolah tanpa alas kaki. Sepatunya disita karena warnanya tidak sesuai dengan peraturan sekolah. "Mestinya sepatu berwarna hitam, tetapi sepatu yang saya belikan memang hitam, tetapi ada garis-garisnya berwarna putih," tutur Yuli.

Sambil melayani beberapa pembeli yang datang, ia menceritakan perihal cucu sulungnya yang lulus SMEA, yang hingga saat ini belum memperoleh pekerjaan. "Sempat juga bekerja kontrak di restoran Jepang, tetapi sekarang sudah keluar dan belum ada pekerjaan lagi," ungkap Yuli.

Tentu peristiwa itu merisaukan hatinya. Dengan untung sekitar Rp 25.000 per hari, Yuli harus ikut membiayai kehidupan dan sekolah cucunya. Tiga anaknya hanyalah pekerja kecil dengan gaji harian yang tentu sedikit jumlahnya. "Padahal, biaya sekolah sekarang ini mahal. Memang yang SMP mulai gratis, tetapi harga buku dan yang lain-lain kan makin mahal," tuturnya.

Beberapa waktu lalu pihak Kecamatan Tanah Abang sudah menanyakan status warung tempel yang dikelolanya. Lalu, rumah kardus yang kini telah dibangunnya menjadi lebih permanen bakal tergusur karena menempati tanah milik PJKA yang berencana akan membuat jalur lintasan baru.

"Memang sejak saya tinggal di Kebon Melati tahun 1981 hingga sekarang saya tidak punya surat. Sama seperti milik bos saya yang juga tidak ada suratnya," tutur Yuli.

Jika ada persoalan dengan aparat, tutur Yuli, entah dari kecamatan atau dari instansi lain yang mempertanyakan tentang status tanah atau yang lainnya, bos penerima barang bekas itulah yang akan menangani. Persoalan seperti itu seolah sudah hal lumrah bagi warga miskin.

Seolah memang seperti itulah mereka harus hidup. Sejak suaminya meninggal karena penyakit paru-paru tahun 1981, Yuli harus menjadi pemulung untuk menghidupi tiga anaknya. Sehari-hari mereka harus tinggal berpindah-pindah dari satu proyek ke proyek lainnya. Kembali ke Purworejo bukanlah pilihan, sebab tidak ada lagi sawah yang terpaksa dijual untuk mengobati sang suami.
Saat ini, ketika ia sudah tidak lagi menjadi pemulung, ternyata hidup pun tidak menjadi lebih mudah. Yuli bersyukur.

Baginya, itu jauh lebih baik daripada dua keluarga yang tinggal di seberang warungnya. Dua keluarga itu tinggal di gubuk tripleks di bawah saluran pipa yang melintas di atas kali Pejompongan. Untuk menghidupi diri, keluarga itu menjaring botol bekas air mineral yang terbawa aliran sungai.

Melihat mereka memandikan anak-anak mereka dengan air sungai Pejompongan yang keruh dan berbau busuk itu dan kemudian membiarkan anak kecil itu mengemis di perempatan di depan kompleks Pemakaman Karet, Pejompongan sebenarnya bukanlah hal yang benar. Namun, jika tidak demikian, siapa yang akan menghidupi mereka.

Memprihatinkan! Bagi mereka, standar jaminan hidup yang sepantasnya tidak pernah dinikmati. Tidak ada tempat tinggal, tanah produksi, air bersih, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.

Ironis

Kondisi hidup yang dialami Yuli dan kedua tetangganya itu, juga sebagian warga Indonesia lain, menjadi sebuah ironi. Ironi, di satu sisi Indonesia adalah anggota Dewan Hak Asasi Manusia di PBB dan juga turut meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, namun di sisi lain sebagian warganya tidak memperoleh jaminan hidup dasar yang memadai.

Busung lapar, penggusuran, pengangguran, putus sekolah, hancurnya ekosistem, lemahnya daya saing petani, dan makin terbatasnya akses mereka terhadap tanah seolah menjadi titik penegas persoalan bahwa pemenuhan hak dasar manusia di Indonesia lemah.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia dalam kertas posisinya menyebutkan, kemiskinan yang melilit sebagian besar penduduk Indonesia sebenarnya semakin mempertinggi tingkat kerentanan dari berbagai ancaman bahaya. Upaya mempertahankan hidup tanpa difasilitasi negara memaksa masyarakat memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya.

Di banyak tempat, posisi seperti itu di kemudian hari memunculkan konflik yang menempatkan rakyat berhadap-hadapan dengan negara. Fakta penggusuran, misalnya, memosisikan warga yang menempati bantaran sungai, tanah negara, atau kawasan kosong di sisi kiri dan kanan jalur lintasan kereta api, bahkan di lembah perbukitan dan hutan, pada posisi lemah ketika berhadapan dengan negara.

Padahal, kehadiran mereka di kawasan itu menjadi bentuk lain lemahnya negara dalam mengelola kawasan. Dalam wilayah legal formal pun ternyata pemerintah dilihat kurang berpihak pada masyarakat. Salah satunya adalah program dari Bank Dunia, seperti Water Resources Sector Adjusment Loan, yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Privatisasi sumber daya air menyebabkan rakyat tidak dengan mudah memperoleh air. Air bersih di perkotaan harus dibeli dengan harga yang cukup mahal, namun sering kali tidak dibarengi dengan ketersediaan yang memadai.

Bagi rakyat kecil seperti Yuli, air akhirnya menjadi sesuatu yang sungguh mahal. Buktinya, untuk mandi saja mereka harus sudi membersihkan tubuh mereka dengan air yang tidak bersih. Ironis.

Hak atas pangan

Selain itu, posisi tempat mereka tinggal, di bantaran sungai, adalah posisi yang rentan. Dari sisi mana pun posisi mereka lemah, tetapi mereka tidak memiliki lahan untuk berusaha. Padahal, salah satu kunci terpenuhinya hak atas pangan adalah akses terhadap tanah produksi.

Posisi warga, seperti Yuli, pasti akan sangat lemah karena ia tidak memiliki bukti legal apa pun atas tanah yang ditempatinya. Ia menempati tanah milik PJKA. Berhadapan dengan persoalan seperti itu, Yuli tidak memiliki kekuatan apa pun kecuali sikap baik dari majikannya yang mungkin akan bermain mata dengan aparat agar rumah Yuli tidak digusur.

Seperti yang ia lakukan saat ini. Ia memang akan bertahan, namun itu tidak akan memberi jaminan mencukupi bagi anak-anaknya kelak. Gunawan dari PBHI mengungkapkan, General Comment 12 yang merupakan interpretasi otoritatif Komite Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengenai hak atas pangan menyatakan secara jelas bahwa hak atas pangan memerlukan akses fisik dan ekonomi atas sumber daya.

Dengan argumentasi seperti itu, Gunawan mengatakan, akses atas pangan mengandaikan juga akses atas pendapatan, seperti akses atas sumber daya produktif, yaitu tanah. Namun, ketidakmampuan pemerintah mengelola tata ruang wilayah dan jaminan pada akses sumber daya produksi membuat akses yang tadi disebutkan makin lemah.

Gunawan melihat posisi Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 sebenarnya memberi jaminan akses rakyat pada tanah. Setiap rakyat dalam undang-undang itu memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta manfaatnya.

Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Herry Priyono, mengatakan, ada paradoks dalam perjuangan hak asasi manusia. Dalam perjuangan hak sipil dan politik negara sedapat mungkin tidak campur tangan. Namun, dalam perjuangan hak ekonomi sosial dan budaya, peran negara justru dibutuhkan. "Ini adalah masalah sentral dan mendasar," tutur Herry.

Dalam tataran empiris, tutur Herry, sebenarnya pemenuhan sandang, papan, dan pangan ada di dalam wilayah kekuasaan negara. Namun, nyatanya sandang, papan, dan pangan masuk dalam hukum pasar. Neoliberalisme bahkan coba menyingkirkan peran negara dari pemenuhan sandang, papan, dan pangan itu dan betul-betul menyerahkannya pada pasar. Akibatnya, kontrol pemerintah menjadi lemah karena semua tergantung pada kinerja pasar bebas.

Untuk mengembalikan kemampuan negara tentu jalan yang dapat ditempuh adalah meningkatkan kemampuan keuangan negara. Konsekuensi dari pilihan itu adalah pajak menjadi tinggi. Ini pilihan buruk.

Menurut Herry, langkah yang lebih baik adalah mendorong munculnya cooperation social responsibility. Harus diakui bahwa negara tidak ada pada posisi kontrol yang kuat atas kinerja pasar. Namun, negara dengan kewenangan regulasinya dapat mendorong kalangan bisnis dan kekuatan masyarakat madani untuk meningkatkan jaminan atas hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Posisi seperti ini adalah posisi di mana negara dipanggil kembali untuk bertindak. Menggunakan kewenangan dan kemampuan mereka ketika banyak persoalan justru ada di luar kemampuan negara.

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Politik & Hukum
Senin, 30 Oktober 2006

Redistribusi Lahan agar Dilakukan di Jawa

Jakarta, Kompas - Aktivis pembela hak asasi manusia dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Gunawan, mengutarakan, jika pemerintah hendak melakukan redistribusi lahan, hal itu sebaiknya dilakukan di Jawa.

Menjadi tidak efektif jika obyek pembagian lahan itu ada di luar Jawa. Alasannya, tutur Gunawan, sebagian besar petani miskin dan buruh tani berada di Jawa.

Selain itu, tutur Gunawan saat dihubungi Minggu (29/10), gagasan pemerintah untuk menggelar infrastucture summit November mendatang juga tidak banyak membantu dalam proses penguatan kedaulatan pangan.

Selain tidak menjamin mendatangkan investasi, munculnya investasi di bidang infrastruktur justru memunculkan konflik. ”Infrastucture summit sebelumnya memunculkan investasi pada sektor air, namun swastanisasi itu tidak menjamin pasokan air bersih lancar bahkan harga air menjadi makin mahal,” ungkap Gunawan. (JOS)

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS


Senin, 18 Desember 2006
Pertanahan
Pembaruan Agraria Tak Hanya Membagi Tanah

Jakarta, Kompas - Pembaruan agraria tak sekadar membagi-bagi tanah. Pembaruan agraria yang bertujuan untuk memperkuat dan menyejahterakan rakyat itu mensyaratkan kemudahan bagi petani untuk mengakses kredit dari bank, informasi, teknologi, dan pasar.
Hal itu dikatakan Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Jumat (15/12) di Jakarta. Selama ini, menurut Gunawan, karena kemampuannya yang terbatas, petani sulit memperoleh kredit dari bank. Kondisi itu justru dimanfaatkan rentenir yang lebih banyak menyengsarakan petani daripada membantu mereka. Tidak hanya itu, sering kali petani terjerat perangkap tengkulak sehingga mereka tidak mampu meningkatkan kemampuan modal yang berdampak pada kinerja sektor pertanian di Indonesia.

Untuk itu, kata Gunawan, pembaruan agraria yang diawali dengan pembagian tanah juga harus disertai dengan kemudahan bagi petani untuk mengakses modal pendukung pada sektor tersebut. Kemudahan itu dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan kinerja petani.

Kelengkapan dan kemudahan akses terhadap modal, menurut Gunawan, akan memberi dampak pada kinerja dan produksi petani. Apalagi dalam konteks ketahanan pangan, yang diukur bukan hanya jumlah ketersediaan beras. "Tetapi juga kemampuan petani menghidupi dirinya sendiri. Sebab, keuntungan yang dinikmati petani akan berdampak lanjut pada semua warga masyarakat," tutur Gunawan.

Belajar mandiri

Dihubungi terpisah, aktivis petani dari Organisasi Tani Jawa Tengah, Wahyudi, membenarkan hal itu. Ia mencontohkan, saat ini untuk menyiasati mahalnya harga pupuk, sebagian petani di Batang, Jawa Tengah, bereksperimen membuat pupuk organik sendiri.
Bahkan, mereka mengumpulkan uang untuk menguji kandungan pupuk organik yang mereka buat. Mereka pun mendapat bantuan tenaga dari Pemerintah Daerah Kendal, Jawa Tengah.

Langkah tersebut diambil, tutur Wahyudi, ketika petani sulit memperoleh kredit dari bank. "Umumnya, petani di desa hanya memiliki lahan kecil. Dengan kondisi seperti itu, bank tidak berani memberi modal yang cukup besar. Akibatnya, petani tidak mampu mengelola lahannya," kata Wahyudi.

Dengan membuat pupuk organik sendiri, petani dapat menghemat sebagian modal mereka sehingga kinerja mereka dapat diintensifkan. Bahkan, mereka pun berupaya memproduksi bibit sendiri sehingga pengeluaran dapat semakin ditekan. (JOS)


Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Pembagian Lahan agar Hati-hati, Ada yang Dijual atau Digadaikan

Jakarta, Kompas - Pembagian 8,15 juta hektar lahan kepada masyarakat miskin dan pengusaha dengan ketentuan terbatas yang merupakan bagian dari reformasi agraria harus diiringi dengan pemberdayaan penerimanya. Hal itu perlu agar program dapat berfungsi maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan penerima.

"Redistribusi 1,15 juta hektar tanah beberapa waktu lalu ternyata tidak semuanya dapat menyejahterakan rakyat miskin penerimanya. Sebab, sebagian tanah ada yang dijual, digadaikan, atau diijonkan penerimanya," kata Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto dalam dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Jakarta, Senin (29/1).

Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.

Dalam kesimpulannya, Komisi II yang dipimpin ketuanya EE Mangindaan meminta adanya perencanaan matang dalam pembagian lahan tersebut. Program ini diharapkan juga benar-benar untuk rakyat, bukan bagian dari propaganda pemerintah.

Joyo menuturkan, BPN sedang menyusun cara pembagian tanah berikut kemungkinan program pemberdayaan masyarakat untuk mengiringinya. Dengan demikian, diharapkan program ini dapat efektif mengatasi ketimpangan pemilikan tanah dan mengentaskan kemiskinan.

Pembagian lahan itu, lanjut Joyo, diharapkan dapat menyelesaikan sejumlah kasus sengketa pertanahan yang sekarang mencapai 1.800 kasus. Sengketa yang umumnya terjadi sejak tahun 1970-1980 ini, sebagian disebabkan adanya surat tanah palsu seperti girik.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Usep Setiawan menuturkan, pemberdayaan masyarakat untuk mengiringi pembagian lahan itu dapat dilakukan lewat serikat atau organisasi petani. Namun, organisasi itu harus dibentuk dari bawah, seperti Serikat Petani Pasundan di Priangan Timur (Jawa Barat), Organisasi Tani Jawa Tengah di Jawa Tengah, dan Ikatan Petani Lampung di Lampung.

Keberadaan organisasi petani ini, lanjut Usep, tidak hanya akan mengontrol penggunaan lahan yang dibagikan petani, tetapi juga berbagai aktivitas lain, seperti pembuatan koperasi atau tempat pendidikan untuk petani

Kepala Divisi Kajian dan Kampanye, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Gunawan mengatakan, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan
dalam menyelesaikan sengketa tanah dapat menghambat program pembaruan agraria yang akan dilaksanakan pemerintah. (mzw/nwo)

Senin, 11 Juni 2007
Agraria

Pembaruan Agraria Harus Selesaikan Konflik Pertanahan

Jakarta, Kompas - Program Pembaruan Agraria Nasional atau PPAN yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2006 harus segera dilaksanakan sebagai bagian dari penyelesaian atas berbagai konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi. Semakin lama program itu ditunda pelaksanaannya, akan semakin banyak konflik pertanahan yang terjadi.

Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Gunawan di Jakarta, Jumat (8/6), mendesak pemerintah untuk segera melaksanakan tahap-tahap pelaksanaan program pembaruan agraria. Tahap awal yang dapat dilakukan pemerintah adalah pendataan administratif seluruh tanah yang ada di Indonesia dan membuat rencana umum peruntukan tanah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Bersamaan dengan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) perlu mengambil langkah terobosan untuk menghentikan konflik pertanahan yang terjadi. Langkah yang dapat diambil adalah menghentikan segala bentuk penggusuran dalam sengketa pertanahan dan mencegah pengkriminalisasian warga yang menuntut hak atas tanah.

"Dengan demikian PPAN tidak hanya sekadar distribusi tanah, tetapi juga penyelesaian atas berbagai konflik pertanahan yang terjadi," kata Gunawan.

Secara terpisah, Kepala Program Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor Satyawan Sunito mengatakan, presiden harus tegas dalam melaksanakan PPAN. Sosialisasi pelaksanaan program tersebut harus dilakukan secara intensif kepada masyarakat dan juga pengusaha yang akan terkena dampak langsung dari program itu. (MZW)

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Rabu, 13 Juni 2007
Pertanahan
Pemerintah Didesak Selesaikan Konflik Agraria

Jakarta, Kompas - Untuk mengantisipasi munculnya pertikaian antara warga dan negara dalam persoalan lahan, pemerintah didesak menyelesaikan berbagai konflik agraria yang masih ada. Langkah itu dinilai tepat untuk menghindari meluasnya konflik agraria yang selalu menempatkan rakyat sebagai korban.

Proses sengketa sering kali menempatkan rakyat sebagai kriminal karena tuntutan mereka atas lahan yang tengah disengketakan. Persoalan itu bahkan kerap berbuntut pada kematian, seperti yang terjadi di Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan, Jawa Timur.

Deputi Pengkajian Kebijakan dan Kampanye Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Achmad Ya’kub dalam sebuah pertemuan yang digelar hari Selasa (12/6) di Jakarta mengatakan, setidaknya ada 2.810 data tentang konflik agraria tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Konflik itu hingga saat ini, tutur Achmad, belum diselesaikan.

Menurut Achmad, jika konflik itu tidak segera diselesaikan, reforma agraria yang tengah digagas pemerintah tidak akan membuahkan hasil optimal. Dalam proses itu, seharusnya, justru penyelesaian konflik agraria merupakan prioritas sehingga warga memperoleh kepastian atas lahan yang telah mereka kelola.

Dalam kesempatan itu hadir Rohman, Suhaya, dan Suhaimin, tiga wakil warga Kampung Legon Pakis, Desa Ujung Jaya, Serang, Banten. Desa mereka berada di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Saat ini mereka bersengketa dengan pihak Taman Nasional Ujung Kulon. Mereka enggan dipindahkan ke Kampung Pamatang Laja karena di tempat itu tidak ada lahan persawahan. Suhaya menceritakan, akibat penolakan itu, warga merasa diteror. "Sekolah ditutup, listrik swadaya juga tidak diperbolehkan," tutur Suhaya.

Mereka sering dituduh merambah hutan jika diketahui masuk ke kawasan hutan. Bahkan, pada November lalu, seorang warga Kampung Cikawung Girang, Desa Ujung Jaya, Komar (48), ditemukan tewas karena ditembak karena dituduh mencuri kayu. "Namun, saat jenazahnya ditemukan, polisi tidak menemukan kapak atau gergaji. Bahkan dalam radius satu kilometer tidak ditemukan ada pohon yang ditebang," ungkap Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia. (JOS)

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Ketahanan Pangan Butuh Kebijakan Berbasis Petani
Tanggal: 19 Oct 2007
Sumber: Kompas

Prakarsa Rakyat,

Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah untuk membagikan lahan bagi petani akan menjadi optimal jika dibarengi dengan kebijakan lain yang juga melindungi petani. Kebijakan itu, antara lain, kemudahan memperoleh kredit, pengembangan infrastruktur pertanian di pedesaan, perlindungan pasar bagi petani, serta pembatasan pada pengembangan perkebunan dan pertambangan besar.

Selain itu, rencana pembagian lahan satu juta hektar bagi petani juga dilakukan dengan orientasi yang jelas agar tidak jatuh pada politisasi. "Strateginya adalah tak menempatkan reforma agraria sebagai reforma agraria saja," kata komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Johny Nelson Simanjuntak, Rabu (17/10) di Jakarta.

Petani, tutur Johny, seharusnya diberi kemudahan untuk mengakses kredit, infrastruktur, dan pasar.

Tak hanya itu, menurut Manajer Program Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Gunawan, kebijakan itu juga harus didukung dengan kebijakan untuk tidak dengan mudah membuka impor beras dan penggunaan benih transgenik.

Menurut Gunawan, liberalisasi pangan hanya akan menguntungkan investor di bidang pertanian. Mereka cenderung untuk mengejar hasil saja.

"Proses produksi dipercepat dari enam bulan menjadi tiga bulan. Jagung yang semula hanya satu tongkol per batang menjadi tiga tongkol per batang. Untuk itu, diperlukan pupuk buatan yang ujungnya menyebabkan tanah tak lagi mudah dikelola dengan pupuk organik," tuturnya.
Akibatnya, ketergantungan petani pada benih transgenik dan pupuk industri makin tinggi. Bagi Gunawan, pemenuhan pangan tidak bisa dilakukan dengan membuat kebijakan instan seperti itu. Di sisi lain, kebijakan yang lebih berpihak pada optimalisasi kemandirian petani cenderung diabaikan.

Petani mengontrol

Pemerintah, lanjutnya, harus mulai mengubah cara pandang dari pertanian intensif menjadi pertanian yang berbasis pada keluarga. Sebagaimana dikemukakan Johny, praksis dari kebijakan itu juga sampai pada perlindungan pasar bagi petani.

"Tidak bisa begitu saja diserahkan kepada mekanisme pasar, apalagi ini terkait dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat yang prinsipnya justru mengundang keterlibatan pemerintah," ingat Gunawan.

Hanya dengan upaya yang komprehensif seperti itu, ketahanan dan kedaulatan pangan dapat diraih karena petani dilibatkan mulai dari proses tanam hingga distribusi hasil pertanian mereka. (jos)

Monday, December 04, 2006




BERDISKUSI TENTANG HEGEMONI
Gunawan

A. Pengantar

"Tanpa Teori Revolusi Tidak Akan Pernah Ada Gerakan Revolusi"
(Vladimir Illich Ulyanof "Lenin")

SALAH SATU teori politik dari kalangan marxis yang populer dan dijadikan rujukan bagi kaum marxian ataupun bukan, adalah teori tentang hegemoni. Adapun signifikansi teori hegemoni bagi bagi studi hubungan internasional, lebih dikarenakan berbagai aspek peristiwa dan agenda perubahan dalam konteks internasional maupun nation-state adalah akibat dari atau tidak bisa dilepaskan dari dominasi dan hegemoni Kapitalisme Internasional.

Wacana tentang kolonialisme dan dekolonialisme, Marshal Plann dan Developmentalisme, Dependencia dan Imperialisme, kemudian agenda Neo-Liberal tentang pasar global adalah sekian dari contoh yang bisa dibedah melalui teori hegemoni.

B. Sejarah Munculnya Teori Hegemoni

LATAR BELAKANG politik, gagasan hegemoni tersebut adalah pengalaman Gramsci sendiri. Fokus perhatian Gramsci pada hal tersebut muncul dari situasi politik ketika ia hidup dan menjadi pemimpin intelektual dari gerakan massa proletar - di Turin - selama Perang Dunia Pertama dan masa sesudah itu. Italia, menjelang perang usai merupakan sebuah pemandangan penting dari pertarungan politik partai, baik Kiri maupun Kanan. Sebuah pertarungan yang dengan cepat membuahkan kemenangan kepada fasisme pada 1922 dan melenyapkannya hak-hak politik. Sebagai anggota kunci dari Partai Sosialis Italia dan kemudian Partai Komunis Italia (PCI), Gramsci melihat kegagalan gerakan massa buruh revolusioner dan bangkitnya fasisme reaksioner didukung oleh massa kelas pekerja[1]. Kalangan neo-marxisme lainnya dari Mazhab Frankfurt, Theodor Adorno juga menelanjangi Fasisme sebagai puncak dari sisi negatif Kapitalisme[2].

Hal itulah yang memberikan pertanyaan-pertanyaan bagi Antonio Gramsci, seperti mengapa Kapitalisme bisa bertahan di Eropa Barat padahal melewati momen krisis - dan telah diramal oleh Marx akan mengalami pembusukan - serta diterima oleh massa pekerja, bahkan ketika berujud sebagai Fasisme seperti yang terjadi di Italia. Kaum proletariat Italia tidak seperti kaum Bolshevix di Uni Soviet.

C. Mengenal Antonio Gramsci

ANTONIO GRAMSCI adalah ketua dari Partito Comunista Italiano (PCI) di tahun 1924. Pada tanggal 8 November 1924 ia ditangkap dan meninggal sebagai tahanan 27 April 1937. Dalam penjara inilah Gramsci melakukan banyak penulisan termasuk tentang hegemoni, tulisan tersebut sepeninggal Gramsci berhasil di selendupkan keluar oleh sahabat Gramsci, Tatiana. Tulisan tersebut kemudian di kenal sebagai Quqreni del Carcere atau Selection from The Prison Notebooks.

Ketertarikan Gramsci terhadap aktivitas revolusioner dimulai semenjak ia kuliah di Universitas Turin dengan beasiswa yang didapatkannya pada tahun 1911. Maka kemudian di tahun 1913 Gramsci bergabung dengan Partito Socialista Italino (PSI) dan di tahun 1914 diberi tugas menjadi editor pada koran mingguan partai, Il Grido del Polopo (Jerit Tangis Rakyat). Kemudian bersama kawan-kawan mudanya Gramsci mendirikan koran mingguan Ordine Nuovo pada bulan Mei 1919.

Ketika terjadi perpecahan di tubuh PSI dan lahirlah PCI ditahun 1921, Gramsci bergabung dengan PCI dan sepanjang tahun 1922-1923 menjadi agen komintern. Sepulangnya ia ke Italia, Gramsci melakukan kritik terhadap PCI yang dinilainya sektarian dan Gramsci mulai menggeser pengaruh sayap kiri dalam tubuh PCI yang dipimpin ketuanya Bukharin, bahkan kemudian Gramsci mengganti kedudukan Bukharin sebagai pemimpin PCI.

Gramsci lahir 22 Januari 1891 di Ales, Sardinia, Italia. Kemiskinan, penyakit dan pertumbuhan badan yang tidak normal dan dibawa selama akhir hayatnya pernah mengakibatkannya menjadi introvet.

D. Konsep Hegemoni Gramsci

Hegemoni, bagi Gramsci, akan menjelaskan mengapa suatu kelompok atau kelas secara sukarela atau dengan konsensus mau menundukkan diri pada kelompok atau kelas yang lain Teori hegemoni Gramci adalah salah sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dibangun diatas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan "hegemoni" atau menguasi dengan "kepemimpinan moral dan intelektual" secara konsensual[3].

Gramsci membagi keberadaan hegemoni dalam dua wilayah super struktur, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik atau negara. Dalam kamus marxis ortodox bahwa basic struktur pasti akan mempengarui super struktur. Inilah yang kemudian ditolak Gramsci, Gramsci melihat arti penting "ruh" dan "ide" seperti halnya dalam filsafat Hegel dalam mempengaruhi kesadaran manusia dalam wilayah super struktur yang ternyata mampu mempertahankan bentuk basic struktur.

Kapitalisme dapat bertahan karena kaum borjuis mampu membangun dan mempertahankan hegemoninya terhadap kelas pekerja, sedangkan kaum intelektual proletariat (partai, fungsi partai adalah mengintegralkan intelektual secara massal) yang memiliki wilayah hegemoni bagi kelas pekerja ternyata gagal menggerakan kelas pekerja untuk melakukan perjuangan kelas dan revolusi akibat direduksinya pemikiran Karl Marx menjadi bentuk Darwinisme dan Determinisme, yang percaya akan keruntuhan kapitalisme dan keniscayaan revolusi akan terjadi dengan sendirinya dalam sebuah "hukum besi sejarah". Serta meletakan kesadaran dan strategi perjuangan pada perspektif determinan ekonomi. Hal ini didasarkan atas filsafat Materialisme Dialektika Historis, yang melihat bahwa sejarah dan perkembangan masyarakat ditentukan oleh alat produksi yang kemudian disebut sebagai basic structure sebagai bagian bawah yang mempengaruhi bangunan atas atau super strucure (negara, moral, idelogi, politik).

Di sini kemudian Gramsci melihat arti penting intelektual sebagai alat organiser bagi hegemoni. Bagaimana Hegemoni diciptakan, agar resistensi rakyat terhadap kelompok dominan dapat diminimalisir ?

Bagi Gramsci titik tolak pembangunan Hegemoni adalah konsensus, penerimaan konsensus ini bagi proletariat dilakukan dengan persetujuan dan kesadaran, namun hal itu bisa terjadi bagi Gramsci lebih dikarenakan kurangnya basis konseptual yang dimiliki kelas pekerja sehingga permasalahan sesungguhnya bisa dimanipulasi.

Ada dua hal mendasar menurut Gramsci menjadi biang keladinya, yaitu pendidikan di satu pihak dan mekanisme kelembagaan di lain pihak. Untuk itu Gramsci mengatakan bahwa pendidikan yang ada tidak pernah menyediakan kemungkinan membangkitkan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan sistematis bagi kaum buruh. Di lain pihak, mekanisme kelembagaan (sekolah, gereja, parpol, media massa dan sebagainya) menjadi "tangan-tangan" kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang mendominir. Bahasa menjadi sarana penting untuk melayani fungsi hegemonis. Konflik sosial yang ada dibatasi baik intensitas maupun ruang lingkupnya, karena ideologi yang ada membentuk keinginan-keinginan, nilai-nilai dan harapan menurut sistem yang telah ditentukan[4].

Ada tiga tingkat Hegemoni menurut Gramsci yang diungkapkan Josep Femia, pertama, Hegemoni Integral, ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis. Contohnya Perancis sesudah revolusi (1879).

Kedua, hegemoni yang merosot (decadent hegemony). Dalam masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi tantangan berat. Dia menunjukan adanya potensi disintegrasi di sana. Dengan sifat potensial ini dimaksudkan bahwa disintegrasi itu tampak dalam konflik yang tersembunyi "di bawah permukaan kenyataan sosial". Artinya sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan atau sasaranya, namun pemikiran yang dominan dari subyek hegemoni. Karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh.

Ketiga, hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan dengan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan kelas lain dalam masyarakat. Mereka malah mempertahankan peraturan melalui transformasi penyatuan para pemimpin budaya, politik, sosial maupun ekonomi yang secara potensial bertentangan dengan "negara baru" yang di cita-citakan oleh kelompok hegemonis itu.

E. Kelemahan dan Kelebihan Teori Hegemoni

KELEMAHAN dari teori Hegemoni Gramsci adalah bahwa teori tersebut tidak dipraktekan terutama dalam persoalan cara perlawanan terhadap hegemoni borjuis, karena ia keburu meninggal dalam tahanan. Teori ini juga tidak bisa di generalisasikan pada setiap negara, khususnya dalam keberhasilan negara sebagai pembentuk hegemoni tunggal tanpa aliansi dengan dominasi, maka sesungguhnya kemudian keberadaan hegemoni negara dan kapitalisme tidak bisa dinafikan begitu saja dari kekuatan dominasi (kemampuan represif dan koersif) mereka

Namun meski demikian, ternyata teori hegemoni kemudian mampu digunakan untuk menganalisa hubungan internasional yang dipelopori Robert Cox, juga mengajak kita untuk melihat pertautan antara kepentingan dan ilmu pengetahuan sosial, sehingga ilmu sosial menjadi semakin terbongkar subyektifitasnya dan penolakan atas positivisme

Teori hegemoni kemudian juga memberikan bahan refleksi bagi kita akan obyektifitas ilmu sosial, karena bagaimanapun ternyata ada ada pertautan antara kepentingan dan kekuasaan dengan ilmu pengetahuan sosial.

Daftar Pustaka
Bakaruddin Rosyidi Ahmad, Pemikiran Marx tentang Alienasi: Sejarah Metode dan Isi, Tesis Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, 1991

Muhadi Sugiono, Restruturing Hegemony and The Changing Discourse of Develpoment. Terjemahan: Cholish, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembanguinan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Simon, Roger, Gramsci`s Political Thought, Terjemahan: Kamdani & Imam Baehaqi, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Insist & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
[1] Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h: 12-13
[2] Bakaruddin Rosyidi Ahmad, Pemikiran Marx Tentang Alienasi: Sejarah, Metode, dan Isi, Tesis Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 1991, h: 99
[3] Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h: 30-31
[4] Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Revolusi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h: 127

Thursday, November 30, 2006



Achmad alias Darmodiprono alias
Haji Mohammad Misbach.

Di susun Oleh: Gunawan

Disampaikan dalam diskusi di kampus IAIN Sukijo, Rabu, 21 November 2001, diselenggarakan oleh Lingkar Studi Pembebasan Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi IAIN Sukijo. Ini tulisan berasal dari Makalah Tugas Matakuliah Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2001


….. and it`s hard to hold a candle in the cold November rain…..along long time just tryin to kill the pain…. everybody need sometimes… Cause nothin last forever even cold November rain……………….everybody need somebody



“Bahwa Islam sebagai ajaran yang mulia yang mencintai perdamaian dunia.
Perdamaian ini hanya mungkin ditegakan dengan membasmi
kedustaan, kejahatan, penghisapan dan penindasan.
Cara yang ditempuh hanya satu,
Revolusi” (H. M. Misbach)[1]

I
Membongkar Kembali Sejarah

MENDIANG Bung Karno pernah berujar: “Jas Merah, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.
Mengapa kita membaca dan belajar pada sejarah, karena kalau tiada makna buat apa menghabiskan waktu untuknya. Paling tidak, dalam pengertian yang minimal, kita sedang tidak ingin mengulang kegagalan dan belajar pada keberhasilan untuk sebuah kemajuan, maka untuk itu kita belajar pada sejarah. Dengan sejarahlah pula, para pemikir, seperti Marx, Gramsci, Tan Malaka, hingga Manifesto kaum pergerakan selalu menampilkan kenyataan sejarah. Tuhanpun dalam kitab suci coba mengajari manusia dengan sejarah. Berbicara atas sejarah, bukannya kita sedang menghapalkan nama dan tanggal peristiwa dan itu selalu yang dianggap penting, oleh siapa, dan mengapa semua menganggapnya penting adalah kenyataan tentang pertanyaan pada pelajaran sejarah. Ketika History adalah His Story para penguasa untuk mengkukuhkan status dominan mereka via manipulasi sejarah dan praktek pembodohan. Tugas revolusioner kita adalah MEREBUT ALAT PRODUKSI PENGETAHUAN[2] .

Perebutan alat produksi pengetahuan dalam rangka membangun kritisisme dan emansipasi massa adalah dengan cara menciptakan intelektual dan ilmu pengetahuan yang berpihak kepada rakyat serta kemampuan membuka media propaganda bagi rakyat. Dalam pengertian sejarah, menarik sekali ucapan dari Dom Helder Camara: “Ketika Aku Memberi Makan Orang Lapar, Aku Disebut Orang Suci. Namun, Ketika Aku Bertanya Mengapa Orang Itu Lapar, Aku Disebut Komunis”. Ini menunjukan bagaimana kritisisme massa di pukul dengan stigmatisasi yang legitimasinya bersandar pada pemalsuan sejarah. Maka merebut alat produksi pengetahuan juga berarti pembongkaran sejarah yang dijadikan legitimasi bagi penolakan atas kritisime massa dan kebijakan-kebijakan populis.

Sejarah pergerakan, adalah di mana kita memperhatikan perkembangan masyarakat secara dialektis, sehingga kita dapat melihat ruh dan aliran darah dari pergerakan. Dalam konteks Hindia Timur, Pemerintahan Kolonial telah menyediakan Buitenzorg untuk mengamati dan mencari rumusan penghancuran bagi kaum pergerakan. Rumah Kaca[3], yang dimaksudkan Pramoedya Ananta Toer adalah maksud dari itu. Produk rumah kaca adalah sejarah pergerakan yang di lihat dari permukaan yang kemudian banyak dijadikan referensi yang melahirkan apa yang oleh Takashi Shiraishi di sebut sebagai historiografi ortodoks atau historiografi cangkokan yang melihat pergerakan dalam aliran Nasionalisme, Komunisme dan Islamisme.

Takashi Shiraishi menjelaskan[4], Misbachlah yang mengingatkan kita akan kesalahan klasifikasi Nasionalisme, Islam, Komunisme itu dan memperingatkan kita akan pandangan nasionalis yang serampangan itu. Jika kita membuang klasifikasi dan pengamatan serampangan itu serta menghindarkan diri dari pandangan teleologis, maka pergerakan di perempat abad ke-19 akan muncul kembali dalam bentuknya sendiri yang khas. Di zaman pergerakan, pemimpin pergerakan berpikir, menulis, dan berkata serta bertindak sebagai orang pertama. Dicerahkan oleh kata-kata dan perbuatan mereka, rakyat melihat dunia dan bergerak. Akhirnya kita pun sekarang masih dapat melihat dunia mereka dengan mengikuti kata dan perbuatan mereka yang tergores dalam tulisan-tulisan yang mereka tinggalkan.

II
Haji Revolusioner

MISBACH, lahir di Kauman Surakarta pada tahun 1876. Sewaktu kanak-kanak ia di panggil Achmad, sewaktu menikah memakai nama Darmodiprono dan setelah kepulangannya dari Mekkah memakai nama Haji Mohammad Misbach.

Ketika Sarekat Islam (SI) didirikan di Surakarta pada tahun 1912, ia menjadi anggota namun tidak begitu aktif. Keaktifannya di pergerakan berlangsung setelah ia bergabung dengan Indlandsche Journalism Bond (IJB) yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo. Dalam artikelnya yang berjudul “Korban Pergerakan Rajat: H. M. Misbach”, dalam Hidoep, September 1924 halaman 6, Marco menggambarkan[5]:
Waktoe kami mengeloearkan soerat kabar minggoean Doenia Bergerak di Solo (1914), jalah officieel orgaan dari Inlandsche Journalisten Bond, kami kenal dengan H. M. Misbach, kerna dia anggota dan lengganan dari persarekatan dan Soerat kabar terseboet. Pada waktoe itoe dia seorang seorang Islam jang berniat menjiarken keislamanan setjara djaman sekarang; membikin soerat kabar Islam; sekolahan Islam; berkoempoel-koempoel meremboek Igama Islam dan hidoep bersama.
Dalem tahoen 1915 H. M. Misbach menerbitken soerat kabar boelanan Medan Moeslimin, nomer satoe tahoen pertama soerat kabar itu tertanggal 15 Januari 1915. Pada saat itoelah langkah jang permoelaan H. M. Misbach masoek kedalem pergerakan dan memegangi bendera Islam. Di mana-mana tempat dia membikin propaganda Islam dan soeka beramah-ramahan kepada semoea orang. Di pemandangan Misbach, tidak ada beda diantara seorang pentjoeri biasa dengen seorang jang dikata berpangkat, begitoe joega diantara rebana dan klenengan, diantara bok haji yang bertoetoep moeka dan orang perampoean jang mendjadi koepoe malem; diantara orang-orang jang bersorban tjara arab dan berkain kepala tjara Djawa. Dari sebab itoe dia gemar memakai kain kepala dari pada memakai petjis Toerki ataoe bersorban seperti pakaian kebanjakan orang jang di seboet “Haji”. Tempo-tempo kalau perlu Misbach berkeroemoen-keroemoen dengen anak-anak moeda sama mendengerken klenengan jang disertai soeranja tandak nembang jang amat merdoe. Boeat memberi toentoenan gending Misbach beloem loepa. Dalem kalanganja anak-anak moeda, dia mendjadi temennya melantjong, begitoe djoega didalem kalanganja wajang orang dia lebih dihormati dari pada directeurnja. Dari sebab itoe dimana-mana golongan rajat Misbach mempoenyai kawan oentoek melakoekan pergerakanja. Tetapi didalem kalanganja orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelkan harta benda dari pada menoelong kesoesahan rajat, Misbach seperti Harimau didalem kalanganja binatang-binatang ketjil, kerna dia tidak takoet lagi menjela kelakoeanja orang-orang jang mengakoe Islam tetapi selaloe tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama.

Di tahun 1915, Misbah menerbitkan Islam Bergerak, mendirikan hotel Islam, toko buku Islam, dan sekolah agama modern. Di tahun 1918, dengan semakin meluasnya kampanye H. O. S. Tjokroaminoto untuk anti Martodharsono dan anti Djawi Hiswari karena dianggap menghina Nabi Muhammad ataupun Islam, Misbach kemudian mendirikan Sub Comite Tentera Kandjeng Nabi Mohammad. (TKNM). TKNM di dirikan pada medio Februari di Surabaya, diketuai oleh Tjokroaminoto untuk mempertahankan kehormatan Islam, Nabi dan kaum Muslimin Di pertengahan 1918, muncul sebuah kekecewaan terhadap TKNM yang terungkap dalam tulisan-tulisan di Medan Moeslimin dan Islam Bergerak

Ini terjadi tidak berapa lama setelah Tjokroaminoto diam-diam menghentikan kampanye anti- Martodharsono dan anti-Djawi Hiswara-nya dan setelah Tjokroaminoto bertikai dengan Haji Hasan bin Semit, sehubungan dengan uang TKNM, yang berakibat keluarnya Haji Hasan bin Semit dari TKNM dan CSI[6].

Kemudian Misbach merebut kursi ketua Sub Comite TKNM Surakarta dari Hisamzaijni, mendirikan SATV (Sidik Amanat Tableg Vatonah) dan menulis artikel pertamanya dalam Medan Moeslimin yang berjudul Sroean Kita. Ada dua komponen yang dijelaskan Misbach disana dalam menjelaskan Al-Qur`an surat 49, Al Hujurat (kamar-kamar) ayat 15, : “Sesungguhnya orang-orang yang sebenarnya beriman, ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu dia tidak pernah ragu-ragu. Dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Itulah orang-orang yang benar”[7].

Pertama, ia mengubah gambaran umum tentang siapa penganut Islam sebenarnya menjadi suatu kalimat perintah tentang apa yang harus dilakukan oleh penganut Islam sebenarnya. Perhatikan arti dari kalimat “pemeluk yang sesungguhnya adalah mereka yang berjuang demi Allah dengan harta dan dirinya” sudah diubah menjadi “membantoekan harta bendanja dan dirinja, oentoek berdjalan kepada Toehan Alloh.” Perubahan ini memberikan pembenaran moral dan peluang untuk menekankan pentingnya perbuatan, usaha untuk “menggerakkan Islam”. Kedua, penjelasan Misbach itu merupakan hasil interprestasi atas ayat Alquran dan kemudian ditempatkan artinya dalam konteks “kita, muslim” di Hindia. Dengan ini ia menganalisis situasi Islam di Hindia dalam kerangka sosiologis. Secara skematis logika analisisnya begini: pemerintah itu netral dalam soal agama, tetapi melindungi kapitalis Belanda; kapitalis belanda membantu misionaris Kristen; dan misionaris Kristen berlaku curang pada kaum muslim dan merusak, sehingga muslim tetap lemah. Oleh karena itu, kapitalis Belanda dengan gampang dapat menghisap kaum muslim, bumiputra di Hindia, dan pemerintah terus melestarikan peradilan penguasa. Bagi Misbach, bertindak sesuai dengan ajaran Islam berarti berperang melawan misionaris Kristen, kapitalis Belanda, dan pemerintah. Mengaku setia, namun belum dapat bertingkah laku sesuai dengan ajaran Islam berarti berkhianat, namun baginya juga salah jika berperang melawan aktivitas misonaris Kristen tanpa melawan kapitalis dan Belanda[8]. Misbach mengatakan[9]: “Siapa jang merampas agama Islam, itoelah jang wadjib kita BINASAKEN”.

Maret 1918, Misbach bergabung pada organisasi Insulinde afdeling Surakarta,di pusat-pusatnya, seperti Jakarta dan Bandung, organisasi ini dipegang oleh orang-orang Indo.Dengan Insulinde, Misbach mampu melakukan mobilisasi petani yang besar, yang berdampak pada radikalisme petani di luar kendali para pengurus Insulinde.

Misbach cukup berhasil memasukan orang-orang radikal SI ke dalam Insulinde dan Misbach kemudian berhasil menduduki jabatan wakil ketua Insulinde afdeling Surakarta yang diketuai Ny. Vogel, istri Tjipto Mangoenkoesoemo.

Dalam konteks pergerakan Surakarta, Insulinde Surakarta adalah front persatuan kekuatan-kekuatan oposisi untuk melawan kekuasaan priyayi yang mengendalikan BO dan kekuasaan agama serta pedagang batik Lawean yang mengendalikan SI Surakarta[10].

Di akhir tahun 1918, Misbach mulai melakukan tur propaganda, yang cukup berhasil menaikan jumlah anggota Insulinde. Kurang dari setengah tahun anggotanya berkisar 10. 000 orang. Proganda-propaganda Misbachlah yang kemudian memicu pemogokan-pemogakan petani di perkebunan-perkebunan Tembakau di Nglungge dan Tegal Gondo. Dalam Islam Bergerak, 20 April, lewat sebuah karikatur, Misbach menggambarkan penghisapan atas petani yang dilakukan oleh Kapitalis dan menyerukan “Djangan Koeatir” kepada para petani, dan itu dicoba jelaskan dalam artikelnya pada Islam Bergerak, 10 Maret 1919

Mengapa Misbach berkata pada petani “Djangan Koeatir”? Apa yang ia maksud dengan “Djangan Koeatir” Di artikelnya “Orang bodo djoega machloek Toehan”, maka fikiran jang tinggi djoega bisa didalam otaknja”, ia secara luas menjelaskan gagasan tentang “Djangan Koeatir”. Didalam artikel itu, ia menegaskan bahwa “Regeering jang katanja melindoengi pada ra`jatnya, tetapi nampaklah pada kita, bahwa perkataan ini hanjalah OMONG KOSONG belaka, “dan bahwa “lebih tegas perlindoeangan pemerintah hanjalah pada kaum kapitalisme, sedang ra`jatnja paman tani atau si Kromo tinggal mendjadi koerbannja.”…bahwa pokok mereboet kemerdikaan kita itoe, misti roekoen lebih doeloe, tetapi dengan djalan bagaimanakah kita misti berboeat itoe?”. Satu-satunya cara untuk “mendjadikan roekoen”, kata Misbach adalah dengan “memegang wet jang misti terpake oleh sekalian manoesia diatas hidoepnja, “yaitu hukum manusia yang didasarkan pada perintah Tuhan, Alquran. Ia melanjutkan:
Akan tetapi toean-toean pembatja misti enget, sesoedahnja kita bersatoe pada keroekoenan kita, kita diwadjibkan oleh Toehan terseboet dalam QOER’AN demikian:
(tulisan arab)
ijoe chikkol chako wajoebtila’lbatila walau karihal moedjrimoen.
ARTINJA: Benerkanlah barang jang benar, kliroekanlah barang jang kliroe, kendati orang jang kliroe itoe membentji kepadamoe
Terangnja kita manoesia diwadjibkan mendjaga soepaja djangan ada orang teroes meneroes melakoekan perboeatan jang tidak benar, djika kita beriman tentoelah kita tidak sjak lagi mengindahkan firman Toehan itoe, meski kita dibentji oleh orang jang berboeat salah itoe, tetapi kita diwadjibkan membenarkan pola, dengan tidak memandeng bangsa, dan tidak memandeng pangkat besar atau ketjil, kendati radja-radja, atau pemerintah negri, dan Oelama-oelama of kijai-kijai, tidak perdoeli siapa djoega djika dia poenja perboeatan tidak dengan sebenarnja, kita wadjib membenarkan.
Akan tetapi memang soesah beoat ini waktoe kita melakoekan hal itoe, karena jang ini waktoe didoenia tanah Djawa hanjalah berisi TINDESAN jang ada pada kita, dan bagaimana djeritannja kaum jang tertindas, tetapi roepa-roepanja toch tidak di REWES, hanjalah kekoeatan jang disadjikan kepada kita, kekoeatan mana djika kita tidak maoe di LAKOE-LAKOEKAN, oedjoeng sendjatalah jang dihadepkan kepada kita. Djadi kalau begitoe Hindia dini waktoe sebagai hanja orang-orang dinegeri MAKAH tempo djaman poerbakala jang mana prikehidoepanja njelingkan tindesan jang ada padanja, disitoelah Toehan bersabda, kita ambil dalam bahasanja Melajoe sadja koerang lebih demikian : Mengapa kamoe smoea tidak maoe berperang sabilillah, dan tidak maoe menoeloeng orang-orang laki dan prempoean dan anak-anak jang sama apes (sengsara) jang sama moehoen pada Alloh demikian: Toehan hamba ! Moedah-moedahan Toehan mengloearkan hamba dari perdieman Makah sini jang sama beraniaja. Begitoe djoega Toehan moega memberi orang Moeqmin jang mengoewasai dan menoeloeng kepada hamba.

Nah ! sekarang nyatalah bahwa perintah Toehan kita orang diwadjibkan menoeloeng kapada barang siapa jang dapat tindesan, hingga mana kita berwadjib perang djoega djika tindesan itoe beloem dibrentikan[11].
Tulisan dan perilaku Misbch inilah yang kemudian membuat merah kuping Pemerintahan Kolonial dan bagaikan kebakaran jenggot sehingga kemudian menangkap Misbach pada 7 Mei 1919.
Setelah dilepaskan dari penjara, Misbach terus aktif pada Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH) yang merupakan bentuk baru dari Insulinde. Namun ketika ketika hendak melanjutkan tur propagandanya ke Kebumen, Misbach ditangkap kembali, dibebaskan dari penjara Pekalongan pada 22 Agustus 1922.
Maret 1923, Misbach telah aktif sebagai propagandis SI Merah. Juli 1924 Misbah ditangkap dan dibuang ke Manokwari, akhirnya 24 Mei 1926 Misbach meninggal dunia disana dimakamkan disamping kubur istrinya, kemudian anak-anak Misbach dikirim kembali pulang ke tanah Jawa.

Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas, tidak
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami yang meneruskan
Kerja agung jauh hidupmu
Kami tancapkan kata mulia hidup penuh harapan
Suluh dinyalakan dalam malamu
Kami yang meneruskan kepada pelanjut angkatan (Henriette Rolland Hoslt)

III
Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia[12]

Penulisan ini hendak mencoba mengungkapkan latar belakang di terimanya ide-ide Marxis yang dinilai ateistik yang notabene kafir dan berasal dari dunia Barat "si penjajah" bisa di terima oleh beberapa pemimpin perjuangan pergerakan rakyat di Indonesia khususnya dalam tubuh Sarekat Islam

Penetrasi ide-ide Marxis di Indonesia dilakukan lewat ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeninging) yang didirikan oleh Henk Seneevliet pada Mei 1917, yang kemudian oleh para aktivisnya dikembangkan di Red Guardist di Surabaya maupun VSTP (Vereninging voor Spoor en Tramweg Personeel) di Semarang, dan akhirnya mampu mempengaruhi beberapa tokoh pergerakan Sarekat Islam, seperti Semaoen, H. Busro dan Darsono (Semarang), Alimin dan Musso (Jakarta), maupun H. Misbach dan Mas Marco Kartodikromo (Surakarta). Mereka inilah kelak ketika terjadi perpecahan di tubuh CSI (Centraal Sarekat Islam) akan tergabung dalam Sarekat Islam Merah/Sarekat Ra`jat (SR)-PKI.

Ide-ide Marxis itu kemudian semakin kuat dalam tubuh pergerakan rakyat dalam hal ini SI-SI lokal ketika kaum muda terpelajar seperti Semaoen-ketika itu berumur 19 tahun-merebut kursi ketua SI Locaal Semarang Segera saja Semaoen menggerakan SI Semarang "ke kiri" sehingga mampu mengubah basis massa SI Semarang dari kelas menengah menjadi buruh, petani dan kaum miskin kota. Tidak itu saja, karena kemudian SI Semarang mampu merebut hegemoni di SI-SI lokal lainya dari tangan HOS Tjokroaminoto, terutama sekali setelah perjuangan ekonomi dengan pemogokan serikat buruh berhasil dan terbukti mampu menggairahkan kembali pergerakan rakyat pada umumnya dan SI pada khususnya.

Radikalisasi atau proses perevolusioneran SI Semarang sangat ditentukan oleh kondisi masyarakat Jawa yang memang sangat menyedihkan. Kemisikinan, kelaparan, dan penyakit telah mengakibatkan banyak orang menderita dan banyak orang meninggal dunia, hal ini. mengakibatkan agitasi dan propaganda SI Semarang segera mendapat sambutan dari khalayak luas.

Sementara itu ketika penderitaan sangatlah menyedihkan, justru Volksraad hanyalah komedi politik dan pemerintah mendirikan Indie Weerbar dan Milisi Boemi Poetra, sebuah pasukan pribumi untuk mempertahankan Hindia Belanda dari serangan musuh dan hal ini ternyata didukung oleh elit CSI maupun BO.
Berbagai bentuk penindasan yang sangat luar biasa, meminjam istilah Tan Malaka[13], "tanah emas, surga buat kaum kapitalis, tetapi tanah keringat air mata maut, neraka bagi buat kaum proletar", kemudian melahirkan berbagai pertanyaan tentang sumber dan solusinya.

Dari Sneevlietlah mereka belajar menggunakan analisa Marxistis untuk memahami realitas sosial yang dialami. Mereka berpendapat bahwa sebab dari kesengsaraan rakyat Indonesia adalah akibat dari struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat jajahan yang diperas oleh Kapitalis[14].
Untuk itulah kemudian H. M. Misbach mengatakan, "..Kami sebagai orang Islam wadjiblah dari djaoeh memboeka topi boeat tanda memberi trimakasih kepada Karl Marx jang menjadi penoenjoek djalan, karenanja kami bisa mengetahoei rintangan agama yang terbesar"[15]. Untuk itulah mengapa ia kemudian bergabung ke PKI, "Ketahoilah, saja saorang jang mengakoe setia pada Igama dan djoega masoek dalam lapang pergerakan komunist, dan saja mengakoe bahoea tambah terbukanja fikiran saja dilapang kebenaran atas perintah Agama Islam itoe, tidak lain jalah dari sesoedah saja mempeladjari ilmoe kommunisme, hingga sekarang saja berani mengatakan djoega, bahoea kaloetnja kasalamatan doenia ini, tidak lain hanja dari djahanam kapitalisme dan imperialisme jang berboedi boeas itoe sadja, boekanja kasalamatan dan kemerdekaan kita hidoep dalam doenia in sadja, hingga kepertjajaan kita hal Igama poen beroesak djoega olihnja[16].

Dalam konggres-konggres CSI, Semaoen semakin memperoleh dukungan dari SI-SI lokal lainnya meski mendapat hadangan dari grup Abdoel Moeis dan H. Agoes Salim.

Kemudian untuk memperkuat propaganda dan pendidikan, Semaoen menarik Mas Marco Kartodikromo untuk bergabung dalam surat kabar SI Semarang, serta meminta Tan Malaka untuk mendirikan sekolah-sekolah rakyat.

Meskipun ada pertentangan antara grup Semaoen dan Abdoel Moeis, toh kemudian melahirkan transformasi baru dalam tubuh SI, ketika dalam konggres, SI memutuskan untuk melawan Zondig Kapitalisme (Kapitalisme yang berdosa), hal ini menunjukan perubahan orientasi SI dari kelompok ronda (Rekso Roemekso, didirikan di Surakarta awal 1912) untuk mempersiapkan perkelahian dan pemboikotan terhadap Cina ,menjadi perjuangan yang lebih luas, pemerintahan sendiri dan perlawanan atas Kapitalisme.

Ditengah perseteruan dalam tubuh SI antara grup Semaoen dengan Abdoel Moeis dan Agoes Salim, didirikanlah PKI (Persarekatan Kommunist India/Partij der Komunisten in Indie) pada 23 Mei 1920 sebagai pengganti ISDV, dibawah pimpinan Semaoen.

Setelah kepulangannya dari negeri Belanda, Soewardi Soerjaningrat mempublikasikan terjemahan sebuah lagu berbahasa Peranacis, L `Internationale karya Eugene Pottier, lagu itu diberi Judul Internasionale, Bangoenlah, bangsa jang terhina!, Bangoenlah kamoe jang lapar! Kehendak jang moelia dalam doenia! Senantiasa tambah besar. Linjaplah adat fikiran toea! Hamba-ra`jat, sadar, sadar doenia telah berganti roepa, Nafsoelah soedah tersebar Bagi prang penghabisan. Koempoelah berlawan. Serikat Internasional akan kemanoesian....

Lagu tersebut juga diterjemahkan oleh partai komunis diberbagai dunia sebagai salah satu ciri keanggotaan mereka dalam organisasi komunis internasional, Komintern yang didirikan oleh mendiang Vladimir Illich Ulyanov Lenin.

Keikutsertaan kaum pergerakan rakyat Indonesia khususnya orang-orang kiri-komunis dalam kancah internasional, Komintern, diawali ketika ISDV menerima disiplin organ, syarat menjadi anggota Komintern, syarat itu diantaranya memakai nama partai komunis dan negara asal.
Informasi berasal dari sepucuk surat dari Haring, agen Komintern di Canton pada awal 1920, Haring adalah nama samaran Henk Sneevliet pendiri ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeninging) yang telah dipaksa keluar dari Hindia Belanda oleh pemerintahan kolonial dan hidupnya diakhiri oleh tembakan pasukan Nazi

Semaoen kemudian mengirimkan surat tembusan tersebut ke para anggota ISDV hingga melahirkan konggres istimewa ISDV, konggres berlangsung cukup panas. Dalam sidang 2 orang mengajukan keberatan dengan alasan, jika kita menerima perintah komintern, ini berarti kita berada dibawah orang Rusia. Semaoen mencoba menjelaskan bahwa Komintern bukan milik orang Rusia. Dan perubahan nama itu hanya sekedar disiplin partai. Akhirnya sidang menerima perubahan nama itu[17].

Dengan diperkenalkannya disiplin partai (Partijucht) ala Barat oleh Soewardi Soerjaningrat, yang menyatakan tidak boleh adanya keanggotaan ganda dalam sebuah partai, hal inilah yang digunakan Abdoel Moeis untuk menendang keluar kubu Komunis dalam rangka perbaikan citra Tjokroaminoto di mata para etisi pemerintahan Hindia Belanda

Maka pecahlah kemudian CSI, orang-orang PKI kemudian mendirikan SI Merah yang kemudian menjadi Sarekat Ra`jat (SR.). Tan Malaka yang kemudian naik menjadi pucuk pimpinan PKI berusaha mengakhiri konflik ini. Dalam memorinya, Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka menuliskan[18]:
yang sekarang masih saya ingat, pidato saya yang terpenting dalam konggres PKI tadi (1921), adalah uraian tentang akibatnya perpecahan awak sama awak, antara kaum komunis dengan kaum muslim, berhubung dengan politiknya "pecah dan adu" imperialisme Belanda. Perpecahan kita di jaman lampau, yang diperkuda oleh politik devide et impera itu sudah menarik kita kelembah penjajahan. Kalau perbedaan Islamisme dan Komunisme kita perdalam dan lebih-lebihkan, maka kita memberi kesempatan penuh kepada musuh-musuh yang mengintai-intai dan memakai permusuhan kita untuk itu melumpuhkan gerakan Indonesia. Marilah kita majukan persamaan, dan laksanakan persamaan itu pada persoalan politik dan ekonomi yang kongret nyata terasa. Demikian sari pidato saya

Sebelum usaha Tan Malaka mengakhiri konflik berhasil, ia telah dipaksa keluar dari Hindia Belanda, disusul kemudian para tokoh kunci PKI. Dalam persoalan perseteruan dalam tubuh CSI, H. M. Misbach dalam Medan Moeslimin menuliskan:
Begitoe djoega sekalian kawan kita jang mengakoei dirinja sebagai seorang kommunist, akan tetapi mereka misi soeka mengeloewarkan fikiran jang bermaksoed akan melinjapkan agama Islam, itoelah saja berani mengatakan bahoewa mereka boekannya kommunist yang sedjati atau mereka beloem doedoeknja kommunist, poen sebaliknja, orang jang soeka mengakoe dirinja Islam tetapi tidak setoedjoe adanya kommunisme, saja berani mengatakan bahoewa bukan Islam sedjati, ataoe beloem mengerti betoel-betoel tentang duduknja agama Islam[19]

Dalam situasi yang terus menghadapi teror dan para pemimpinnya banyak yang ditangkap, dibuang dan lari, PKI mengangkat Sardjono menjadi ketua dan kemudian memutuskan berontak, oleh Tan Malaka yang kala itu berkedudukan sebagai agen komintern untuk wilayah Timur Jauh telah dilarang, namun urung, pemberontakan meletus juga dan hancurlah PKI. Joseph Stalin juga melarang pemberontakan tersebut, bahkan memarahi dan menahan Musso untuk dididik ulang, namun ketika pemberontakan meletus Komintern toh memberi dukungan moral

Tan Malaka sendiri kemudian mendirikan PARI (Partai Ra`jat Indonesia) di Bangkok pada tahun 1927 dan memutuskan hubungan dengan PKI dan komintern sebagai sikap penolakan dia atas sikap Komintern yang bermusuhan dengan Pan-Islamisme karena dianggap sebagai gerakan borjuis.

Pada konggres Komintern yang ke-4 pada tahun 1922, Tan Malaka yang mewakili Indonesia, dalam pidatonya menyebutkan bahwa ia bersikeras bahwa Pan-Islamisme berarti "perjuangan nasional untuk memperoleh kebebasan[20]. Sedangkan sikapnya terhadap Marxisme dapat kita lihat melalui tulisannya sebagai berikut:
"Menelan saja semua putusan yang diambil oleh pemikir revolusi di Rusia tahun 1917 ataupun oleh Marx pada pertengahan abad ke-19, dan melaksanakan putusan Marx dan Lenin dari tempat dan pada tempo berlainan itu di Indonesia ini dengan tiada mengupas, menguji, dan menimbang keadaan di Indonesia sendiri, berarti membebek, membeo, meniru-niru. Marxisme bukannya kaji apalan (dogma), melainkan satu petunjuk untuk aksi revolusioner. Semua bukti revolusi Indonesia dan semua kesimpulan yang menentukan siasat revolusi Indonesia mesti ditimbang sendirinya menurut satu persatu menurut nilainya masing-masing"[21].
Dan Darsono, seseorang yang oleh Komite Pelaksana Komintern dinilai sebagai sangat kuat sehingga diangkat menjadi wakil komintern di Jerman selama satu periode pada pertengahan tahun 1920-an. Pada akhir tahun 1930-an, agaknya terutama karena muak terhadap segala pergeseran oportunistik dalam kebijakan komintern yang menurut dia, condong kepada kepentingan-kepentingan nasional Rusia, Darsono memutuskan hubungannya dengan Komintern dan Partai Komunis Indonesia[22]. Hal senada juga dilakukan Semaoen, dan lainnya yang muak dengan Joseph Stalin. Sementara itu garis Komintern dilanjutkan Musso dengan membentuk PKI Ilegaal di Surabaya yang mana proses penyusunan kadernya lewat Partai Koemunis Moeda, gerakan ini berhasil dihancurkan oleh dinas intelijen Belanda.

Menurut Soe Hok Gie[23], pada saat Jepang menyerah telah tumbuh bermacam-macam grup dalam PKI-grup Alimin/Musso yang hijrah ke Rusia, grup PKI 35, grup Digul di bawah Sardjono, grup mahasiswa di negeri Belanda dan grup-grup yang tidak tertangkap selama pendudukan Belanda dan Jepang. Mereka mempunyai tradisi kerja yang berlainan, mempunyai pengalaman yang berbeda-beda dan juga membawa emosi yang beraneka warna. Semuanya mengaku tunduk pada Komintern, semuanya berkiblat ke Moskwa.

IV
Islamisme dan Komunisme

Berikut ini adalah beberapa kutipan pandangan Islamisme-Komunisme H. Misbach yang ditulisnya selama dipembuangan dan diterbitkan di Medan Moeslimin di tahun 1925 dalam artikel berseri yang berjudul Islamisme-Komunisme. Ini merupakan pemenuhan janjinya terhadap Pembaca Medan Moeslimin yang Misbach janjikan dalam artikel yang berjudul “Pamitan Saja”.
Pertama Misbach mencoba mengutarakan mengapa artikel Islamisme dan Komunisme ia tuliskan. Misbach melihat:
…..boekannja mereka menggerakan agama Islam jang sedjati, betoel mereka senantiasa menoendjoek2kan keislamanja, tetapi sebetoelnja tjoema diatas bibir sadja, akan tetapi di pilih atoeran jang di soekai olih hawa nafsoenja sadja, perintah jang tidak di soekai moedah diboewangkan sahadja tegasnja mereka melawan atau menentang perintah Toehan Allah Samioen`alim dan takoet dan tjinta kepada kehendak Saiton jang dipertaroehkan dalam Kapitalisme pada waktoe sekarang ini (La`natoe’llaah red) jang trang kejahatannya.
Begitoe djoega sekalian kawan kita jang mengakoei dirinja sebagai seorang kommunist, akan tetapi mereka misi soeka mengeloewarkan fikiran jang bermaksoed akan melinjapkan agama Islam, itoelah saja berani mengatakan bahoewa mereka boekannya kommunist yang sedjati atau mereka beloem doedoeknja kommunist, poen sebaliknja, orang jang soeka mengakoe dirinja Islam tetapi tidak setoedjoe adanya kommunisme, saja berani mengatakan bahoewa bukan Islam sedjati, ataoe beloem mengerti betoel-betoel tentang duduknja agama Islam….[24]

Dari pernyataan diatas ada dua hal yang dapat diurai, yang pertama, bagaimana Misbach memandang kejahatan Kapitalisme. Kedua, bagaimana hubungan antara Islam dan Komunisme. Pada kongres PKI/SI Merah di Bandung dan Sukabumi pada awal Maret 1923, dilaporkan Misbach mengatakan:
Dengan mendasarkan pada Quran, pembicara itu berpendapat bahwa ada beberapa hal yang bersesuaian antara ajaran Qur`an dan Komunisme. Misalnya Quran menetapkan bahwa merupakan kewajiban setiap muslim untuk mengakui hak asasi manusia dan pokok ini juga ada dalam prinsip-prinsip progam komunis.
Selanjutnya adalah perintah Tuhan bahwa (kita) harus berjuang melawan penindasan dan penghisapan. Ini juga salah satu sasaran komunisme[25].

Dan secara lebih rinci, dalam artikel-artikel yang dikirim pada waktu pembuangannya, Misbach menuliskan:
Pada zaman doeloe kala sebeloem toewan Karl Marz masoek dalam lapang gerakan ra`jat, di doenia beloem ada perkataan dan bahasa “Kommunist”.akan tetapi tindasan2 dan fitnahan jang meradja rela di atas boemi ini telah berhamboer2an, fitnah mana jalah jang timbolnja dari kaoem Fiodol (kaoem bangsawan….of ningrat) dan kaoem kapital, akan tetapi ra`jat misi tertoetoep fikirannja, tidak mengarti betoel-betoel sebab2 jang menimboelkan kasengsaraan dalam ini doenia, hanja sadja manoesia soedah memberasa tertindas dan membikin perlawanan, tetapi perlawanan pada waktoe itoe beloem dapat mengetaoei organisasi jang betoel2 sebab soenggoeh soenggoeh akan pehak jang mendjadi sebabnja membikin roesak pada doenia
Waktoe toewan Karl Marz memegang pimpinan jurnalis beliau memperhatikan betoel-betoel akan nasibnja ra`jat, beliau ketarik sekali pada adanja soeal2 tentang Economie dan doedoeknja kaoem miskin; dari itu toean Karl Marz dapat tahoe dengan terang pokok atoe soember2 jang menimboelkan kekaloetan doenia. Sebab atau soember kekaloetan itoe sebagai berikut.
1e. Doenia kamiskinan di sebabkan adanja Kapitalisme jalah adanja ilmoe mentjahari kehoentoengan bersama hanja mendjadi hak miliknja (kepoenjaanja) sedikit orang, Kamiskinan sebab adanja isapan dan tindasan jang keloear dari kapitalisme. Manoesia jang miskin mendjadi roesak badanja, dan moedah dihinggapi roepa-roepa penjakit jang toemboeh dari badanja. Manoesia jang telah mendjadi miskin tersia-sia hidoepnja sebab tidak mempoenjai roemah pakaian dan makanan jang mentjoekoepi sebenar2nja setjara manoesia jang soedah terlalu roesak semaoenja mereka bergelandangan mondar-mandir di tengah-tengah djalan, bertempat tinggal di pasar-pasar, di bawah pohonan, bahwa djembatan dan l.s. Kedjadian djoega mereka jang terlaloe miskin (kere) jang ta` mendapat pertolongan lantas di pegang olih politie lalu di masoekan ke dalam boei jang seteroesnja bekerdja paksa 14 hari lamanja, karena mereka ta` mempoenjai tempat tinggal jang tetap.
Mereka jang miskin ada djoega jang laloe timboel kedjahatan, seperti: menipoe, mentjoeri, membegal, merampok dan l.l.s. Orang2 perampoewan laloe banjak mendesak dan medjoewal kahoermatanja, jalah mendjadi pelatjoeran (soendel) dan l.l.s
Timboelnja semoea itoe soekar sekali ditolong, ketjoewali kalau kapitalisme dilinjapkan dari doenia
Keadaan jang terseboet itu sebabnja mereka ta` mempoenjai penghidoepan dan mentjaharinja ta` dapat djoega
Didoenia ini di adakan boei dan politie oentoek mendjaga djangan sampai ada kedjahatan dan lain sebagainja, akan tetapi ichtiar itoe tida berhasil, tandanja lama doenia ada boei dan politie tela makin disoesoet tetapi senantiasa tambah-tambah.
Koeboerlah Kapitalisme
2. manoesia dalam zaman kapitalisme mendjadi roesak moralnja (boedinja) atau humaniteitsgevoel (kemanoesiannja) walaupoen mereka mereka mendapat pengadjaran jang tinggi. Sebab keroesaannja moedah sekali di permain-mainkan olih kapitalisme oentoek perkakasnja, apa-apa jang diperintahkan olih kapitalisme kepada mereka, mereka lantas merasa wadjib mendjalaninja maskipoen perentah itoe membikin hina dan tjelaka kepada dirinja. Boekti jang terang di Eropa bermilioenan manoesia djiwanja melajang sebab di boeat permainan olih kapitalisme jang senantiasa concurentie goena meloeaskan kemoerkaannja jang tida berbatas itoe, kemoerkaan mana mereka mereboet Economie dan beberapa indoestri fabrik-fabrik jang menghasilkan barang2 bermatjam-matjam seperti barang goena kaperloean pakaian, roemah tangga dan alat-alat jang lain jang mendjadi kaperloean dan kasenangan manoesia dan sebagainja.
Melanjutkan tulisannya, kemudian yang ketiga bagi Misbach, untuk menerangkan bahwa Kapitalisme penyebab kekalutan didunia dan mengapa harus dilawan adalah karena:
Kaoem modal itoe jang mendjadi tjita-tjitanja hanja menambahkan keoentoenganja dengan tidak mengingat beriboe-beriboe orang lain mendjadi sengsara, dari itoe segenap waktoe, segenap tenaganja kaoem boeroeh terpaksa di habiskan oentoek mentjaharikan kaoentoengannja kaoem modal sebab terikat olih peratoerannnja kaoem modal
Kaoem modal memeras kaoem boeroehnja tida memandang bangsa dan agama dan tida ambil posing wet-wet agama jang moesti didjalani orang-orang jang beragama…Kaoem-kaoem boeroeh di mana sadja selain mereka soedah mengorbankan tenaganja, fikirannja…enz, poen mengorbankan agamanja diroesak djoega olih kapitalisme[26]

Bagi Misbach bahwa Karl Marx, “bisa memboesoekan dengan historische materialisme”[27]. Dengan mencoba menggunakan materialisme historis tersebut Misbach melihat bahwa komunisme lahir dari tubuh penindasan Kapitalisme itu sendiri, namun lahir untuk merobohkannya sehingga disebut sebagai hantu.
“Adapoen kommunisme di seboet orang “hantoe atau memedi” ja`ni jang menakoeti. Pendapatan begitoe soedah semoestinja, karena kita bisa menjatakan sendiri apabila kita menanam kebaikan itoe akan memoengoet kebaikan djoega, kalau kita menanam kaboesoekan (menindes, memeres, menghina…) poen akan merasakan boeahnja jaitoe perlawanan”[28]

Artikel terakhir dari Misbach sebelum ia meninggal dunia diberi judul “Nasehat”, dituliskan pada awal tahun 1926 dan diterbitkan di Medan Moeslimin 1 April 1926, tulisan ini merupakan pandangan singkat tentang Islamisme dan Komunisme.
Hai saudara2 ketahoelah!, saja saorang jang mengakoe setia pada Igama dan djoega masoek dalam lapang pergerakan komunist, dan saja mengakoe bahoea tambah terbukanja fikiran saja dilapang kebenaran atas perintah Agama Islam itoe, tidak lain jalah dari sesoedah saja mempeladjari ilmoe kommunisme, hingga sekarang saja berani mengatakan djoega, bahoea kaloetnja kasalamatan doenia ini, tidak lain hanja dari djahanam kapitalisme dan imperialisme jang berboedi boeas itoe sadja, boekanja kasalamatan dan kemerdekaan kita hidoep dalam doenia in sadja, hingga kepertjajaan kita hal Igama poen beroesak djoega olihnja.
Sesoedah saja mendapat pengetahoean jang demiian itoe, dalam hati saja selaloe berfikir-fikir tentang berhoeboenganja dengan fatsal igama, sebab saja ada rasa bahoea ilmoe kommunist soeatoe pendapetan jang baroe, saja ada fikir, hingga rasa dalam hati berani menentoekan, bahoea perintah dalam agama moesti menerangkan djoega sebagaimana atoeran2 kommunisten
Hingga kita senantiasa memaham artikel-artikel dari perintah toehan jang telah tertoelis dalam boekoe alqoeran, dapatlah kita beberapa ajat jang terhadap kepada ilmoe kommunis, hal jang demikian ini hingga lantas bisa menambahi penerangan dalam hati saja.
Dari dalamnja rasa hati saja lantaran tertarik hal penerangan terseboet, hingga sampai mendjatoehkan air mata kita, keloernja airmata kita itoe lantas bisa menambahkan ketakoetan kita kepada toehan, jang lantas bisa mengganti fikiran baroe dari fikiran jang telah kita djalankan selama-lamanja, tentang perboetan kita jang sama terhanggap berdasar igama jang laloe, djaoeh sekali dari pada penoendjoek igama jang hak (sedjati).
Igama berdasar sama rata dan sama rasa, takloek kepada Toehan jang maha koewasa hak persamaan oentoek segenap manoesia dalam doenia tentang setjara pergaoelan hidoep, tinggi dan hinanja manoesia hanja tergantoeng atas boedi kemanoesiannja, adapoen boedi itoe terbagi ada tiga bagaian, jalah:
1. boedi kamenoesiaan,
2. boedi binatang
3. boedi sjetan
Boedi kamenoesiaan itoe jalah jang berdasar mempoenjai perasaan kesalamatan oemoem
Boedi binatang itoe jang hanja mengedjar kasalamatan dan kasenangan diri sendiri, terotama dengan koelawarga anak tjoetjoenja sadja sedikitpoen tidak soeka memikirkan lain orang
Boedi sjetan itoe jang selaloe memperboeat membikin roesak manoesia, lebih tegas meroesakan kesalamatan oemoem
Hai sekalian kawan-kawan kita, bahoea kita akan masoek dalam lapang pergerakan itoe, haroeslah kita dengan berasas igama jang hak, agar soepaja djangan sampai kita mendapet roegi dalam djaman perlawanan ini, oentoeng dalam kemenangan atoe oentoeng dalam acherat, koerbankanlah harta benda, dan djiwamoe, oentoek mengedjar kabenaran dan keadilan tentang pergaoelan hidoep kita dalam doenia ini.
Manoesia diwadjibkan berboeat kabenaran dan keadilan itoe, hanja waktoe hidoep dalam doenia sadja, perboetan mana jang kita perboeat dalam doenia ini, di hari kemoedian (hari kiamat) akan diperiksa oleh Toehan dan didjalankan dengan keadilan jang sempoerna di sitoelah nanti kita akan mengetahoei dan merasakan djoega, kesoesahan atau kenikmatan jang didalam doenia djaoeh perbandingannja, menoeroet apa jang kita perboeat dalam doenia ini
Kewadjiban igama tidak hanja seperti oerang jang sama mengakoei berigama Islam jang sama lakoekan sebagian besar jang menampak di mata kita sekarang ini, jaitoe djaoeh dari perkara oeroesan poelitiek dan tidak soeka mengatoer balatentara oentoek melinjapkan menoeloeng sjetan jang semata-mata menoendjoekan kaboeasannja oentoek meroesak keselamatan doenia itoe[29].

V
Majulah Pergerakan Rakyat

JIKA kita mencoba berkaca pada-yang oleh banyak orang disebut sebagai-perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yang meliputi; Tradisionalis, Modernis, Neo Modernis dan Tranformis, maka sesungguhnya kita melupakan atau menafikan pemikiran alternatif yang dikembangkan H. Misbach, mauapun Sarekat Islam Merah yang terbukti mampu menyusun praksis perlawananan yang didasar pada emansispasi massa. Yang berarti Islam tidak hanya ruh atas perlawanan, namun juga mampu mengorganisir perlawanan jika disertai pengetahuan dan sejarah yang mampu membongkar realita masyarakat..

Dalam konteks tersebut, sesungguhnya jauh hari mendahului revolusi Islam Iran, Teologi pembebasan, maupun gagasan tentang Kiri Islam dan Transformisme dalam tubuh Islam dalam khasanah kontemporer. Bahkan seringkali pelupaan kita atas sejarah pergerakan rakyat Indonesia, akhirnya dalam konteks perjuangan melawan Imperialisme, kita menjadikan revolusi Iran sebagai awalan kebangkitan dan referensi tunggal, padahal jauh hari dari itu pemberontakan petani yang cukup besar di Banten pada tahun 1888, sudah memainkan gagasan Islam tentang perlawanan, Sarekat Islam telah menggariskan perjuangan melawan Zondig Kapitalisme, dan masih banyak lainnya.

Makna dari itu semua adalah supaya kita tidak terjebak pada pemikiran Timur Tengah yang tersusun berdasarkan kondisi obyektif dan subyektif sana, karena setiap pemikiran haruslah mampu memenuhi kondisi obyektif sepetempat sehingga dapat membumi.dan berurat akar kebawah yang mampu mendorong emansipasi massa. Dalam sebuah perjuangan nasional apabila semata-mata hanya terjebak pada pemahaman tentang kondisi internasional maka ideologinya yang revolusioner justru yang akan muncul hanya gagasan reaksioner.

“REVOLUSI ADALAH PRAKTEK. Tugas pergerakan adalah menyusun penjelasan sistematis tentang revolusi sebagai tindakan melangsungkan pembebasan. Untuk kelas tertindas oleh kelas tertindas dan dalam konteks ketertindasan masing-masing, itulah paragraf pembukaan revolusi bukan dalam pengertian sebagai ritus pemberhalaan sejarah para ideolog atau politikus besar yang telah MEMBACAKAN DIRI di hadapan ingatan pengetahuan manusia modern. Sejarah itu nyata adanya. Teori revolusi yang tidak disusun dari dan sebagai praksis perjuangan adalah cerita yang hanya layak didengar dan mungkin malah akan menidurkan kembali kesadaran masyarakat dan bangsa-bangsa tertindas-terjajah justru ketika mereka berada pada masa-masa kebangkitannya. Membongkar penindasan-penjajahan modern dan lapis-lapis ideologi yang menyelimuti adalah masa depan perjuangan kerakyatan di Indonesia[30].”


Daftar Pustaka

Bachtiar Surin, Terjemahan & Tafsir Al-Qur`an 30 Juz Huruf Arab dan Latin, Fa. Sumatra, Bandung, 1978

Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Manifesto Politik Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Jakarta, 2000

Kahin, George Mc Turnan, Nationalism and Revolution in Indonesia, Cornel University Press, 1952, Terjemahan: Nin Bakdi Soemanto Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, UNS Press & Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995

Pramoedya Ananta Toer, Sebuah Roman Sejarah, Rumah Kaca, Hasta Mitra, Jakarta, 1988

Shiraishi, Takashi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926, Cornell University Press, New York 1990, Terjemahan: Hilmar Farid, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997

Soe Hok Gie, Dibawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, Frantz Fanon Foundation, Jakarta, 1990

-----, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Kisah Pemberontakan Madiun September 1948, Bentang, Yogyakarta, 1997

Makalah/Artikel
Gunawan, Merebut Alat Produksi Pengetahuan, Membangun Komunikasi Antara Pergerakan dan Massa, di
sampaikan pada OSPEK STAIN Kediri 20 Agustus 2000, Yogyakarta, 11 Agustus 2000

Gunawan, Islamisme-Komunisme dalam Perspektif Sarekat Islam Merah dan Terbentuknya PKI (Partai Komunis Indonesia), Tugas Matakuliah Sistem Politik Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2000
Gunawan, Kaum Komunis Indonesia dan Komintern, Melacak Terbentuknya Sebuah Hubungan Internasional, Tugas Matakuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, -----

Mansyur Surya Negara, H. Misbach Terbelenggu Palu Arit, Panji Masyarakat N0. 452

M. Zaki Mubarok, Marxisme-Religius, Pemikiran dan Revolusi dalam SI-Merah Solo, Gerbang, Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Edisi 02, Th. II, April-Juni 1999

Oshikawa, Noriaki, Tan Malaka, Berpikir Tentang Nasib Gagasan Politik, Suplemen Kompas Menuju Milenium III, Kompas, Sabtu, 1 Januari 2000

Saya telah menyaksikan
bagaimana keadilan dikalahkan
oleh para penguasa
dengan gaya anggun
dan sikap yang gagah
Tanpa ada ungkapan kekejaman
diwajah mereka.
Dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.
....
Keadaan ini dulu sudah saya alami.
Apakah orang seperti saya harus dilanda
oleh sejarah?
Tetapi ingat:
sementara sejarah selalu melahirkan
masalah ketidakadilan,
tetapi ia juga selalu melahirkan
orang seperti saya.
Menyadari hal ini
tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia
Tuan-tuan, para penguasa di dunia
kita sama-sama memahami sejarah
senang atau tidak senang
ternyata tuan-tuan tidak bisa meniadakan saya
.....
Rendra
Demi Orang-orang Rangkas Bitung





















[1] Mansyur Surya Negara, H. Misbach Terbelenggu Palu Arit, Panji Masyarakat N0. 452, h: 38
[2] Gunawan, Merebut Alat Produksi Pengetahuan, Membangun Komunikasi Antara Pergerakan dan Massa, di sampaikan pada OSPEK STAIN Kediri 20 Agustus 2000, Yogyakarta, 11 Agustus 2000, h: 1
[3] Pramoedya Ananta Toer, Sebuah Roman Sejarah, Rumah Kaca, Hasta Mitra, Jakarta, 1988
[4] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, h: 474
[5] Ibid, h: 173-174
[6] ibid, h: 180
[7] Bachtiar Surin, Terjemahan & Tafsir Al-Qur`an 30 Juz Huruf Arab dan Latin, Fa. Sumatra, 1978, h: 1183
[8] Ibid, h: 183-184
[9] Misbach, “Sroean Kita,” Medan Moeslimin 4 (1918), pp. 281-183, dalam Ibid, h: 183
[10] Op cit, h: 197
[11] Ibid, h: 201-202
[12] Bab ini diambil dari Gunawan, Islamisme-Komunisme dalam Perspektif Sarekat Islam Merah dan Terbentuknya PKI (Partai Komunis Indonesia, Tugas Matakuliah Sistem Politik Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2000, h: 2-7 dan diambilkan dari Gunawan, Kaum Komunis Indonesia dan Komintern, Melacak Terbentuknya Sebuah Hubungan Internasional, Tugas Matakuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2000, h: 2-5

[13] Noriaki Oshikawa, Tan Malaka, Berpikir Tentang Nasib Gagasan Politik, Suplemen Kompas Menuju Milenium III, Kompas, Sabtu 1 Januari 2000, h: 33
[14] Soe Hok Gie, Dibawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, Frantz Fanon Foundation, Jakarta, 1990, h: 17
[15] M. Zaki Mubarok, Marxisme-Religius, Pemikiran dan Revolusi dalam SI-Merah Solo, dalam Gerbang Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Edisi 02, Th. II, April-Juni 1999, h: 57
[16] Takashi Shirashi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, h; 409
[17] Soe Hok Gie, Dibawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, Frantz Fanon Founation, Jakarta, 1990, h: 43
[18] Noriaki Oshikawa, Tan Malaka, Berpikir Tentang Nasib Gagasan Politik, Suplemen Kompas Menuju MIlenium III, Kompas, Sabtu, 1 Januari 2000, h: 33
[19] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, h: 393
[20] George Mc Turnan, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, UNS Press & Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995
[21] Nariakhi Oshikawa, Tan Malaka, Berpikir Tentang Nasib Gagasan Politik, Suplemen Kompas Menuju Milenium III, Kompas, Sabtu, 1 Januari 2000, h: 33
[22] Opcit, h: 59 (Footnote )
[23] Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Kisah Pemberontakan Madiun September 1948, Bentang, Yogyakarta, 1997, h: 39-40
[24] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, h: 393
[25] Ibid, h: 361
[26] Ibid, h: 398
[27] Ibid
[28] Ibid, h: 399
[29] Ibid, h: 409-410
[30] Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Manifesto Politik, Jakarta, 2000

Thursday, October 19, 2006



Bismillahirrohmanirrohim
Menjadi Semi Kolonial atau Rencana Ekonomi Berjuang
Oleh: Gunawan

“Biar tuan caci aku tetap tak mau pergi, biar nyonya maki aku tetap saja, suka
…… Saat nyonya antarkan tuan tidur. Saat tuan temani nyonya mimpi
Aku lihat berjuta manusia, yang merintih lantaran hidupnya
Terperangkap kedalam jurang dusta, Terperosok kedalam lembah nista…..”
(Saksi Gitar Tua, God Bless)

Krisis moneter 1997, yang dialami Negara Orde Baru (NOB) yang kemudian disusul dengan krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis sosial yang menyertai ambruknya Rezim Militer Orde Baru, ternyata tidak berhasil diatasi oleh mister Habibie, Gus Dur, dan ibu Mega sebagai para presiden berturut-turut pasca Soeharto.
Semenjak Jenderal Besar Soeharto merasa kesulitan mengatasi krisis ekonomi, hingga pemerintahan Megawati, bisa dikatakan bahwa strategi ekonomi Indonesia bersandar pada resep-resep IMF, Megawati mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak populis - seakan membuktikan prediksi orang bahwa Megawati akan menjalankan neo developmentalism -, seperti privatisasi BUMN, pencabutan subsidi BBM dan biaya pendidikan, tidak melakukan perlindungan atas produksi rakyat seperti impor beras, gula, paha ayam dan sebagainya.
Meskipun diakhir periode pemerintahannya, Megawati telah mengutarakan maksud tentang strategi lepas dari IMF, tetapi diakhir masa pemerintahannya, presiden Megawati dan DPR telah memproduksi sekian peraturan perundangan yang membawa keterasingan Indonesia dari kekuatan-kekuatan produksinya, tanah, air dan udara, serta martabat kemerdekaannya serta daulat rakyat kuasa, tetapi justru membuka ruang yang besar bagi modal internasional. Penggusuran kaum miskin kotapun menjadi massif diakhir pemerintahan Megawati dengan di beberapa tempat menampilkan Dinas Trantib dan Sat Pol PP yang seakan menampilkan sosok baru “militeristik” dan “police brutality” di Indonesia.
Pemilu adalah harapan rakyat atas masa depan yang lebih baik bagi negara, masyarakat dan perekonomian di Indonesia. Maka adalah wajar jika banyak yang berharap banyak pada pada kepemimpinan SBY-JK, namun, SBY segera menuai kritik ketika beliau mengangkat beberapa menteri yang dianggap mewakili kepentingan internasionalisasi modal, disusul dengan belum jelasnya arah 100 hari SBY, yang dijawabnya dengan bahwa saat ini dia sedang mengenali masalah meskipun SBY telah mengambil tindakan yang populer seperti inspeksi mendadak, melarang pejabat menerima parsel dan sebagainya. Namun bagaimanapun juga tanpa “analisis kongret atas situasi kongret” sehingga menjadi jelas “apa yang harus dilakukan” dan “dari mana harus memulai” pelbagai tindakan tersebut hanyalah verbalisme dan aktivisme belaka.
Tetapi dua hal yang mengemuka yang dicanangkan SBY, Yaitu Dewan Keamanan Nasional dan Dewan Ekonomi Nasional. Dalam forum APEC di Santiago Chile, SBY juga kembali menekankan arti penting keamanan dan menawarkan pasar dan investasi ke Indonesia. Hampir sama dengan SBY, namun lebih ekstrim, George W Bush Jr menawarkan perang melawan terorisme dan globalisasi. Praktis semenjak Amerika menyatakan perang terhadap terorisme, hal itu menjadi provokasi bagi kekerasan politik diberbagai belahan dunia, khususnya negara-negara Dunia Ketiga, mulai dari Indonesia, Filipina, Thailand, Afghanistan, Pakistan, India (Khasmir), Arab Saudi dan Iraq.
Artinya memprediksi perekonomian dan stabilitas politik serta stabilitas keamanan di Indonesia, kita harus menjadikan internasionalisasi modal sebagai unit analisa, khususnya peranan Amerika dalam membawa neo liberalisme, yang itu kaitannya dengan, pertama, jika investasi membutuhkan keamanan, bagaimana kaitannya dengan konsolidasi demokrasi, khususnya demokrasi ekonomi, karena ketidakdilan distribusi ekonomi, ekspolitasi alam dan tenaga kerja (buruh dan petani serta high cost production bagi pengusaha), serta ekses lain dari ekspansi kapitalisme internasional adalah pemicu munculnya kerawanan social, apakah Dewan Keamanan Nasional akan dijadikan solusi. Kedua, perubahan sosial seperti apa yang akan dibawa SBY dalam mode produksi, mode konsumsi dan distribusi ekonomi politik. Akankah SBY akan menjalankan amanat reformasi 1998 ataukah ia akan membangkitkan kembali kekuatan lama (ancient regime: imperialisme, kapitalisme birokratik-rente, militerisme dan oligarki) atau justru memunculkan oligarki kekuasaan yang baru. Padahal jika kita merujuk apa yang diungkapkan Carlos M. Vilas (1986), bahwa perubahan sosial yang mendasar pada negara dan masyarakat kapitalisme pinggiran menyangkut empat masalah mendasar dan saling berhubungan, yaitu: (1) Persoalan kelas, yang menyangkut pengakhiran eksploitasi massal dibimbing suatu kelas atau faksi kelas tertentu; (2) Persoalan kedaulatan nasional, yang merujuk pada likuidasi dominasi imperialis dan penentuan kembali nasion itu secara ekonomi dan politik dimasukan kedalam sistem dunia; (3) Persoalan pembangunan, melalui ekspansi kekuatan-kekuatan produktif dan rasionalisasi struktur produktif; dan (4) Persoalan demokrasi, atau dibongkarnya negara yang telah menjamin eksploitasi kelas, keterbelakangan ekonomi, dan dominasi imperialis, dan pembangunan suatu jenis baru kekuasaan politik. Maka bentuk maju dari menjalankan amanat reformasi 1998 adalah meneruskan perjuangan revolusi kemerdekaan 1945.

Pax Americana, Negara, dan Perekonomian
Provokasi terorisme yang terus didorong oleh Amerika harus dilihat sebagai bagian usaha Amerika menjaga kebijakan ekonominya yang internasionalis liberal, atau yang lebih dikenal sebagai neo liberalisme. Ahmad Rosadi Harahap (2004) mengungkapkan, berbeda dengan hipotesis Huntington (1996) yang memprediksi konflik peradapan di masa depan bakal bermotif budaya, Brawley (1993) percaya liberalisasi perdagangan dunia sebagai penyebab perang dunia (trade liberalization as a catalyst). Berbeda dengan teori siklus hegemoni yang umum dianut pakar (Goldstein, 1988), Brawley melihat, perang terjadi bukan semata karena melemahnya suatu hegemoni, tetapi lebih disebabkan perhitungan untung-rugi suatu negara terhadap liberalisasi perdagangan internasional. Pendapat itu dikuatkan hasil penelitian Snooks (1996) yang menyimpulkan perang lebih cepat menghasilkan pertumbuhan dunia (Conquest-led growth), dibanding commerce-led growth, maupun technological-led growth. Perang tidak hanya melahirkan marked leader, tetapi juga akan mendorong (demi memenangkan perang) inovasi tekhnologi dan persaingan usaha di antara kelompok-kelompok yang berperang, yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan di masa damai. Schumpeter (1950) menyebutnya sebagai kekuatan creative destruction dari sistem kapitalisme.
Maka mengamati konflik internasional kontemporer ini, maka benarlah jika imperialism higgest stage of capitalism dan militerisme adalah ekspresi puncak dari kapitalisme. Dua kali perang dunia (PD I dan PD II) telah menunjukan bagaimana kebutuhan kolonialisasi atas kapitalisme internasional telah melahirkan perang besar. Namun juga kapitalisme sampai dengan Perang Dunia II telah menumbuhkan, pertama, nasionalisme borjuis dan demokrasi liberal di Eropa yang tumbuh semenjak perjanjian Westphalia yang memunculkan konsep negara bangsa (nation state) hingga Revolusi Perancis, Revolusi Industri dan Revolusi Amerika, yang ketiganya telah menjadi fondasi bagi perkembangan kapitalisme dari merkantilisme ke kapitalisme industri dan modal. Respon atas eksploitasi dan ekspansi kapitalisme di Eropa kemudian memunculkan sosialisme sedangkan di negara-negara jajahan dan setengah jajahan sebagai respon atas ekspansi dan ekspolitasi kapitalisme internasional yang mengambil bentuk kolonialisme telah memunculkan juga nasionalisme dan demokrasi, tetapi nasionalisme baru dan demokrasi baru yang revolusioner dan berpihak kepada rakyat pekerja. Kedua, krisis kapitalisme yang menyertai PD I dan PD II telah melahirkan dunia komunis di Rusia, kritik diri kapitalisme di Amerika lewat negara kesejahteraan (welfare state) dan kemunculan fasisme di Jerman, Italia, dan Jepang. Fasisme adalah bentuk kecelakaan dari kapitalisme atau gerakan lain dari borjuis, seperti yang dijelaskan Hokhiemer dan Adorno (Bakarrudin Rosydi Ahmad; 1991). Hokhimer menyatakan, fasisme, hanya dapat dipahami dalam hubungan dengan perjuangan kelas dalam masing-masing negara. Jadi, alienasi dan borjuasi serta organisasi fasis muncul dari rasa takut akan proletariat. Theodor Adorno juga menelanjangi fasisme sebagai puncak dari sisi negatif kapitalisme. Dampak perang dan krisis kapitalisme yang dialami Italia dan Jerman, ternyata tidak diatasi lewat penguatan basis bawah (basic structure:mode of production) tetapi di basis atas (supra structure), yaitu ideologisasi negara dan masyarakat dengan agitasi perlunya kekuasaan negara yang otoriter-birokratik-militeristik dan anti orang asing (xenophobis, tribalis, dan anti pluralisme). Artinya kapitalisme tidak saja memainkan alat-alat untuk mendominasi secara fisik untuk mengatasi krisis, tetapi dengan apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni. Bagi Gramsci (Muhadi Sugiono; 1999), hegemoni akan menjelaskan mengapa suatu kelompok atau kelas secara sukarela atau dengan konsensus mau menundukkan diri pada kelompok atau kelas yang lain. Teori ini dibangun diatas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan "hegemoni" atau menguasi dengan "kepemimpinan moral dan intelektual" secara konsensual.
Sebagai upaya rekontruksi, konsolidasi dan reorganisasi kapitalisme internasional/neo imperialime, Amerika mencoba meletakan dirinya di posisi dominan dan hegemonik dengan mengangkat suatu tema (intenasionalis liberal-neoliberalisme) yang didukung dengan operasi ekonomi-politik dan manuver militer, atau bisa juga diartikan bahwa neo liberalisme bersembunyi di setiap operasi ekonomi dan politik serta manuver militer Amerika, fenomena ini mulai muncul semenjak Amerika memiliki posisi dominan, ketika Eropa mengalami depresi ekonomi akibat perang.
Tatanan baru ekonomi internasional versi Amerika tersebut kemudian termanifestasi dalam sebuah sistem yang kemudian disebut Bretton Woods. Menurut Robert A. Isaak (1995), sistem Bretton Woods mengacu pada piagam yang dirundingkan bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hampshire, yang menciptakan international Monetary Fund (IMF) dan juga lembaga saudaranya, International Bank for Recontruction and Development (IBRD) atau Bank Dunia. Selain itu upaya yang dilakukan adalah dengan membangun ITO (International Trade Organization). Bagi Djauhari Oratmangun (2001), upaya membentuk ITO bermula dari diadakannya pertemuan pertama Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UNECOSOC) pada Februari 1946 yang menyetujui gagasan Amerika Serikat untuk mengadakan konferensi internasional mengenai perdagangan dan kesempatan kerja (UN Conference on Trade and Employment) guna membicarakan rencana pembentukan ITO. Untuk menyusun perjanjian ITO, yang disebut ITO Charter, maka dibentuklah sebuah Komite Persiapan beranggota 23 negara yang mengadakan pertemuan-pertemuannya di London pada Oktober 1946. Dalam proses pembentukan ITO di atas, secara bersamaan sebagian dari negara anggota Komite Persiapan membicarakan ide penyelenggaraan negosiasi multilateral untuk menurunkan tarif diantara mereka. Pada pertemuan di New York pada Januari-Februari 1947, Komite berhasil menyusun naskah yang memuat aturan perdagangan multilateral dan tata cara negosiasi. Sebenarnya naskah aturan perdagangan yang dirumuskan oleh Komite persiapan ini dimaksud untuk disisipkan sebagai bagian dari naskah ITO Charter yang sedang disusun. Disamping itu, aturan-aturan perdagangan tersebut juga dimaksudkan sebagai perjanjian perdagangan multilateral yang akan dilaksanakan dalam kerangka ITO kelak. Pada pertemuan selanjutnya di Jenewa pada April-Oktober 1947, Komite berhasil merampungkan naskah ITO Charter. Bersamaan dengan itu, pada 30 Oktober 1947 Komite yang terdiri dari 23 negara juga menandatangani General Agreement on Tariff anda Trade – GATT yang naskahnya disusun pada waktu di New York bulan Januari-Februari 1947. GATT yang mulai berlaku pada 1 Januari 1948 pada mulanya dianggap sebagai aturan perdagangan sementara (provisional legal instruments) sampai berlakunya ITO secara efektif dan akan merupakan bagian dari ITO Charter. Dalam perkembangan selanjutnya GATT itulah yang menjadi aturan GATT seperti yang dikenal saat ini.
Untuk mengamankan rencana tatanan ekonomi internasional barunya, Amerika kemudian di Eropa Barat mendorong rekontruksi ekonomi Eropa dengan bantuan Marshal Plan dan membatasi Eropa Barat dengan Eropa Timur yang komunis dengan menggelar ribuan pasukan dan peralatan tempurnya.
Di daerah-daerah jajahan, kolonialisme menghadapi tantangan dari perang revolusi kemerdekaan yang menciptakan sikap ambigu dari Amerika, disatu sisi bantuan Marshall tidak cukup bagi pembangunan Eropa Barat, namun jika tidak memberikan dukungan bagi dekolonialisasi, maka, gerakan revolusi nasional akan mudah dipengaruhi atau bersimpati kepada Uni Soviet. Maka yang mesti dilakukan Amerika adalah mendukung dekolonialisasi dengan memberikan keuntungan bagi Eropa Barat, anti komunis (“the policy of containment”) dan hegemoni Amerika.
Untuk kasus Indonesia, studi dari pasangan Kahin (Audrey R & George McT; 1997) menunjukan, jelaslah bagi Indonesia bahwa Amerika Serikat menyediakan bantuan yang sangat penting bagi Belanda. Bahkan, seorang petani sekalipun dapat melihat senjata yang digunakan tentara Belanda merupakan kiriman Amerika Serikat karena kebanyakan tank, truk dan pesawat terbang masih menggunakan lambang Amerika Serikat, dan setidaknya hingga akhir Januari 1949 sejumlah marinir Belanda masih menggunakan seragam yang bertuliskan (di saku dada) “U.S. Marines”. Sudah menjadi rahasia umum pula, Amerika Serikat memberi sumbangan keuangan bagi upaya Belanda merebut kembali Indonesia. Laporan CIA pada 14 November 1947, umpamanya, mencatat, “sekarang rakyat Indonesia dan Indocina cenderung melihat upaya Belanda dan Perancis untuk menegakkan kembali kekuasaan mereka dilakukan dengan dukungan Amerika serikat. Terus meningkatnya Program Perbaikan Eropa (Marshal Plan) dalam memperkuat kemampuan Belanda dan Perancis di Asia Tenggara membuat kemarahan penduduk meningkat. Bahkan ketika dilaksanakan sepenuhnya, dana Amerika Serikat yang dipompakan ke Perancis dan Belanda sama besarnya dengan jumlah dana yang dikeluarkan negara-negara itu untuk membiayai pasukan-pasukan di Asia Tenggara. Beberapa perancang kebijakan Amerika yang paling berpengaruh menganggap Hindia Belanda sebagai gabus yang diatasnya ekonomi Belanda berpijak – yang menyediakan 20 persen pendapatan nasionalnya – dan bila bisa dipulihkan kembali akan sangat berguna bagi negara itu. Mereka yakin bila Belanda tidak terus mengendalikan minyak, timah, karet dan kopra dari kepulauan tersebut, bahkan suntikan dana Amerika Serikat secara besar-besaran tidak akan dapat memperkuat perekonomian negara itu. Demikian pula investasi penting Amerika Serikat di Indonesia (terutama di Sumatera), khususnya minyak dan karet, mempengaruhi kebijakan Amerika Serikat. Walau tidak terlalu penting.
Amerika memediasi perundingan antara Indonesia dan Belanda, dan menyelundupkan anggota Mobrig (Mobil Brigade) Indonesia dan melatihnya. Perundingan-perundingan yang difasilitasi Amerika adalah Renville yang membawa wilayah republik dipersempit garis van Mook yang menciptakan frustasi sosial, ekonomi, politik dan kemiliteran di wilayah republik. Perjanjian kedua adalah KMB yang membawa pengakuan kedaulatan bagi Indonesia dari Belanda, tetapi tetap membawa kerugian bagi republik yang juga bisa ditafsirkan sebagai kegagalan revolusi nasional Indonesia. Pertama, revolusi telah gagal merebut alat-alat produksi yang dikuasai pihak asing dan merombak mode produksi kolonial. Perusahaan asing masih menguasai aset-aset produksi sumber daya alam Indonesia yang mereka bangun semenjak masa kolonial, sebagai contoh - seperti yang ditunjukan Hermawan Sulistyo (2000) -, di kota sekecil Jombang dan Kediri di provinsi Jawa Timur, sesuai revolusi sisa pabrik gula (PG) yang ada di bawah penguasaan pemerintah Republik Indonesia, tetapi dikelola oleh teknisi dan pejabat Belanda. Secara legal, pabrik-pabrik itu masih milik Belanda sampai 1957, hingga pemerintah RI memutuskan menyita dan menasionalisasi seluruh perusahaan Belanda. Kedua, Indonesia segera terjebak pada hutang luar negeri. Seperti yang diutarakan pasangan Kahin (Audrey R & George McT; 1997), saat mana Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia, wakil Amerika Serikat, Merle Cohran, yang bertindak sebagai moderator, memihak Belanda dan menuntut dua hal dari Indonesia. Mengingat Amerika Serikat masih prihatin dengan keadaan perekonomian Belanda, Cohran memaksa agar Republik menanggung hutang Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dollar Amerika. Sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah hutang pemerintah kolonial, yang menurut pihak Indonesia 42 persennya merupakan biaya operasi militer dalam menghadapi Republik. Mengingat mereka telah setuju semua investasi Belanda (dan pihak asing lainnya) di Indonesia akan dilindungi, persyaratan tersebut dilihat oleh semua pihak di Indonesia bahwa mereka akan mendapat bantuan yang cukup besar dari Amerika Serikat untuk melunasi beban hutang tersebut terbukti kosong belaka ketika ternyata yang diberikan hanya 100 juta dolar Amerika dalam bentuk kredit ekspor-impor yang harus dibayar kembali. Namun, dalam pengertian politik, konsensi paling penting yang dipaksakan Cohran adalah setengah bagian New Guinea (Irian Barat) yang secara geografis merupakan bagian Hindia-Belanda yang tidak diserahkan kepada Republik karena akan dibicarakan kemudian oleh Indonesia dan Belanda dalam waktu satu tahun.
Sedangkan tujuan dari Amerika melatih Mobrig, pasangan Kahin (Audrey R & George McT; 1997) mengutarakan, tampaknya, alasan bagi kebijakan rahasia tersebut adalah apabila pada akhirnya republik menang atas Belanda, para perwira yang dilatih di Amerika Serikat tidak saja menentang kebangkitan kembali komunis tetapi juga siapapun yang mendukung pemimpin komunis, Tan Malaka, yang telah lama melepaskan diri dari Uni Soviet dan yang pengikutnya telah tergabung dengan tentara Republik dalam menghadapi pemberontakan Madiun yang pro-Soviet yang telah ditaklukan. Bila perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut, jumlah mereka akan makin banyak, demikian pula taktik bumi hangus terhadap properti Amerika Serikat dan Belanda yang mereka anjurkan. Selain kemungkinan itu, ada pertimbangan pragmatis bahwa perlawanan secara gerilya dengan melancarkan taktik bumi hangus terhadap perkebunan-perkebunan dan properti Belanda lainnya segera akan menghancurkan sebagian besar aset ekonomi yang berusaha dipertahankan Belanda. Maka, kepentingan pribadi pengusaha Belanda menyebabkan gagalnya usaha mereka tersebut. Kepentingan pribadi pengusaha Amerika Serikat atas investasi di Indonesia menyebabkan mereka mengalami hal yang sama, dan sudah pasti hal itu berpengaruh pada kebijakan politik Amerika.
Mengamati negara, masyarakat dan perekonomian di Indonesia post colonial, tentunya kita harus mengamti formasi sosial atupun formasi kapital yang terbentuk selama masa kolonial. Peralihan ke kapitalisme di Indonesia berbeda perkembangannya (uneven development of capitalism) dengan di Eropa, yaitu bukan dari feodalisme ke kapitalisme, tetapi kombinasi yang terartikulasi (articulated combination) yang khas dari cara produksi kolonial, yaitu eksploitasi atas petani (hilangnya lahan petani, tanam paksa, dan terciptanya buruh tani) yang berdampak pada proses pemelaratan petani terus-menerus (Agricultural ladder) dan memakai pengertian dari Bil Warren (Bonnie Setiawan: 1999) bahwa kelas-kelas feodal akan memformasikan dirinya sendiri, setidak-setidaknya secara sebagian untuk menjadi kapitalis industri ketika kondisi-kondisinya telah memungkinkan untuk itu. Sementara itu sektor industri dan distribusi hampir bisa dikatakan dikuasai oleh modal asing. Sedang kaum borjuis kecilnya adalah kalangan bumi putra, seperti dalam kasus para pedagang batik, yang akhirnya persaingan dengan borjuasi transnasional dan China tidak mengandalkan mekanisme pasar tetapi lewat gerakan politik, sebut saja Serikat Dagang Islam (SDI), Rekso Rumekso dan Serikat Islam (SI).
Proses peralihan disebabkan model produksi yang dibentuk pemerintahan kolonial, yaitu VOC, sebuah organisasi dagang yang membentuk kekuasaan negara, sehingga bisa disebut kapitalisme negara atau juga negara perusahaan yang akumulasi modalnya terbentuk lewat monopoli. Meskipun kemudian VOC bangkrut, tetapi pemerintahan Hindia Belanda tetap meneruskan pola VOC.
Perang revolusi kemerdekaan di Indonesia praktis hanya sampai pada pengakuan kedaulatan, karena tanpa upaya mengubah formasi sosial dan formasi kapital, maka Indonesia dalam status semi kolonial.
Setelah pengakuan kedaulatan, negara selain dalam posisi setengah jajahan juga dalam situasi otonomi relatif karena negara dalam situasi perebutan kekuasaan terus menerus yang dilakukan oleh faksi-faksi dalam tentara dan masyarakat serta intervensi Amerika yang berdampak pada krisis ekonomi, politik dan kemiliteran (pertahanan), yang mendorong Soekarno mengendalikan negara terpusat ditanganya (demokrasi terpimpin) yang berbasiskan konsolidasi ekonomi dan politik Angkatan Darat lewat Undang-undang Darurat Perang (SOB:negara dalam keadan bahaya), hingga Soekarno menguasai total negara lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Akan tetapi intensitas perebutan kekuasaan ternyata tetap tinggi, yang mana kemudian dalam pertarungan dimenangkan oleh faksi Angkatan Darat dukungan Amerika Serikat.
Studi dari Harold Crouch (1986) menunjukan bahwasannya tentara Indonesia mendapatkan orientasi politik dan kepentingan-kepentingan politik sewaktu revolusi melawan Belanda. Belakangan, yaitu setelah hukum darurat perang dilakukan pada tahun 1957, Angkatan Darat dan beberapa bagian lain dari angkatan bersenjata lebih dalam lagi terlibat dalam politik, administrasi sipil dan pengelolaan ekonomi yang menjadikan Angkatan Darat sebagai unsur penentu dalam kegiatan-kegiatan nonmiliter telah menimbulkan dua konsekuensi utama yang dalam politik, administrasi dan dunia usaha, telah mengakibatkan politisasi korps perwira serta saling penetrasi dari kelompok-kelompok tentara dan sipil yang mengganggu kapasitas golongan militer untuk bertindak sebagai suatu kekuatan politik yang mempersatukan, serta menghalangi gerakannya untuk mendapatkan kekuasaan secara menyeluruh. Kedua, para perwira tentara juga telah memperoleh keuntungan-keuntungan politik yang akan mereka usahakan untuk lebih dikembangkan sebagai suatu kekuatan politik, sudah sewajarnyalah tentara berusaha memperkuat posisi mereka sendiri dan mengalahkan saingan-saingan mereka, sementara perluasan di bidang ekonomi telah memberikan para perwira tentara itu suatu pertaruhan pribadi dalam banyak perusahaan. Sebagai konsekuensi, personil-personil militer menjadi bagian dari elite politik dan ekonomi dengan mempertahankan orde sosial yang ada, yang mereka anggap terancam baik oleh kaum komunis maupun kebijakan-kebijakan Soekarno yang dapat menimbulkan kekacauan. Jika semula mereka terpaksa terjun ke bidang usaha karena didesak oleh kebutuhan, dalam waktu singkat mereka telah menyesuaikan diri dengan tanggungjawab baru. Banyak dari mereka lebih suka berhubungan dengan para pengusaha Cina daripada memimpin pasukan di lapangan. Dengan mendasarkan kekuatan-kekuatan ekonomi mereka pada pengaruh politik, bukan pada ketrampilan kewiraswastaan, anggota-anggota dari elite militer berhasil memperoleh sifat-sifat kelas komprador yang kepentingannya sejajar dengan orang-orang dari perusahan asing dengan siapa mereka mempunyai hubungan.
Dekolonialisasi adalah langkah sadar Amerika untuk mengakomodir negara baru merdeka dalam tatanan ekonomi internasional baru, akan tetapi sebagian besar negara baru merdeka memiliki nasionalisme ekonomi dan politik luar negeri yang netral, padahal bagi Amerika netral, dalam Perang Dingin (Cold War) adalah tidak bermoral. Untuk itu untuk dibutuhkan kebijakan ekonomi-politik untuk mempersiapkan kondisi perekonomian di negara baru merdeka agar dibawah dominasi dan hegemoni Amerika. Tentu saja yang lebih penting adalah siapa pelaksananya. Berkait dengan itu Amerika melakukan suversib sebagai politik luar negeri melalui sabotase ekonomi-politik, mendukung gerakan separatis dan kudeta militer atau bahkan invasi militer.
Di Indonesia, Amerika setelah gerakan separatis PRRI dan Permesta yang didukungnya kalah, Amerika mulai melirik ke Angkatan Darat, lewat penyusupan ke SESKOAD (Sekolah Komando Angkatan Darat) dan menciptakan kalangan ekonom dari intelektual mupun tentara yang pro pembangunanisme (developmentalism), yang kemudan dikenal sebagai mafia Barkeley. Setelah militer berhasilkan mendirikan rezim Orde Baru, langkah awal pelaksanaan pembangunanisme adalah disahkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dengan Freeport yang pertamakali mendapatkan lisensi untuk beroperasi.
Modal pembangunan di masa Orde Baru dalam rangka modernsasi dan tricle down effect mengandal booming minyak bumi, dan ketika booming berakhir, Orde Baru menggandeng modal asing masuk lewat relokasi industri. Lemahnya modal dalam negeri tetapi berlimpahnya tenaga kerja dan tanah mendorong Orde Baru menjadikan upah buruh murah sebagai keunggulan komparatif dan menyediakan sumber daya kekerasan untuk praktek penggusuran tanah rakyat, dimana sumber daya kekerasan tersebut juga diakumulasi bagi kontrol negara dan monopoli negara dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan. Artinya Negara Orde Baru adalah overdeveloped state yang ditegakan oleh militer yang mana militer telah berkembang menjadi masyarakat politik, masyarakat industri dan masyarakat keamanan. Tidak seperti di negara kapitalis dimana negara adalah alat dari borjuis, ataupun dalam terminologi sosialis bahwa negara dalam kekuasaan buruh. Orde Baru justru yang menumbuhkan borjuasi nasional (konglomerat China, bisnis militer, BUMN, dan bisnis keluarga pejabat) dan mentransformasi buruh dan petani. Maka overdeveloped state, meminjam istilah dari Harry J. Benda (Farchan Bulkin; 1984) adalah Beamtenstaat - negara-untuk-negara-sendiri (a state "of its own").
Dalam situasi Perang Dingin, Amerika memberikan dukungan besar terhadap rezim militer – meskipun korup, melanggar HAM berat, dan pendudukan Timor Leste – karena bagi Amerika tidak peduli “kucing apa, yang penting bisa menangkap tikus” komunis. Dan bagi kalangan posivistik-modernis, untuk menumbuhkan industrialisasi dibutuhkan negara yang otoriter birokratik yang terdiri para teknokrat yang mempersiap situasi bagi sirkulasi modal asing, artinya seperti yang diungkapkan oleh Mansour faqih (1996), bahwa modernisasi dan developmentalisme adalah “bungkus baru dari kue lama” kapitalisme. Dengan demikian, pembangunan juga dilihat sebagai ideologi dominan baru yang tidak memungkinkan bagi Dunia Ketiga mencapai demokratisasi dan transformasi di bidang apapun yang meliputi bidang ekonomi, politik, kultur, gender dan lingkungan hidup termasuk hubungan pengetahuan/kekuasaan (knowledge/power relation).
Namun karena Perang Dingin usai, high cost production akibat pemerintahan rezim militer yang korup, serta Dunia Ketiga harus di-“demokratis”-kan dalam pengertian liberal, khususnya di bidang ekonomi sehingga menghilangkan berbagai hambatan, seperti tarif, proteksi, budaya dan lainya, Amerika mulai mencabut dukungan terhadap rezim militer. Ketergantungan yang tinggi terhadap dollar AS, mengakibat gangguan dalam sistem moneter berdampak pada krisis ekonomi dan politik, seperti yang dialami oleh Orde Baru di tahun 1997, yang berdampak kekuasaan ekonomi dan politik IMF di Indonesia menjelang akhir pemerintahan Soeharto dan pemerintahan-pemerintahan penggantinya.
Namun, fenomena-fenomena lanjutan pasca Perang Dingin menunjukan munculnya tantangan atas globalisasi berserta dominasi dan hegemoni Amerika Serikat dalam beberapa hal: Pertama. Tantangan dari regionalisme atau blok perdagangan, terutama sekali Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang sesungguhnya coba disaingi oleh Amerika lewat NAFTA (North America Free Trade Area) dan APEC (Asia Pasisic Economic Corporation) dengan AFTA (Asia Free Trade Area)-nya. Selanjutnya pasar bebas global kacau dengan munculnya FTA (Free Trade Area) antar negara dan dalam regionalisme seperti di Eropa Bersatu (Uni Eropa) dan ASEAN dengan China – rencananya menyusul dengan India – yang berdampak dua sekutu Amerika di Asia –Korea Selatan dan Jepang – kebakaran jenggot dan tergopoh-gopoh ingin seperti China. Maka di depan mata sangat mungkin tercipta komunitas Asia Timur yang sanggup menandingi Uni Eropa dan Amerika. Kedua. Tantangan dari kekuatan-kekuatan nasional, terutama dari China, yang semakin menjadi ancaman secara ekonomi, politik dan kemiliteran Amerika berserta sekutunya di wilayah Asia Pasifik khususnya. China cukup siap menghadapi globalisasi, keikutsertaan China dalam WTO (Word Trade Organization) bukan wujud ketertundukannya terhadap kapitalisme internasional, tetapi justru mempergunakan sarana kapitalisme internasional untuk menjual barang produksinya, artinya di China kapitalisme tidak pernah dihancurkan tetapi dikontrol, seperti yang nampak pada resolusi kongres PKC beberapa waktu yang lampau yang mengijinkan warga kelas kapitalis menjadi anggota PKC. Munculnya kekuatan-kekuatan nasional yang menentang dominasi Amerika, akhirnya menimbulkan pertanyaan akankah kritik atas kapitalisme pasca Perang Dingin tidak hanya melahirkan kemenangan partai-partai sosialis dan partai pekerja (buruh) dengan basis ideologi sosial demokrasi di Eropa tetapi juga memunculkan national question baru yang akan memunculkan nasional demokrasi kerakyatan ? Ketiga. Krisis moneter di Amerika. Dollar AS semakin turun nilai tukarnya terhadap euro, mata uang Uni Eropa, yang kini mendorong banyak negara mengganti nilai tukar mata uangnya dari dollar AS ke uero.
Pertanyaan bagi Indonesia adalah apa prasyarat obyektif Indonesia untuk ikut dalam perdagangan bebas, apakah itu merupakan bagian dari marketing ataukah keharusan yang harus diterima. Dan bagaimana kesiapan negara, masyarat dan perekonomian Indonesia menghadapi perdagangan bebas?. Ataukah kita akan menolaknya, secara langsung atau secara parsial dan bertahap ?
Para pengusaha menyatakan siap mengikuti pasar bebas, dikatakanya ketidaksiapan ada di pihak pemerintah. Hal-hal yang sering disebut menjadi kendala bagi kalangan usaha – yang disebabkan pemerintah - antara lain, bunga yang tinggi; pajak yang tinggi; tidak adanya konsep dari pemerintah (regulasi, pemetaan persaingan internasional, Undang-undang) yang complemented bagi dunia usaha, justru kebijakan pemerintah kontraproduktif dengan dunia usaha karena tidak ada sistem kebersamaan antara pemerintah dengan pengusaha; Hight cost production yang disebabkan KKN; dan krisis moneter.
Namun juga terlalu berlebihan jika dikatakan pengusaha Indonesia telah siap, selain karena mereka tumbuh dalam tradisi yang dikembangkan oleh Orde Baru yaitu monopoli, oligopoli, nepotisme, kolusi dan korupsi – maka banyak pengusaha yang menjadi fungsionaris Golkar di masa Orba dan fenomena baru menunjukan mereka mengincar kursi legislatif dan eksekutif yang berarti akumulasi modal dan laba tertinggi didapat dari proyek negara dan hutang luar negeri atau modal asing yang berarti melanggengkan ketergantungan lumpan borjuis terhadap borjuis international/transnasional - para pengusaha juga memiliki kelemahan berupa lemahnya inovasi; lemahnya research development; lemahnya SDM; lemahnya daya saing; lemahnya manajemen mutu; dan lemahnya standarisasi tekhnologi. Dan jika berbagai kelemahan tersebut hendak ditutupi dengan strategi kolusi atau menguasai negara, dan menjadi komprador untuk mencukupi lemahnya permodalan maka borjuasi Indonesia tidak mempunyai watak progresif.
Hingga sekarang praktis pembangunan infrastruktur negara dan perekonomian masih sangatlah lemah dan wacana yang berkembang masih menunjukan bahwa bagaimana kita ikut pasar bebas dan perbaikan ekonomi nasional yang diukur dari turunnya inflasi dan suku bunga serta kestabilan moneter, sebuah pemikiran yang merefleksikan ketergantungan atas modal asing (dollar), padahal perbaikan harusnya tertuju kepada ekonomi riil masyarakat yaitu pekerjaan dan kesempatan kerja, yang itu secara nasional nantinya terlihat dalam besarnya investasi, ekspor dan domestic demand. Soal investasipun seharusnya bersandar pada formasi sosial dan formasi kapital seperti apa yang hendak dibangun, dan bagaimana persoalan transisi dan transformasinya, sehingga tidak seperti tambal sulam demi investasi dan pasar bebas.
Modal adalah persoalan penting dalam pembangunan dalam negeri, khususnya modal asing memiliki signifikansi dalam mode of production post colonial yang telah menciptakan negara dan masyarakat dalam kapitalisme pinggiran yang terhisap oleh kapitalisme pusat semenjak masa kolonial. Bagi pemerintah Indonesia, pasca proklamasi, Amerika dan modal asing tetap faktor penting, wakil presiden M. Hatta mengatakan (Anderson; 1988), terlebih2 Amerika Serikat jang oleh seloeroeh Asia dan teroetama oleh Indonesia diharapkan akan dapat memberi pertolongan jang sebesar-besarnja dikemoedian hari, di dalam oesaha bangsa Indonesia memadjoekan negaranja serta penghidoepan rakjatnja. Oempamanja dengan pertolongan indoestri besar Amerika serta kredit Amerika dan pembelian barang mentah jang banyak itoe.....malahan kita mengetahoei dan mengerti benar, bahwa oentoek keperloean negeri dan bangsa kita di dalam beberapa tahoen jang akan datang ini, kita akan memerloekan pertolongan bangsa asing di dalam pembangoenan negeri kita berupa kaoem teknik, dan kaoem terpeladjar, poen joega kapital asing........Segala milik bangsa asing selain daripada jang diperloekan oleh negara kita oentoek dioesahakan oleh negara sendiri, dikembalikan pada jang berhak, serta jang diambil oleh negara akan dibajar keroegiannya. Hal senada juga disampaikan perdana menteri Sutan Sjahrir (1945), selama alam kita alam dunia kapitalis, terpaksa kita menjaga jangan sampai dimusuhi oleh dunia kapitalis itu, jadi membuka negara kita menjadi lapang usaha mereka sedapat mungkin, yaitu dengan batas bahwa keselamatan rakyat tidak akan terganggu olehnya. Demikian pula terhadap pemasukan orang-orang asing ke dalam negeri kita. Di dalam masyarakat yang berdasar demokratis yang kuat dan sehat, segala ini dapat dipikul dengan mudah, dengan tak perlu menimbulkan pembencian golongan-golongan berdasar atas kebangsaan. Berbeda dengan kalangan oposisi yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat yang kemudian menjadi Persatuan Perjuangan, yang progamnya bersandar pada pemikiran Tan Malaka, yang menyatakan bahwa Indonesia dapat keluar dari cengkeraman imperialisme lewat gerilya (perlawanan bersenjata), politik (persatuan perjuangan, rezim pejuang, memanfaatkan konflik/kontradiksi internasional), dan ekonomi (Rencana Ekonomi Berjuang: nasionalisasi, koperasi, boikot dan mogok). Namun akhirnya akhir episode perang revolusi kemerdekaan dimenangkan oleh mereka yang menghendaki berkompromi dengan Amerika- Inggris-Belanda.
Setelah pengakuan kedaulatan, pemerintahan Soekarno menolak mengambil jalan kapitalis, - meski mengijinkan perusahaan asing beroperasi kecuali Inggris dan Belanda akibat Trikora dan Dwikora – Soekarno mengumandang ekonomi berdikari dan berseru: “go to hell with your american aid`s”: Tetapi Soekarno juga tidak menempuh pola pembangunan sosialis sepenuhnya. Sedangkan di masa Orde Baru, modal diambilkan lewat hutang luar negeri dan investasi di relokasi industri, sedangkan pemerintahan-pemerintahan pengganti Orde Baru praktis secara ekonomi masih bercorak irasionalitas orbais-soehartois: “Ketidakmengertian akan masa lalu, dan kebingungan akan masa depan. Kepercayaan akan kekayaan Indonesia sekaligus kepasrahan tentang kemiskinannya.”
Yang berbeda dengan di masa Orba, dimana eksekutif, birokrasi, legislatif, yudikatif dan masyarakat sipil sepenuhnya dalam kontrol eksekutif (presiden Soeharto). Sedangkan di masa Abdurahman Wahid hingga sekarang, praktis eksekutif harus berhadapan dengan kekuatan mandiri legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer. Artinya prediksi ekonomi politik SBY-JK adalah fenomena eksekutif, sedangkan fenomena negaranya kita harus memprediksikan parlemen, birokrasi dan militer. Namun pengalaman sebelumnya pada pasca Soeharto menunjukan hampir tidak ada pertikaian di internal legislatif maupun legislatif dengan eksekutif yang berkaitan dengan kebijakan liberalisasi ekonomi produksi. Lihat saja mesti banyak ditentang oleh elemen-elemen masyarakat sipil, DPR dan pemerintah tetap mensahkan serangkaian peraturan perundangan yang berkaitan dengan sumber-sumber daya agraria, perburuhan, privatisasi, pencabutan subsidi dan sebagainya, yang dipandang berdampak buruk terhadap bangsa, negara, dan rakyat Indonesia
Selain dengan parlemen, eksekutif juga harus menyesuaikan anggaran belanja dengan kebutuhan pertahanan – berbeda dengan Jepang, Korea Selatan, Jerman Barat, Brunei dan sebagainya yang pertahanannya di tanggung oleh Amerika dan Inggris (atau NATO – North Atlantic Teatry Organizations) – yang diajukan TNI. Penelitian yang dilakukan Talukder Maniruzzaman (1998), menyebutkan, sebuah negara yang sedang berkembang jarang sekali mampu memberikan senjata-senjata yang paling canggih dan efektif kepada para serdadunya Meskipun dalam kenyataannya, anggaran belanja untuk tentara merupakan bagian terbesar dari pengeluaran tahunan negara Dunia Ketiga. Bahkan kalaupun senjata-senjata mutakhir bisa dibeli, kebanyakan negara berkembang tidak mampu mengadakan latihan militer dengan memakai senjata-senjata tersebut karena mahalnya ongkos latihan serta peralatan-peralatan penunjang. Artinya kemudian diperlukan upaya memasukan aspirasi demokrasi dalam strategi pertahanan dan keamanan dalam kerangka konsolidasi demokrasi, sehingga memungkinkan munculnya alternatif strategi pertahanan yang tidak mahal, intelijen yang terpantau, mendorong reformasi TNI dan yang lebih penting adalah tidak mengulangi kesalahan menjadikan militer sebagai anjing penjaga modal serta kesalahan kontrol subyektif terhadap militer, misalnya Dewan Keamanan Nasional sebagai pelengkap Dewan Ekonomi Nasional, yang berarti stabilatas ekonomi akan ditopang oleh security approach (cara-cara militeristik).
Untuk itulah menjadi tidak relevan jika Dewan Ekonomi Nasional, ruang koordinasi antara pemerintah dan pengusaha, tetapi harus melibatkan pekerja, maka Undang-undang Dewan Ekonomi perlu dilengkapi dengan Undang-undang Dewan Pekerja dan Undang-undang Partisipasi Pekerja.
Di Indonesia sampai sekarang nasib buruh atau pekerja masih menyedihkan, apalagi nasib para TKI. Meski sudah banyak muncul serikat pekerja, akan tetapi kesadaran politik pekerja masih tetap lemah, dan PHK adalah ancaman nyata pekerja akibatnya tingginya angka pengangguran pada sektor miskin kota dan keluarga petani miskin di desa. Proses pemiskinan struktural akibat kebijakan ekonomi yang membawa kontradiksi antara industri besar dengan industri ringan dan pertanian.
Industrialisasi adalah jawaban bagi peningkatan investasi, ekpor dan domestic demand, akan tetapi industrialisasi tidak boleh menjadi sesuatu yang utama, melainkan harus menjadi penggerak sektor-sektor ekonomi rakyat – usaha mikro, kecil, dan menengah serta pertanian – yang merupakan fundamental ekonomi.
Selama ini industrialisasi menyimpan kontradiksi dengan sektor industri ringan (usaha mikro, kecil, dan menengah) dan sektor pertanian yang membawa dampak kontradiksi antara kota dan desa – termasuk juga daerah maju dengan daerah tertinggal. Contoh kontradiksi antara industri dengan pertanian: Perluasan industrialisasi berdampak pada semakin bertambah sempitnya lahan pertanian; pertanian menghamba pada industri; pertanian organik (organic farming) menjadi rusak karena pertanian harus memakai produk industri dan mengakibatkan lemahnya produktifitas serta harga produksi pertanian rendah. Sementara itu barang konsumsi produk industri tinggi sehingga menguras penghasilan rendah petani. Kemiskinan petani yang massif berdampak turunnya penjualan barang produksi industri.
Kontradiksi antara kota dengan desa (di desa minus kapital sedangkan di kota surplus kapital), hal ini berdampak pada terasingnya petani dalam distribusi hasil pertanian, petani rela menjual rendah hasil pertanian kepada tukang ijon atau tengkulak karena minus kapital serta terjebak pada rentenir. Kemiskinan di desa dan tidak prospektifnya pertanian mengakibatkan urbanisasi di kota-kota dan bergerak di sektor-sektor informal. Lemahnya produktifitas pertanian menjadikan alasan bagi pemerintah untuk mengimport produk pertanian yang justru menjatuhkan harga produk pertanian; Surplus kapital di kota, mendorong perluasan kota dan terjadinya artikulasi cara-cara produksi, dimana sektor pertanian diganti dengan ruko atau perumahan. Jika artikulasi cara-cara produksi memunculkan industrialisasi, maka posisi kelas petani tetap jelas, yaitu menjadi buruh (kelas proletariat), tetapi jika pertanian dijadikan ruko, perumahan, lapangan golf, dan sebagainya maka yang muncul adalah masyarakat declasses (lumpan proletariat) yang fenomenanya dapat kita lihat dalam kaum miskin kota: Pedagang Kaki Lima (PKL), premanisme, dan sektor informal lainya.
Kepasrahan PKL terhadap ancaman penggusuran adalah sikap atas ketertundukan kepada dominasi dan hegemoni negara, yang diawali rasa takutnya terhadap hukum. Kalaupun ada sering muncul perlawanan dari PKL ataupun rakyat miskin perkotaan yang digusur lebih dikarenakan matinya harapan. Penggusuran bukanlah jawaban, meskipun penggusuran adalah cermin masuknya investasi di kota, tetapi jika industri ringan (usaha mikro dan kecil) dan pertanian digulung maka sektor informal akan tetap muncul.
Maraknya pembangunan mall menunjukan pesatnya laju investasi, tetapi investasi yang hanya memacu konsumsi warga, juga pembangunan mall yang dibarengi massifnya penggusuran terhadap PKL, konflik dengan warga sekitar, menggusur lembaga pendidikan dan sebagainya, hanya akan mendorong ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Soe Hok Gie di masa awal Orde Baru membuat tulisan mengkritik pemerintah dengan judul “Betapa Tidak Menariknya Pemerintah Sekarang”. Soe Hok Gie memandang Soekarno mampu membawa antusiasme rakyat, berbeda dengan Orde Baru, yang pejabatnya secara penampilan dan materi yang disampaikan membosankan. Hal itu tentu bisa dijadikan pelajaran bagi pemerintahan sekarang bagaimana mendorong partisipasi bukanya antipati rakyat. Artinya pembangunan kota harus melibatkan public critical rational discourse, dan secara teknis bahwa pemerintah tidak bermaksud menelantarkan rakyat harus di buktikan lewat pembangunan pusat ekonomi baru, tempat-tempat penyerapan PKL dan revitalisasi pasar tradisional bagi solusi pemberdayaan kewirausahaan PKL. Namun untuk berkembang secara ekonomi khususnya relokasi di daerah yang masih mau dikembangkan pemerintah harus mempunyai kebijakan transisi yang transformatif. Secara teknis bisa saja untuk pemberdayaan dibentuk Biro UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di birokrasi dan center for industrial strategy untuk merencanakan industrialisasi dan subsidi yang lebih fokus dan nyata, misalnya KTP yang pembikinannya bisa agak mahal tetapi dapat berfungsi sebagai subsidi kesehatan, dan sebagainya. Namun yang lebih penting untuk menangani kemiskinan, pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan (general contruction) harus jelas untuk mengatasi berbagai kontradiksi tersebut.
Pertama. Pembangunan harus mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi antara pemerintah, sektor bisnis dan sektor rakyat. Untuk itu harus terjadi kolektivitas antara sektor bisnis (modal, industri dan perdagangan), sektor rakyat (produsen: industri ringan dan pertanian), pemerintah (regulator) dan intelektual (entepreuner policy). Kedua. Prinsip pembangunan selain kolektivitas adalah independensi, yaitu berdikari dan merdeka dari aspirasi dan pengaruh imperialisme, berpegang pada potensi dan kearifan lokal (indegeneous knowledge), Ketiga. Tujuan pembangunan adalah pemberantasan kemiskinan absolut, memenuhi kebutuhan rakyat, membuka lapangan kerja, national and character building lewat pembentukan formasi sosial dan formasi kapital untuk merubah mode produksi post kolonial, status semi kolonial, dan demokratisasi. Demokrasi harus dimaknai bukannya liberalisme vulgar, tetapi kritisme masyarakat terhadap negara dan cara produksi serta pemerintahan yang berorientasi kerakyatan, perjuangan kerakyatan adalah mengembalikan apa yang menjadi hak dari buruh dan petani kita. Yang kita maksudkan dengan Hak adalah kemampuan petani untuk memproduksi kembali melalui kepemilikan tanah produktif oleh petani menggantikan kepemilikan tunggal oleh perusahaan-perusahaan perkebunan besar. Bagi buruh, tidak ada jalan lain kecuali memaksa sang kapitalis untuk merubah manajerial pabrik dengan kesejahteraan buruh sebagai dasar hubungan produksi yang menguntungkan. (Manifesto Politik Front Perjuangan Pemuda Indonesia).
Negara harus mampu menghilangkan hambatan-hambatan pada sektor industri, perdagangan dan modal, serta merencanakan dan mengontrol industrialisasi, perdagangan dan modal, Lewat center for industrial strategy dan mensosialisasikan industri (industri dalam kontrol sosial). Go public bukan dalam pengertian privatisasi, tetapi pada pengkoperasian. Tak kalah pentingnya adalah kesejahteraan dan perlindungan terhadap buruh untuk menghilangkan kontradiksi pengusaha dengan buruh. Hal yang paling mendasar adalah bahwa upah harus bersandar pada kebutuhan primer dan sekunder buruh serta menjadi prioritas pembangunan, karena selama ini upah buruh bersandar pada kebijakan relokasi industri berbasis upah buruh murah sebagai keunggulan komparatif, dan bersandar pada sisa nilai lebih yang di curi kapitalisme dan digunakan menutup biaya siluman, dimana biaya siluman tersebut (rente tersebut) kini telah menjadi modal yang terakumulasi dan menghasilkan laba).
Perjuangan demokratik dalam hubungan internasional adalah dengan negara yang menolak intervensi asing, dengan negara membawa perjuangan nasional di tingkatan internasional dengan mempelopori pembentukan wilayah pertukaran dan wilayah hegemoni tersendiri (komunitas demokratik) dalam rangka renegosiasi sistem ekonomi-politik internasional. Pemerintahan SBY-JK harus mendukung komunitas Asia Timur, karena jika tidak maka Indonesia yang digilas roda globalisasi.
Untuk mengatasi kontradiksi antara industri besar dengan industri ringan dan pertanian, yang diperlukan adalah : Satu. Industri dasar-berat-besar mendukung industri ringan dan pertanian. Dua. Investasi ke industri ringan dan pertanian agar modalnya lebih besar dari industri besar sehingga menciptakan fundamental ekonomi. Tiga. Reforma agraria dan pembangunan desa terpadu yang mampu mencukupi kebutuhan pokok rakyat, membuka kesempatan kerja, diversifikasi ekonomi desa, menggerakan proses industrialisasi di desa dan peningkatan pendapatan.
Persoalan pertanian dan agraria lainya adalah hal yang signifikan dan fundamental, karena kegagalan sektor pertanian dan permasalahan-permasalahan agraria akan berdampak pada ekonomi kolektif .
Pemaparan diatas menyarankan pemerintah hendaknya tidak semata-mata memberi penekanan terhadap pendekatan moneteris, tetapi lebih ke pendekatan strukturalisme, yang berorientasi - menurut Wisnu Agung Prasetya (2004) - pada strukturisasi dan re­strukturisasi ekonomi disertai intervensi mengatur dan mengontrol mekanisme pasar. Pertama. Restrukturisasi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi. Kedua. Restrukturisasi alokatif: Menyangkut alokasi dana-dana pembangunan, baik dana anggaran nasional ataupun daerah, baik yang berasal dari perbankan ataupun dari lembaga-lembaga non-bank. Ketiga. Restrukturisasi spasial (spatial): Restrukturisasi ini diperlukan antara lain untuk mencapai pemerataan dan keseimbangan pembangunan serta pertumbuhan antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, antara Jawa dan luar Jawa, antara perkotaan dan perdesaan, dan seterusnya. Keempat. Restrukturisasi sektoral: Hal ini diperlukan terutama untuk mencapai keseimbangan dinamis antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor formal-modern dan sektor informal-tradisional, antara sektor-sektor yang grassroots-based dan yang non­grassroots-based. Kelima. Restrukturisasi perpajakan: Selain berperan sebagai sumber penerimaan negara, pajak adalah sarana redistribusi. Pada dasarnya pajak harus progresif untuk mempersempit kesenjangan. Khususnya terhadap kekayaan dan pemilikan barang mewah harus dikenakan pajak kekayaan secara progresif. Sebaliknya terhadap kelompok miskin yang memerlukan pemberdayaan diberikan subsidi atau proteksi. Pajak merupakan insentif untuk kegiatan produktif dan disinsentif terhadap konsumsi mewah. Keenam. Restrukturisasi strategis: Restrukturisasi ini untuk memperkukuh kemandirian ekonomi, mengurangi dependensi dan meningkatkan interdependensi resiprokal yang seimbang dan diperlukan untuk memperkukuh fundamental ekonomi. Dengan restrukturisasi strategis ini perekonomian nasional diarahkan untuk berakar di dalam-negeri dan menjadi people-centered dan resources-based.
Sebagai penutup, globalisasi harus kita songsong dengan tetap menjadi negara semi kolonial atau dengan negara revolusioner, rezim pejuang yang akan menjalankan rencana ekonomi berjuang.

Daftar Pustaka
Ahmad Rosadi Harahap, Tantangan Ekonomi Dunia dan Terorisme, Kompas, Kamis 25 November 2004
Anderson, Ben, Java in A Time of Revolution, Occupation and Resistance 1944-1946, Cornel University Press,1972, terjemahan Jiman Rumbo, Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan Pertama, 1988
Bakaruddin Rosyidi Ahmad, Pemikiran Marx Tentang Alienasi : Sejarah Metode dan isi, Tesis Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 1991
Bonnie Setiawan, Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga, Teori-teori Radikal dari Klasik sampai Kontemporer, Insist Press, KPA, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan I, 1999
Crouch, Harold, Army and Politics in Indonesia, terjemahan Th. Sumartana, Militer dan Politik di Indonesia, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan pertama,1986
Djauhari Oratmangun, Sejarah Perkembangan WTO dan Deskripsi Isi Perjanjiannya, Disusun sebagai materi diskusi interaktif bertema “Implikasi Perjanjian WTO Terhadap Pengembangan Ekonomi Daerah”, Yogyakarta, 27 Oktober 2001, Direktorat Kerjasama Ekonomi Multilateral Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri Republik Indonesia, 2001
Farchan Bulkin, Negara, Masyarakat dan Ekonomi, Prisma, No. 8, 1984
Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Manifesto Politik Front Perjuangan Pemuda Indonesia, 2000
Hermawan Sulistyo, The Forgotten Years: The Missing History of Indonesia`s Mass Slaugter (Jombang-Kediri 1965-1966), Arizona State University, terjemahan: Suaedy, Uchi Sabiri, Syafiq, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), Keputakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000
Isaak, Robert A, International Political Economy, terjemahan Muhadi Sugiono, Ekonomi Politik International, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 1995
Kahin, Audrey R, Kahin, George McT, Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia, New York Press, New York, 1995, terjemahan R.Z. Leirissa, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri, Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Pertama, Jakarta, 1997
Maniruzzaman, Talukder, Military Withdrawal from politics a comparative studie, terjemahan Ashintya D. Sukma, Militer Kembali ke Barak, Sebuah Studi Komparatif, Cetakan Pertama, PT Tiara Wacana, Yogya, Yogyakarta, 1998
Mansour Faqih, The Role of Non-Governmental Organizations in Social Transformation: A Participatory Inguiry, Disertasi UNivesity of Massachusetts, Amherst, 1996, terjemahan Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial. Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1996
Muhadi Sugono, Restructuring Hegemony and the Changing Discourse of Development, terjemahan Cholish, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
Vilas, Carlos M, Perfiles de la revolucion Sandinista: Liberacion nacional y tranformaciones socials en Centroamerika, Legasa S.R.I, Buenos Aries, terjemahan Inggris The Sandinista Revolution, Monthly Review Press N.Y, Center for the Study of Americas, CA, terjemahan Ira Iramanto, Revolusi Sandinista, Revolusi Nasional dan Transformasi Sosial di Amerika Tengah, naskah tidak diterbitkan, tt