Wednesday, October 18, 2006



Perkembangan Islam dan Konsolidasi Kekuasaan di Jawa:
Berdirinya dan Konsolidasi Kekuasaan Mataram

Oleh : Gunawan


Yogyakarta
2004


A. Alasan Pemilihan Judul

Mengapa judul diatas layak dikemukakan adalah ketika seolah masyarakat Indonesia terbelah dalam pembagian Clifford Geertz: “Santri; Abangan; Priyayi”. Santri mewakili tradisi Islam – meski istilah santri lahir dari istilah cantrik dalam tradisi Hindu – sedangkan priyayi dan abangan mewakili tradisi Jawa. Dalam konteks pelajaran sejarah, para “santri” membaca Tarikh sedangkan “Jawa” membaca Babad.
Dampaknya bagi sejarah dan perkembangan masyarakat adalah the dark side of history, karena banyak penggalan sejarah yang hilang, sejarah Islam kehilangan pijakannya karena terpisah dengan ke-jawa-annya. Dan sejarah Jawa, kehilangan spiritualitasnya karena terlepas dari ke-islamanya. Maka the dark side of history perkembangan masyarakat Jawa adalah juga the dark side of humanism. Karena masyarakat memiliki globalitasnya sendiri sebagai ruang dialektika antar berbagai pandangan, keyakinan, ideologi dan sistem kebudayaan yang menunjukan emansipatoris kemanusiaan, maka penghilangan prinsip-prinsip dialektika – kontradiksi cara produksi, ide dan emansipasi - dalam sejarah, menjadikannya sekedar cerita yang menidurkan semangat gerak kemanusiaan.
Mataram (baca: Mataram Islam) adalah contoh kongret dari the dark side of history dan the dark side of humanism. Dalam sejarah “Islam”, Mataram seolah hanya kelanjutan dari kisah jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan Islam, sehingga seolah menjadi sejarah keadminitratifan - yang lahir dari pandang kaum positivis pengusung rasionalisme birokratik - tanpa pernah menyentuh isi kehidupannya. Sedangkan dalam sejarah “Jawa”, Islam seolah menjadi artifisial belaka yang menyertai sebuah periode kekuasaan, dalam artian muncul sepintas lalu dalam sebuah episode sejarah yang puritan dan xenophobis.
Gambaran yang lebih menyeluruh sejarah – termasuk juga – Mataram justru muncul dari sejarawan Barat di mulai dalam masa periode kolonial. Artinya sejarah Indonesia adalah sejarah temuan, untuk itu diperlukan upaya rekontruksi atas historisitas dan historiografi Indonesia. Sejarah Indonesia adalah produk dari sejarah kolonial, meski telah muncul kajian sejarah post colonial, tetap harus mengingat status semi kolonial pada post colonial Indonesia kontemporer, yang berarti negara, masyarakat, cara produksi dan sistem pengetahuan serta sejarah tetap di bawah hegemoni dan dominasi Barat.
Karena hal itulah menjadi perlu untuk membangun metode baru dan kajian-kajian kritis atas sejarah dan perkembangan masyarakat, bahkan pembangunan teori-teori sosial baru, yang di susun oleh orang Indonesia sendiri.

B. Tujuan Penelitian
Melakukan cultural studies melalui sebuah riset sejarah dalam rangka menemukan sebuah dialektika dari perkembangan Islam dan konsolidasi kekuasaan dengan studi kasus Mataram Islam.
Melakukan pendokumentasian sejarah.
Mempopulerkan kembali cerita sejarah lokal yang tengah tenggelam dalam budaya popular yang serba Barat, serba materialistik, dan serba konsumtif.

C. Latar Belakang Masalah

Sejarah Jawa paling tidak bersumber pada Babad dan sejarah lisan atau tutur. Sumber berikutnya adalah hasil dari penelitian sejarah, yang sering juga menggunakan sumber Babad dan sejarah lisan juga menggunakan beberapa peninggalan sejarah dan penemuan arkeologi termasuk juga laporan dari orang-orang Barat, khususnya orang Portugis, Belanda dan Inggris.
Penelitian orang Barat, terutama H.J De Graff sedikitnya telah mampu merekontruksikan perkembangan Islam dan konsolidasi kekuasaan di Jawa, sebut saja hasil risetnya yang telah di Indonesiakan : “Pertama. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Kedua. Awal Kebangkitan Mataram. Masa Pemerintahan Senapati. Ketiga. Puncak Kekuasaan Mataram. Politik Ekspansi Sultan Agung.”
Kelemahan dari studi De Graff justru terletak diwilayah geografis Mataram itu sendiri dalam pengertian studinya atas perkembangan Islam dan konsolidasi kekuasaan Mataram. Misal saja De Graff hanya sepintas saja menceritakan ekspansi Ki Ageng Pamanahan atas penduduk Mataram dan ekspedisi ke Giring. Bahkan tidak memasukan ekspedisi Mataram di bawah Senapati anak Pamanahan ke Mangir.
Sisi lain yang belum diungkap oleh banyak peneliti mengapa Mataram - yang juga termasuk tanah mahkota Majapahit – dan juga Giring serta Mangir luput dari ekspedisi penaklukan Sunan Kudus di masa Demak, padahal ekpedisi tersebut telah berhasil menaklukan Pengging (timur Mataram) dan Pasir (barat Mataram). Serta bagaimana posisi makam keramat Syekh Jumadil Kubro dan makam Syekh Bela Belu serta makam Syekh Maulana Maghribi dengan pengislaman penduduk Mataram, mengingat islamisasi berbarengan dengan ekspedisi Pamanahan membuka hutan Mentaouk (Mataram).
Kalau kekuasaan awal Mataram di pandang kurang bercorak Islam, walaupun memiliki klaim legitimasi dari Sunan Kalijaga. Namun di masa kejayaanya (masa Sultan Agung), gelar raja telah memakai gelar Islam (Arab) sultan dan wacana Mataram-Mekah dalam kasus rutinitas raja dalam sholat Jum`at dan pembangunan kompleks makam Imogiri.
Dari pemaparan di atas menunjukan adanya episode sejarah yang terpenggal dan perlunya untuk pendokumentasian baru dalam rangka rekontruksi atas historiografi dan historisitas sejarah di Indonesia.

D. Landasan Pemikiran

Anthony Reid menjelaskan bahwa Jawa sebagai kasus khusus. “Kekuatan kejawen, atau Jawaisme yang langgeng menyebabkan wilayah-wilayah yang berbahasa Jawa tampak unik di antara budaya-budaya Islam. Dalam zaman modern (terlebih dalam tahun 1950-an di banding tahun 1980-an) tidak sulit menemukan aristokrat muslim nominal Jawa yang percaya bahwa islamisasi Pulau Jawa merupakan suatu bencana budaya dan bahwa tradisi yang lebih tua mengenai meditasi dan asketisme adalah jalan yang lebih benar untuk mencapai yang suci dibandingkan dengan syari`ah. Penelitian belum lama ini (Ricklefs 1979; Kumar 1980: 12-16: Kumar 1985: 6-7) membuktikan bahwa jurang budaya yang di bentang dengan jelas oleh Geertz (1960) antara para aristokrat kejawen dengan muslim taat (santri) sebagian besar disebabkan karena tekanan intelektual Belanda selama seabad sebelumnya dan oleh moralisme baru kaum reformis Islam. Jawa di abad ke-17 belum merupakan kasus khusus dibandingkan perkembangan kemudian di awal abad ke-20. Meskipun demikian, dalam dua hal Jawa berada pada satu spektrum. Jawa memiliki budaya keraton yang paling berkembang di banding kerajaan-kerajaan lain yang menerima Islam, dan penolakannya untuk terlibat dalam jaringan Islam internasional dalam abad ke-17 adalah lebih mendalam dibandingkan dengan lainnya”[1].

E. Jangkauan Penelitian dan Pendokumentasian

Secara geografis meliputi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk melacak leluhur pengislaman dan konsolidasi kekuasaan Mataram, serta DIY untuk fokus studi utama yaitu pembukaan kembali Mataram (masa Ki Ageng Pamanahan), konsolidasi Mataram (masa Panembahan Senapati) dan kejayaan Mataram (masa Sultan Agung)
Sedangkan untuk bentangan sejarahnya, untuk bisa memahami latar belakang Mataram, terutama sekali para leluhurnya dan pengislamanya, sedikit akan diurai pengislaman Jawa, dan beberapa kerajaan pra Mataram.

F. Pembahasan

I. Pengislaman Jawa, Pan Islamisme, dan Fundamentalisme

Menceritakan bagaimana ajaran Islam masuk ke Jawa. Baik secara mitos, legenda maupun berdasarkan bukti-bukti sejarah. Jika hal-hal itu dirangkai maka ada beberapa kelompok cerita.
Pertama. Mitos Aji Saka. Seperti diceritakan dalam Manikmaya (salinan Panambangan, 1981 : 295) disebutkan bahwa Aji Saka - dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad (yang hidup pada akhir abad VI - pertengahan abad VII). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad (Graff 1989 : 9) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII (sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit[2].
Kedua. Cerita putri Campa dan Para Keponakannya[3]. Putri Campa adalah seorang putri dari Campa Kamboja yang diperistri raja Majapahit (Prabu Brawijaya).Setelah dinikahi Brawijaya, putri Campa tersebut bergelar ratu Andarawati atau Darawati Di asalnya dia mempunyai saudara perempuan yang menikah dengan orang Arab. Konon orang Arab ini adalah anak Syekh Jumadil Kubra dan masih keturunan Syekh Parnen (Iskandar Zulkarnain). Dia memiliki beberapa nama, antara lain: Raja Pandhita; Sayid kaji Mustakim; Makdum Brahim Asmara; Imam dari Asmara; Maulana Ibrahim Asmara. Konon dia lahir di Arab dan pernikahannya dengan putri Campa saudara Ratu Darawati melahirkan dua orang anak yang kemudian menyusul di Jawa.
Dua orang tersebut bernama Raja Pandhita (Raden Santri atau Sayid Ngali Murtala) dan Pangeran Ngampel Denta (Raden Rahmat atau Sayid Ngali Rahmat atau Arya Sena). Kedatangannya bersama saudara sepupu yang lebih tua bernama Abu Hureirah (Raden Burereh) putra raja Campa. Raja Pandhita kemudian berkedudukan sebagai imam masjid di Gresik, sedangkan Raden Rahmat menjadi imam masjid di Surabaya.
Ketiga. Konsolidasi kekuasaan para pedagang Cina. Para pedagang Cina banyak menetap di pantai utara pulau Jawa, disana selain menjadi pelopor pembukaan dermaga bahkan ada yang kemudian mendirikan kerajaan seperti dalam kasus Demak (Jimbun/Bintara) dan Jepara (Jung Mara).
De Graaf dengan menggunakan berbagai sumber (Barat, Jawa Barat, dan Babad) telah berhasil merekontruksi pendirian Demak dan Jepara[4]. Menurut studinya asal-usul berdirinya Demak Islam berasal dari Cek Kopo dari Moghul (yang dimaksud Mongol) Orang Cina ini (Cek dalam bahasa Melayu adalah Paman) adalah abdi Gresik yang mengabdi ke Demak, yang kala itu masih bawahan Majapahit. Di Demak diangkat menjadi Capitan untuk diutus menaklukan Cirebon. Karena keberhasilannya ia diangkat patih (Pate).
Cucu Cek Kopo yang bernama Cu-Cu, menurut Sadjarah Banten karya Djajadiningrat adalah murid Ngampel Denta yang diutus untuk membikin kompleks muslim di Demak, dan dia berhasil melakukannya di daerah Bintara, oleh penguasa Demak, Lembu Sora di laporkan ke Majapahit, dan Cu-Cu mendapat gelar “Tandha di Bintara”.
Rupanya Cu-Cu kemudian melakukan penggulingan kekuasaan di Demak dan berhasil, akan tetapi tetap menyatakan setia terhadap Majapahit, ini bisa dilihat dari penugasanya oleh Majapahit untuk mengatasi keangkuhan Palembang, keberhasilan di Palembang sehingga ia mendapat gelar dari Majapahit yaitu Arya Sumangsang. Tetapi Palembang membangkang lagi, Cu-Cu kembali diutus dan berhasil hingga diberi gelar baru yaitu Prabu Anom dan anaknya diberi nama Ki Mas Palembang. Setelah Demak berhasil mengalahkan Majapahit, oleh para wali diberi gelar Senapati Jimbun Ngabdu`r-rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama. Kata Jimbun adalah nama salah suatu lokasi di Demak.
Dalam berita Portugis Cu-Cu dikenal sebagai Pate Rodin (blasteran dari Kamaru’d-din dan Badru’d-din) Senior, sedangkan anaknya dikenal sebagai Pate Rodin Junior. Dalam Babad Cu-Cu dikenal sebagai raden Patah, namun dia adalah anak dari Brawijaya dari istri yang berasal dari Cina. Ketika hamil dihadiahkan ke penguasa Palembang, di Palembang Raden Patah lahir. Dalam tradisi Jawa Ki Mas Palembang di kenal sebagai Sultan Trenggana (Sultan Bintara Jimbun) sebagai raja ketiga Demak setelah Raden Patah dan Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor/Jimbun Sabrang), yang juga putra Raden Patah.
Berbeda dengan Babad, berita Portugis justru menunjukan bahwa Dipati Unus (Pate Unus menurut Portugis – mungkin berasal dari kata Yunus) adalah menantu dari Cu-Cu. Orang tua Dipati Unus adalah Cina yang menjadi Buruh di Kalimantan Barat Daya yang kemudian pindah ke Malaka. Dia menjadi sukses dengan menjadi Bajak Laut dan hubungan kekeluargaan, sebut saja Pate Unus pernah meminang putri raja Malaka dan menikah dengan anak Cu-Cu (Raden Patah). Pate Unus kemudian pindah ke Jepara dan setelah membunuh penguasa setempat ia berkuasa.
Kalau merujuk ini maka menjadi wajar kalau Pate Unus bergelar Pangeran Sabrang Lor, yang berarti Pangeran dari seberang utara. Pate Unus memang sangat dikenal dalam berita Portugis, karena serangan Jepara atas Malaka yang gagal.
Di Jepara ada juga kerajaan yang masih memiliki hubungan famili dengan Demak dan Jepara, yaitu Kalinyamat, yang didirikan oleh seorang nahkoda Cina sebuah kapal dagang yang kandas. Dia di Islamkan oleh Sunan Kudus, dan mengabdi pada Demak di masa Trenggana yang kemudian dihadiahi putri Trenggana untuk dinikahi. Cina tersebut kemudian terkenal dengan nama Ki Kalinyamat, sedangkang istrinya dikenal dengan nama ratu Kalinyamat, yang kemudian melanjutkan serangan Jepara terhadap Protugis di Malaka dan Maluku. Ratu Kalinyamat pernah menerima utusan orang-orang Maluku, yaitu dari persekutuan Hitu di Ambon dan Hative yang meminta dukungan untuk menyerang Portugis..
Perluasan Demak dan Jepara ke Jawa maupun luar Jawa dipandang juga bagian dari pengislaman nusantara. Sebuah pengislaman terhadap kekuasaan non Islam, tetapi juga kepada yang murtad (serangan Demak atas Pasir/Banyumas) dan kepada kekuasaan yang menjadi pengikut model Islamnya – pengikut Syekh Siti Jenar - (serangan Demak atas Pengging berserta sekutunya - Tingkir, Ngerang, Butuh). Dan menggagalkan (atau tidak merestui) Sunan Tembayat (Ki Pandanaran) mengkonsolidasikan kekuasaan Islam lain diluar Demak di bagian selatan Jawa Tengah.
Pengislaman atas Jawa dan beberapa tempat di nusantara juga akibat pengaruh dari masjid Agung Demak, sebagai tempat berkumpulnya para Wali, yang mana para imamnya masih famili dengan Putri Campa, terutama keturunan dari keponakannya, Raja Pandhita di Gresik.
Imam pertama masjid Demak adalah putra Raja Pandhita yang bernama Pangeran Bonang (Pangeran Ratu, Pangeran Makdum Ibrahim, Sunan Wadat Anyakra Wati).
Imam kedua adalah cucu dari Raja Pandhita dari anak perempuannya Nyai Agung Pancuran. Imam kedua ini bernama Makdum Sampang.
Imam ketiga masjid Demak adalah adalah anak Makdum Sampang yang bernama Kiai Gedeng Pambayun
Imam Keempat masjid Demak adalah Pangulu Rahmatullah dari Undung anak Nyai Ageng Pambareb yang merupakan saudara perempuan dari Nyai Ageng Pancuran, yang berarti imam masjid Demak keempat ini adalah cucu Ratu Pandhita, keponakan Nyai Ageng Pancuran dan ipar Makdum Sampang.
Imam kelima masjid Demak adalah anak dari Pangulu Rahmatullah yang bernama Pangeran Kudus (Pandhita Rabani/Sunan Kudus).
Yang menarik dari Islam dan kekuasaan di Demak adalah adanya gelar Sultan dan Suronatan. Sunan Kudus menjadi imam masjid Demak adalah karena panggilan dari Syekh Nurullah (Sunan Gunungjati), yang menurut Portugis bernama Falatehan (berasal dari kata Fatahillah) atau Tagaril. Syekh Nurullah adalah yang memberikan gelar Sultan pada Trenggana (Sultan Abdu`l-Arifin). Sebuah gelar untuk menandingi Sultan Salim I Akbar, dari Turki, yang di tahun 1517 berhasil menaklukan Mesir dan mendirikan khalifah Islam. Syekh Nurullah mengetahui soal kekhalifahan Islam ini karena dia pernah tinggal di Makkah dan rupanya ingin membangun pusat kekuasaan (khalifah Islam) untuk menandingi Turki, yang berarti pemakaian gelar Sultan tidak saja untuk menunjukan kesan Islam, tetapi juga internalisasi konflik internasional.
Pada zaman Demak kefanatikan orang yang baru saja memeluk agama Islam dan jiwa kepahlawanan tradisional umat Islam telah mendorong orang yang semula termasuk “masyarakat alim” – yaitu para pengrajin dan pedagang di lingkungan masjid ibu kota dan desa – bergabung menjadi kelompok bersenjata dengan tujuan mempertahankan agama yang benar, memperluas wilayah yang beragama Islam. Dapat diakui bahwa itulah yang merupakan latar belakang terbentuknya kelompok “pangulu bersenjata”, dibawah kepemimpinan Sunan Kudus, yang mana mereka sangat aktif dalam ekspansi Islam[5]. Seperti ikut aktif dalam menyerang dan meruntuhkan Majapahit dan wilayah lainnya. Dapat kita saksikan bagaimana Sunan Kudus membunuh Syekh Siti Jenar dan muridnya, Kebo Kenanga, seorang penguasa Pengging yang merupakan ayah dari Mas Karebet (Jaka Tingkir/Sultan Hadiwijaya).
Maka, masuk akal jika ada dugaan bahwa kelompok pegawai keraton yang setengah militer setengah religius itu (di keraton-keraton Jawa Tengah sejak abad XVII di kenal dengan nama Suranata (penata surau/masjid) adalah peninggalan suatu kelompok “orang alim” yang dipersenjatai dan berasal dari golongan menengah di kota. Mereka berhasil merebut tempat yang paling dekat dengan raja. Inilah mungkin tradisi awal dari fundamentalisme Islam. Seperti telah diurai diatas, kini di keraton-keraton Jawa selalu ada dua masjid, yaitu masjid Agung yang dilingkungan kampung yang bernama Kauman dan satu lagi di Suronatan.

II. Para Leluhur Mataram

Menceritakan para leluhur wangsa Mataram. Seperti halnya Demak, Mataram juga berusaha menghubungkan wangsanya sebagai keturunan Majapahit. Selain itu Mataram juga mencoba menghubungkan wangsanya dengan daerah keramat Medang Kemulan, khususnya daerah Sela (Sesela).
Alkisah Jaka Tarub (Ki Ageng Tarub) – cucu mbah kiai Telingsing (The Ling Sing) pendiri kota Ngundung (Undung) yang kemudian di kenal sebagai Kudus, maka ia di kenal juga bernama Kiai Gede Kudus - berhasil memperistri bidadari yang selendangnya dia curi. Bidadari tersebut bernama Nawangwulan yang perkawinannya dengan Jaka Tarub memperoleh anak Nawangsih yang kemudian menikah dengan raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng.
Konon Lembu Peteng adalah anak Brawijaya yang menikah dengan putri asal Wandan, sebuah suku berkulit kehitam-hitaman. Pernikahan itu terjadi karena Brawijaya mendapatkan wangsit bahwa penyakit kelaminnya akan sembuh bila menikahi putri Wandan. Wangsit itu juga mengatakan bahwa sang anak dari perkawinannya kelak dengan putri Wandan akan menghadirkan bahaya. Maka begitu lahir sang jabang bayi dititipkan ke seorang pengawas sawah yang bernama Kiai Buyut Masahar untuk dibunuh. Karena tidak tega akhirnya Raden Bondan Kejawan dipelihara oleh Kiai Buyut Masahar dan setelah dewasa diantar ke Prabu Brawijaya, pada mulanya Prabu Brawawijaya tidak mengenalinya, begitu dikenalinya kembali kemudian di terima dan dititipkan ke Ki Ageng Tarub yang kemudian dinikahkan dengan putri Ki Ageng Tarub, Dewi Nawangsih. Raden Bondan Kejawan namanya berubah menjadi Lembu Peteng.
Lembu Peteng secara harafiah berarti Kerbau Hitam. Yang ini bisa jadi sanepa dari anak yang lahir dari hubungan gelap. Dalam sejarah Jawa nama Lembu Peteng juga muncul beberapa kali. Pertama, merupakan anak dari Lembu Sora, penguasa Demak yang dijatuhkan Cu-Cu (Raden Patah), dimana kemudian Lembu Peteng dijadikan anak angkat oleh Cu-Cu dan menjadi moyang dari Sunan Tembayat (berarti pendiri Semarang/Sampo to alang). Kedua, anak Brawijaya raja Majapahit dengan putri Campa dan menjadi raja di Gili Mandangin atau Sampang, Madura
Perkawinan Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pandawa yang kemudian menikah dengan putri Ki Ageng Ngerang, yang mana hasil dari perkawinan tersebut lahirlah Ki Ageng Sela, yang merupakan anak tertua dari 6 orang saudara perempuan, yaitu: Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya.
Ki Ageng Sela termasyur ceritanya karena kemampuannya menangkap petir di dekat Masjid Agung Demak sewaktu Pangeran Sabrang Lor (Adipati Unus Jepara) meninggal, yang kini deskripsi dari perwujudan petir tersebut ada di Masjid Agung Demak. Masuknya Ki Ageng Sela ke lingkar kraton Demak bukanlah jalan yang mudah. Ki Ageng Sela mengikuti ujian masuk tamtama Demak dengan memukul hancur kepala Banteng, namun karena ia membuang muka takut terkena cipratan darah banteng, maka ia dianggap gagal karena dituduh penakut.
Maka goncanglah Ki Ageng Sela dan akhirnya bersama beberapa orang melakukan serangan bersenjata ke Kraton Demak, namun di alun-alun ia dihadang panah-panah yang dikeluarkan Sultan, hingga salah satu anah panah mengenai ikat pelana kuda Ki Ageng Sela yang mengakibatkan dia terpental dan melarikan diri karena malu.
Ki Ageng Sela kemudian memiliki 6 orang anak perempuan dan anak ketujuh baru laki-laki. Keenam anak perempuan tersebut yaitu Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba, Nyai Ageng Bangsri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, dan Nyai Ageng Pakisdadu. Sedangkan bungsu lelakinya bernama Ki Ageng Ngenis Ki Ageng Ngenis kemudian berputra atau mempunyai menantu Ki Ageng Pamanahan (Bagus Kacung), yang bekerja sebagai pencari rumput bagi kuda-kuda Demak.
Ki Ageng Ngenis adalah kakak seperguruan dari Mas Karebet (Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya) ketika berguru pada Sunan Kalijaga. Maka ketika Hadiwijaya berdaulat di Pajang Ki Ageng Ngenis dibawa. Di Pajang Ki Ageng Ngenis membawa anaknya Bagus Kacung, dan dua keponakannya, yaitu: Ki Juru Martani dan Ki Panjawi. Yang mana akhirnya mereka mendapat pangkat lurah Tamtama dan Bagus Kacung mendapat tanah di daerah Manahan (sekarang Solo) hingga namanya berubah menjadi Ki Ageng Pamanahan. Ki Ageng Pamanahan berputra Raden Sarubut, yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya, dan namanya berubah menjadi Danang Sutawijaya dan berkedudukan di utara pasar, maka dia juga bergelar Raden Ngabehi Saloring Pasar.
Sutawijaya kemudian bergelar Senapati ketika ia memimpin pasukan Pajang untuk berperang dengan Jipang Panolang dibawah kekuasaan (Haryo) Ario Panangsang. Pamanahan, Juru Martani, dan Panjawi sepakat untuk merahasiakan keberhasilan Senapati membunuh Ario Panangsang, dan diakui bahwa yang membunuh adalah mereka, hal ini dilakukan agar hadiahnya tidak sederhana, karena Senapati masih muda dan anak angkat. Maka kemudian Panjawi mendapatkan Pati dan Pamanahan mendapatkan Mataram. Pamanahan juga mengajak Juru Martani dan Senapati serta kerabatnya di Sela untuk turut serta ke Mataram. Dalam perjalanan ke Mataram, di daerah Taji (perbatasan DIY-Klaten Jawa Tengah Sekarang) Pamanahan disambut oleh Kiai Gede Karang Lo, dan ketika menyeberang sungai Opak bertemu dengan Sunan Kalijaga yang sedang mandi (mungkin Sunan Adi, putra Sunan Kalijaga). Setelah menguasai Mataram, Ki Ageng Pamanahan namanya berubah menjadi Kiai Gede Mataram.
Sebelum berangkat ke Mataram, Pamanahan mengunjungi Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa telanjang di gunung Danajaya di Jepara – akibat suaminya di bunuh Ario Panangsang - untuk menyampaikan kekalahan Jipang. Dari Ratu, selain mendapatkan barang material, Pamanahan juga mendapatkan istri-istri mendiang suami Ratu Kalinyamat. Pamahanan juga dititipi perawan untuk Sultan Hadiwijaya, namun dikarenakan belum cukup umur perawan itu oleh Sultan Hadiwijaya dititipkan ke Pamanahan.
Namun penyerahan Mataram tidaklah lancar, sehingga Pamahanan mesti bertapa yang mana dalam tapanya ia ditemui oleh Sunan Kalijaga. Keluhan Pamanahan kemudian disampaikan Sunan Kalijaga ke Sultan Hadiwijaya sehingga dilakukan penyerahan atas Mataram lewat sebuah piagam.
Kasus “pengrahasiaan keberhasilan Senapati” bisa jadi dimaksudkan bahwa sesungguhnya kurang penting peranan kerabat Sela dalam peristiwa terbunuhnya Ario Panangsang dalam pertempuran dengan Pajang di Bengawan Solo. Sehingga bisa jadi ada versi lain dari penguasaan atas Mataram.
De Graaf dengan menyandarkan studinya atas cerita dari Jawa Barat dan berita-berita Barat mengemukan[6], bahwa kepindahan Pamahanan ke Mataram lebih diupayakan mencari posisi aman, akibat tindakan kejahatan Pamanahan seperti perampokan atas harta benda Pajang dan penculikan istri-istri selir Sultan Hadiwijaya (lihat cerita soal penitipan perawan). Di Mataram Pamahan menjadi pencuri kerbau, setelah anggotanya sekitar 30-40 orang ia mulai melakukan aksi perampokan. Dan setelah angotanya berkisar 300 orang dia mulai merebut Mataram. Kisah yang agak baik, seperti diuraikan De Graaf, - bersandar riset H. van der Hosrt - bahwa Pamanahan merebut Mataram dengan kekerasan atas perintah Sultan Hadiwijaya dalam rangka pengislaman, tentu disini juga dipahami sebagai perluasan wilayah Pajang, namun setelah berhasil ia tinggal di Mataram.
Dari semua pemaparan diatas, sedikitnya dapat disimpulkan bahwa penguasaan Mataram dilakukan bukan dengan cara damai.

III. Mataram dari Zaman Hindu hingga Islam

Dalam mitos Jawa, Mendang Kamulan adalah negeri segala asal yang mana hal ini bisa kita tarik dengan kajian sejarah total Anthony Reid yang menemukan adanya kesatuan fisik dan kesatuan manusia Asia Tenggara.
Anthony Reid paling tidak menunjukan tiga hal yang membentuk kesatuan Asia Tenggara, selain kesatuan rumpun bahasa, masih ada dua faktor lagi yang memberi kawasan ini suatu kesamaan sifat. Pertama, penyesuaian dengan suatu lingkungan fisik yang sama. Kedua, suatu jalinan niaga yang tinggi di kawasan tersebut[7]. Namun Anthony Reid masih belum bisa menemukan jawaban apakah kesamaan gejala-gejala demikian harus dijelaskan oleh perpindahan di masa pra sejarah atau oleh hubungan niaga dan politik yang terus berlangsung[8].
Dalam hal hubungan niaga dan politik, kawasan juga dilintasi selain dari dua peradaban besar yang membatasi Asia Tenggara yaitu India dan Cina, tetapi juga dari kawasan Timur Tengah. Dikurun waktu yang disebut Reid sebagai Kurun Niaga (1450-1680 atau abad 15-17)[9], pusat-pusat perdagangan atau pusat niaga pantai (entrepot) adalah adalah Sriwijaya kemudian digantikan Pasai, Melaka, Johor, Patani, Aceh dan Brunei yang kesemuanya menggunakan bahasa Melayu, maka jadilah bahaya Melayu menjadi lingua franca, dimana di Asia Tenggara kelas pedagang kosmopolitan selalu disebut orang Melayu, padahal asalnya bisa dari mana saja, maka kemudian diketemukan budak Sumatera bisa berkomunikasi dengan orang Filipina dan orang-orang Eropa bisa belajar bahaya Melayu di Vietnam.
Kenyataan bahwa pengaruh Cina dan India sampai pada sebagian besar kawasan ini lewat perdagangan maritim, bukan lewat penaklukan atau kolonialisasi, tampaknya menyakinkan kita bahwa Asia Tenggara tetap mempertahankan keunikannya, kendati ia juga meminjam berbagai unsur dari kedua negeri yang lebih besar diatas. Apa yang tidak terjadi (dengan sejumlah pengecualian di Vietnam) ialah bahwa suatu bagian dari kawasan tersebut membina hubungan yang lebih dekat dengan Cina atau India dibandingkan dengan negara tetangganya sendiri di Asia Tenggara. Bangsa Cina selamanya memandang Asia Tenggara (kecuali Vietnam) secara keseluruhan sebagai “Laut Selatan” (Nan Yang). Orang-orang India, Persia, Arab, dan Melayu menyebut kawasan ini “tanah dibawah angin” karena angin musimlah yang membawa perahu-perahu layar melintasi Lautan Hindia[10]. Bagi Reid[11], hal tersebut menunjukan bahwa perhubungan sangat ditentukan oleh pelayaran samudera dan adanya upaya saling mencukupi kebutuhan, dimana hal ini rusak ketika Belanda mulai melakukan praktek monopoli dan kolonialisme.
Namun ketika Reid mengutarakan bahwa pelebaran pengaruh Cina dan India hanya lewat perdagangan maritim bukanya lewat penaklukan dan kolonialisasi, hal tersebut bisa dikritisi dengan fakta sejarah yang menunjukan serangan kerajaan Comandala (India) ke Sriwijaya dan Serangan Cina (Mongol/Tartar) ke Kediri dengan maksud menghukum Singasari, dan Reid sendiri menjelaskan bahwa Cina harus lewat maritim untuk ke Nanyang juga karena disebabkan usaha Vietnam membangun birokrasi dan kemiliteran mencontoh Cina, serta memperjuangkan kesamaan kemerdekaan dan kedudukan yang setara dengan Cina[12], artinya karena penguatan politik dan militer Vietnam yang mencegah Cina melakukan ekspansi ke Asia Tenggara lewat darat.
Mendang Kamulan, yang dalam mitos menurunkan raja-raja tua di Jawa terletak berdasarkan penelitian De Graaf dan Pigeaud terletak di Blora dan istana Angling Darma salah seorang rajanya di Bojonegoro, keduanya berada di Pantai Utara Jawa[13]. Dalam teks Jawa seperti yang dikemukakan oleh Daldjoeni (1984 : 147-148) yang kemudian diacu oleh Suryadi (1995 : 79) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora. Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar (Brandes, 1889a : 382-383) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut : Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung[14].
Menurut De Graaf dengan bersandar pada risetnya W.F. Stutterhem[15], bahwa desa Sela terletak di dekat tempat tempat yang oleh tradisi dicari sebagai tempat Mendang Kemulan yang misterius itu. Disana Raffles masih menemukan sisa-sisa sebuah keraton tua. Stutterhem melihat Kai Ageng Sela, yang dikatakannya “orang keramat yang agung dari Sela”, seorang raja Cailendra. Kata Cailendra dipecahkannya dalam : Caila (Jawa Kuno untuk Sela) dan Indra, dewa langit yang membawa halilintar.
Tentu meragukan kalau Kiai Ageng Sela adalah raja dinasti Syailendra, tetapi hal itu menunjukan upaya merekontruksi sejarah (ingatan) yang remang-remang, dan tentu saja hendak digunakan sebagai alat legitimasi kerajaan. Seperti halnya Kiai Gede Tarub, karena di masa Sanjaya juga diketemukan lokasi keramat yang bernama Tarub. Mpu Prapanca dalam Negarakretagama, pupuh XXX/I, juga melaporkan kunjungan Hayam Wuruk ke tempat suci di Cela dan Tarub[16].
Jika itu kita tarik dengan studinya Reid, yang menunjukan kemungkinan bahwa berbagai kesamaan unsur pada segenap rumpun bahasa Asia Tenggara harus diterangkan dalam tatanan interaksi intensif antara penduduk berbahasa Vietnam, Thai, dan Birma yang berpindah keselatan di satu pihak, dengan para pemakai bahasa Mon-Khmer dan Austronesia yang sudah lebih mapan di pihak lain[17]. Maka sangat mungkin nenek moyang Jawa ada yang berasal dari luar Jawa (khususnya dari Indocina), sehingga sejarah awal Jawa adalah di pantai utara Pulau Jawa. Sebuah penelitian lain mengatakan Sanjaya adalah keturunan dari Indo-Cina
Kalingga adalah kerajaan Hindu yang terletak di daerah Jepara, dengan salah satu rajanya yang terkenal yaitu Ratu Shima (Hsi-ma) di tahun 674, menurut GPH.Soeryo Wicaksono, kira-kira tahun. 732 Wangsa Sanjaya merubah nama Kalingga dengan Mataram. Ia menjadi raja pertama Mataram Hindu, dengan Ibu kota Medang Kamulan. Masa ini juga merupakan masa pendirian candi-candi Siwa di Gunung Dieng. Kira-kira tahun. 750-850 Sailendra dari Sriwijaya menguasai Jawa Tengah, masa berdirinya candi-candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Kalasan. Kira-kira tahun 800 Mataram Hindu terdesak Keluarga Sanjaya menyingkir ke wilayah Jawa Tengah Kira-kira tahun. 925 Jawa Tengah ditinggalkan, di Jawa Timur mulai didirikan kerajaaan-kerajaan (925-1042)[18].
Kekeliruan GPH Soeryo Wicaksono adalah bahwa Sailendra dari Sriwijaya, karena harusnya ia memindahkan ke Sriwijaya. Berarti di Jawa Tengah ada dua wangsa. Pertama Wangsa Mataram Hindu, di wilayah eks karisedenan Kedu sekarang. Kedua Wangsa Sailendra, Budha, di wilayah Bagelen dan Yogyakarta sekarang. Terjadi pernikahan di kedua wangsa tersebut, antara Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya dengan Pramudha Wardani dari wangsa Sailendra. Rupanya pernikahan ini tidak cukup menghentikan permusuhan, sehingga Rakai Pikatan dapat mengalahkan saudara iparnya Balaputra Dewa, yang berdampak pada perpindahan wangsa Sailendra ke Sumatera dan mendirikan Sriwijaya.
Sailendra tadinya adalah bawahan Mataram (dimasa Rakai Sanjaya, 730-750). Namun ketika di masa Rakai Panangkaran, Mataram tunduk kepada Sailendra, sehingga ia bersedia mendirikan candi Kalasan (778), puncak pendirian candi-candi Budha adalah di masa Samarottungga dari Sailendra (825), di masa itu dibangunlah candi Borobudur, Mendut dan Pawon. Samarottungga memiliki dua anak yaitu Pramudha Wardani dan Balaputra Dewa.
Wangsa Sanjaya pindah ke Jawa Timur (Madiun) di masa Diah Balitung, pendiri candi Prambanan, mpu Sindok kemudian berhasil menegakkan wangsa Isana di Jawa Timur dan berjaya di masa Teguh Darmawangsa dengan nama kerajaan yang juga Medang. Kekuasaan Teguh Darmawangsa amburk dalam peristiwa Pralaya, anak menantu Teguh Darmawangsa, Airlangga yang kemudian mampu mengkonsolidasikan kembali kerajaan Medang dengan namanya diganti menjadi Kahuripan.
Kahuripan kemudian di pecah dua menjadi Panjalu dan Jenggala, dan dipersatukan kembali menjadi Kediri. Hingga akhirnya kekuasaan Kediri ditumbangkan Tumapel dan setelah hancurnya Singasari berdirilah Majapahit.
Bisa jadi dijadikannya Mataram menjadi tanah keramat (mahkota) Majapahit – yang ditandai dengan adanya keturunan raja yang bernama Bhre Mataram[19] - karena faktor masa lalu, yaitu bekas kerajaan dan keberadaan bangunan suci, namun kelihatan tidak cukup penting secara ekonomi dan politik, sampai dibuka kembali oleh Ki Ageng Pamanahan.
Cerita lain tentang kekuasaan di Mataram, adalah Prabu Baka, raja Prambanan yang konon berasal dari Bali, dimana Prambanan mempunyai hubungan yang baik dengan Kodrat (Gujarat di India), Medang Kamulan, dan Sumedang (Jawa Barat).
Geografi Mataram dibatasi oleh sungai Progo dan sungai Opak untuk sebelah barat dan timur, utara dibatasi Gunung Merapi dan selatan oleh Laut Selatan. Paling tidak ada dua kekuasaan disana setelah runtuhnya Mataram Kuno (Hindu) dan Kraton Baka, namun tidak model kekuasaan keraton tetapi tanah perdikan, yaitu di sebelah timur (Gunung Kidul dan Prambanan) ada Ki Ageng Giring dan di sebelah barat (Bantul dan Kulon Progo) ada Ki Ageng Mangir. Daerah Mataram, khususnya yang berbatasan dengan Tingkir dan Pengging, kemungkinan di Islamkan oleh Sunan Tembayat. Para penguasa Giring adalah menantu dari Sunan Tembayat. Situs lain yang menunjukan pengislaman Mataram adalah makam keramat Syekh Jumadil Kubra di daerah sekitar Gunung Merapi dan Syekh Bela-Belu, dan Syekh Maulana Maghribi di sekitar Parangtritis pantai selatan. Banyaknya situs keramat di sepanjang aliran sungai Opak kiranya menunjukan bahwa di masa pra Islam daerah tersebut adalah tempat suci, termasuk di muaranya, dimana muncul legenda Ratu Kidul semenjak Majapahit, yang kemudian tempat suci berubah, dari tempat suci pra Islam menjadi tempat suci Islam. Penguasaan Mataram oleh Pamanahan mendorong pengislaman yang besar-besar

IV. Ekpedisi ke Giring dan Mangir

Menceritakan perluasan Mataram ke penghuni-penghuni tua Mataram.
Dalam tradisi Jawa, Ki Ageng Giring rajin bertapa agar keterunannya menjadi raja di Jawa. Tapanya berhasil dengan turunnya wangsit agar Ki Ageng Giring meminum kelapa yang dibawanya. Kelapa itu dibawa ke rumah, tetapi tidak langsung diminum. Ki Ageng Pamanahan datang berkunjung ke rumah Ki Ageng Giring, karena haus maka diminumlah air tersebut. Menghadapi keterlanjuran tersebut, Ki Ageng Giring menceritakan kepada Ki Ageng Pamanahan apa yang telah diminumnya dan meminta agar kelak keturunannya ketujuh boleh menggantikan posisi keturunan Pamanahan.
Giring terletak di pegunungan Sewu (Gunung Kidul). Ki Ageng Giring (Penderesan), seorang penyadap nira, dapat dihubungkan dengan dengan mitos Tunggul Petung, raja Prambanan, rajanya para penyadap nira. Artinya Ki Ageng Giring lebih tua haknya (penduduk asli) dibandingkan Pamanahan. Apalagi kalau mengingat Ki Ageng Giring adalah menantu Sunan Tembayat yang memang berniat membangun kekuasaan. Nantinya Tembayat, Kajoran, dan Giring adalah basis perlawanan atas kekuasaan Mataram. Penyelesaian politik atas Giring juga diselesaikan dengan perkawinan. Ekspedisi militer menjadi agak sulit bagi Mataram, mengingat persekutuan Tembayat, Kajoran dan Giring. Artinya minum air kelapa adalah sanepa tentang intrik politik yang berdampak pada pengakuan sementara Giring atas Mataram.
Hal serupa nampaknya terjadi juga dalam ekspedisi militer ke Mangir yang gagal. Posisi Mangir menjadi kuat karena kademangan-kademangan (sekarang menjadi nama-nama kecamatan di kabupaten Bantul DIY) bersekutu dengan Mangir. Ada kemungkinan Mangir juga didukung penguasa di seberang sungai Progo (kabupaten Kulon Progo DIY sekarang) dan penduduk di aliran sungai Bedog, dari gunung Merapi hingga pantai Selatan. Karena hal itu maka penaklukan Mangir adalah kombinasi antara perkawinan, tipuan politik dan manuver militer.
Bersandarkan cerita tutur yang berkembang. Ki Ageng Mangir (Ki Wanabaya) menyelenggarakan hajatan. Yang dipertuan di Kulon Progo mengirim anak gadisnya untuk membantu Wanabaya. Karena tidak membawa peralatan, maka Ki Wanabaya meminjamkan senjatanya ke gadis tersebut dengan syarat senjata tersebut jangan ditaruh diatas paha (dipangku; bahasa Jawa).
Namun gadis itu alpa yang berakibat pada kehamilannya. Ketika sang bayi dilahirkan berujud ular, dan diberi nama Baru Klinting. Dia disembuyikan dalam sebuah tempayan di pinggir rawa. Ketika si ular semakin besar pecahlah tempayan itu, dan sang ularpun mencari bapaknya hingga ke gunung Merapi. Jalur yang dilewati Baru Klinting menjadi sungai yang bernama Bedog (mencuri dalam bahasa Jawa). Ki Wanabaya bersedia mengakui Baru Klinting menjadi anak asalkan mampu mengelilingi gunung Merapi. Baru Klinting hampir gagal mengelilingi gunung Merapi andaikata ia tidak menjulurkan lidahnya. Namun ketika berhasil lidah itu dipotong oleh Ki Wanabaya sehingga sang ular menjadi tombak dan diserahkan ke anaknya yang menjadi dipertuan di Mangir yang dikenal juga sebagai Ki Ageng Mangir yang sedang mendapat ancaman ekspansi Mataram.
Berdasarkan sketsa tersebut bisa terlihat dari basis pengaruh tanah perdikan Mangir. Sungai yang dibentuk Baru Klinting melambangkan kemakmuran. Pramoedya Ananta Toer mencoba versi baru dengan meletakan Baru Klinting sebagai sosok manusia[20]. Jika kita mengikuti logikanya Pram, maka tafsir sejarahnya bisa diartikan Baru Klinting adalah hasil hubungan gelap yang di-sanepa-kan dengan meletakan senjata di paha. Ditaruh di tempayan hingga pecah ketika sang ular besar, diartikan bahwa sang bayi disembunyikan dan ketika besar dia mencari bapaknya (takon bapa) hingga rahasianya terbongkar, maka ia menyusuri sungai Bedog menyusul bapaknya yang sedang bertapa di Merapi. Apakah mungkin sembari berjalan ia banyak menularkan pengetahuannya kepada para petani (juru mertani) sehingga dilambangkan sungai, dimana sungai akan membentuk kantong-kantong pertanian, tetapi mengapa nama sungainya Bedog (mencuri), apakah ia dalam mempertahankan hidupnya selama perjalanan ke Merapi dengan mencuri.
Jika sanepa ular dan nama sungai Bedog dianggap bersumber dari Mataram, maka itu bisa dipahami sebagai pembunuhan karakter bagi musuhnya, maka kejadiannya bisa sebaliknya.
Syarat mengelilingi gunung Merapi, lidah dipotong, dan dijadikan senjata. Bisa ditafsirkan bahwa Baru Klinting diakui menjadi anak jika bisa menggalang penduduk Merapi untuk membantu Mangir yang sedang dalam bahaya serta jangan mengaku kalau anaknya Ki Ageng Mangir (Wanabaya tua).
Kuatnya Mangir, mendorong Mataram untuk menginflitrasikan anaknya, Pambayun ke Mangir dengan menyamar sebagai penari untuk memikat hati Ki Ageng Mangir, dan itu berhasil maka menikahlah kedua sejoli tersebut hingga membawa kehamilan.
Dalam keadaan hamil Pambayun membuka rahasianya dan mengajak Ki Ageng Mangir untuk menghadap guna memberi hormat ke Senapati. Dan itu disanggupi Ki Ageng Mangir meski dengan berat hati. Syahdan Mataram kemudian membikin pesta untuk memecah barisan pasukan Mangir dan daerah-daerah yang bersekutu dengannya, serta memendekan gapura-gapura. Sehingga tombak Baru Klinting yang harus selalu tegak, dipotong tangkainya sedikit demi sedikit.
Kisah itu menunjukan bahwa ada upaya menjebak pasukan Mangir dan mengeliminir Baru Klinthing. Sehingga ketika sampai di depan Senapati, Mangir dalam kondisi tak berdaya hingga bisa dibunuh dengan dibenturkan kepalanya ke batu singgasana ketika Mangir sedang bersujud hormat di kaki Senapati.

V. Islam dan Keraton Mataram

Menceritakan bagaimana Islam dalam model kekuasaan Mataram.
Berdirinya Mataram, dalam Babad diupayakan untuk mendapatkan legitimasi para tokoh spiritual Jawa, yaitu para wali, terutama sekali Sunan Kalijaga. Pamanahan mendapatkan ramalan bahwa keturunannya akan menjadi raja Jawa dari Sunan Giri. Senapati dan Sultan Agung menjadi raja juga dikisahkan akibat campur tangan spiritual Sunan Kalijaga. Maka dapat dipastikan kalau corak Islam di Mataram sangat mengikuti model kerajaan-kerajaan di pesisir, seperti Cirebon, Demak, Kudus, Jepara, dan Giri-Gresik, berbeda dengan pemahaman umum belakangan ini bahwa model pasisiran berbeda dengan pedalaman.
Sultan Agung bisa dipandang berhasil mendirikan kekuasaan Islam – dibandingkan pendahulunya yaitu Panembahan Senapati dan Prabu Seda ing Krapyak - tidak saja secara politik tetapi juga secara spiritual, dalam pengertian mensintesiskan antara Islam, Jawa dan Kultus raja.
Sultan Agung, dimasa muda bernama raden Jetmiko lalu berubah menjadi raden mas Rangsang. Setelah menjadi raja bergelar Pangeran Ingalaga. Kekuasaan politik (duniawi) sukses terpegang setelah ia menguasai seluruh pulau Jawa kecuali Banten dan Batavia. Kekuasaan duniawi tersebut menjadi kekuasaan spiritual (Islam dengan kultus raja) yang disebabkan oleh takluknya tempat-tempat suci (daerah suci yang berkembang menjadi kerajaan) seperti Cirebon, Demak, Kudus, terutama Giri-Gresik – karena pengaruh keturunan Sunan Giri masih sangat kuat – berhasil ditaklukan Mataram. Namun hal itu menjadi tidak begitu berarti jika tidak didukung oleh perolehan gelar Sunan (Susuhunan) dan Sultan dari Makah, yang mana kedua gelar menjadi batas sikapnya untuk menjadi semakin ketat menjalankan Islam.
Pergantian gelar dari Pangeran Ingalaga menjadi Susuhunan Ingalaga Mataram dilakukan pada peringatan Garebek pada tanggal 16 Agustus 1624 setelah menang Mataram menang atas Madura, yang ini menunjukan dari Pangeran menuju raja seluruh Jawa.
Dalam kesehariannya Sultan Agung memakai kopiah (kuluk) putih dan terompah kayu layaknya seperti santri. Dia juga mengharuskan para pejabat kraton dan para prajuritnya untuk khitan, memotong rambut, dan sholat Jum`at, yang tidak terjadi lagi setelah Sultan Agung wafat.
Dan yang paling berpengaruh, ketika Sultan Agung melakukan perbaikan atas kompleks makam di Tembayat yang dihancurkannya karena menjadi basis pemberontakan para agamawan (Islam dan pertapa Hindu-Budha). Sultan Agung juga berziarah ke makam keramat tersebut dan sepulangnya dari sana ia mengubah penanggalan Jawa menjadi penanggalan Islam.
Meski menegakan “syariat Islam” rupanya Sultan Agung juga masih memberikan tempat para pertapa Hindu-Budha. Namun oleh masyarakat Mataram mereka dipandang sebagai orang suci Islam, karena penerimaan para pertapa tersebut pada mistik Islam (tasawuf) dan perilaku para pertapa yang selalu menjaga makam orang-orang suci Islam.
Hubungan baik dengan Makkah dimungkinkan mengingat Mataram menguasai hampir seluruh pesisir pulau Jawa dan beberapa tempat di Sumatera (Palembang dan Jambi) serta Kalimantan (Sukadana). Menurut mitos, karena kesaktiannya Sultan Agung bisa setiap Jum`at sholat di Makkah, dan Sultan Agung membangun kompleks makam di Imogiri, karena tanah Makkah yang dikirim jatuh ke lokasi tersebut.
Dengan menggunakan sarana laut rupanya Sultan Agung mengirim utusan ke Makkah (1641-1642) untuk meminta gelar Sultan seperti yang diperoleh Pangeran Banten. Inggris bisa dikatakan cukup membantu pelayaran tersebut, hingga berita soal pemberian gelar tersebut berasal dari berita Inggris, dalam logat Inggris gelar tersebut adalah Sultan Abdul Mahometh Moulana Matarani (maksudnya mungkin Sultan Abdulah Maulana Matarani). 1 Juli 1641 ia telah disebut Sultan Mataram[21]. Semasa hidupnya gelar Sultan Agung Anyokrokusuma tidak dikenal, nama itu muncul setelah penulisan Babad di masa Pakubuwono III (1749-1788)
Setelah Sultan Agung, corak Islam semakin menurun di Mataram, terputusnya Mataram dengan daerah pesisir dan pembatasan hubungan dengan Mataram. Perkembangan internasional Islam yang memunculkan reformasi (pembaharuan atau modernisasi) kalaupun masuk ke Jawa hanya bergaung di daerah pesisir.

G. Kesimpulan

Dimana kita hendak mencari otensitas sejarah, jawabannya adalah bersumber pada apa kita mencoba memahami sejarah dan perkembangan masyarakat. Masyarakat memiliki lokalitas dalam arti ia berada dalam identitas yang saling berbeda; plural dalam pengertian horizontal – gender, suku, ras – maupun vertikal – akses ekonomi dan politik. Nasionalitas merujuk pada karakter umum kekuasaan, mulai dari situasinya, cita-cita dan proyeksinya hingga kendalinya. Globalitas masyarakat adalah dialektika emansipasi kemanusiaan antar keyakinan, pemikiran dan sistem kebudayaan. Secara sederhana lokalitas-nasionalitas-Globalitas adalah proses membangun relasi yang utuh antara geo sosial-ekonomi-politik dan cara pandang kemanusiaan yang bisa jadi ideologi yang membebaskan.
Jika lokalitas, nasionalitas, globalitas kita jadikan aras di mana tindakan dilakukan dan pemikiran dikembangkan melalui spektrum fundamental sosial, politik, dan ekonomi masyarakat, maka sejarah masyarakat Jawa adalah plural, dalam pengertian perkembangan agama, kebudayaan, cara produksi dan kekuasaan adalah lahir dari dialektika kawasan. Maka menjadi keliru kemudian meletakan kebudayaan Mataram dalam pengertian pedalaman yang anti pesisir, anti perdagangan dan anti laut serta tertutup.
Mataram jelas memiki armada dan pelabuhan yang memungkinan dia berhubungan bahkan menyerap pengetahuan, budaya bahkan aspirasi politik orang-orang luar negeri. Dan rupanya penulisan sejarah di masa surutnya Mataram berdampak pada penulisan sejarah Jawa seperti yang kita kenal selama ini, yang juga diselimuti situasi-situasi lupa. Para penulis Babad kiranya tidak mengetahui secara detail Mataram Hindu maupun Majapahit bahkan sewaktu Mataram didirikan hingga masa kejayaanya

Daftar Pustaka

Anonim, Kelahiran Hanacaraka, www.jawapalace.org
De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, De Eeste Moslimse Vorstendommen op Java, Studien Over de Staatkundige Gesshiedenis van de 15 de en 16 de euw, No. 69 seri Verhandelingen van het KITLV, KITLV, Leiden 1974, terjemahan Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens (ed), Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001
De Graaf. H.J., De Regering Van Panembahan Senapati Ingalaga, KITLV, Leiden, 1954, Terjemahan Javanologi, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati, Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, 1987
-----, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, Cetakan Pertama, 1986
GPH .Soeryo Wicaksono, Indonesia Sekilas Catatan Tahun Demi Tahun, http://www.jawapalace.org
Pramoedya Ananta Toer, Drama Mangir, KPG, Jakarta, Cetakan Keempat, 2000
Reid, Anthony, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume One: The Lands Below the Winds, Yale University Press, New Haven and London, 1988, terjemahan Mochtar Pabotinggi, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cetakan 1, 1992
---, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Yale University, 1993, terjemahan R. Z. Leirissa & P. Soemitro, Dari Ekspansi hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Asia Tenggara 1450-1680, Jilid II, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Edisi 1, 1992
Slamet Mulyana, Nagarakretagama, Bharata Karya Askara, Jakarta, 1979



[1] Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis II, Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999, H: 231
[2] Anonim, Kelahiran Hanacaraka, www.jawapalace.org
[3]De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001, h: 21-22

[4] Ibid
[5]De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001, h: 77
[6] H.J. De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati, Grafiti Perss&KITLV, Jakarta, 1987, Cetakan Kedua, h: 46
[7] Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cetakan 1, 1992, h: 6

[8] Ibid, h: 9
[9] Ibid, h: 10
[10] Ibid, h: 9
[11] Ibid, h: 9
[12] Ibid, h: 13
[13] De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001, h: 66

[14] Anonim, Kelahiran Hanacaraka, www.jawapalace.org

[15] H.J. De Graaf, Awal Kebangkitan Matarm, Masa Pemerintahan Senapati, PT Pustaka Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, Edisi Kedua, h: 10
[16] Slamet Mulyana, Nagarakretagama, Bharata Karya Askara, Jakarta, 1979, h: 288
[17] Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cetakan 1, 1992, h: 6
[18] GPH .Soeryo Wicaksono, Indonesia Sekilas Catatan Tahun Demi Tahun, http://www.jawapalace.org


[19] Slamet Mulyana, Nagarakretagama, Bharata Karya Askara, Jakarta, 1979, h: lampiran
[20] Pramoedya Ananta Toer, Drama Mangir, KPG, Jakarta, Cetakan Keempat, 2000
[21] HJ. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, Cetakan Pertama, 1986, h: 276

Perekonomian dan Pertanian di China



Kronik Revolusi China
Pengalaman dan pengamalan Reforma Agraria

Oleh: Gunawan

1. Fase Revolusi Nasional-Demokratik/Revolusi Demokratik-Borjuis (1923-1945)

Partai Komunis Cina (PKC/Kun jang tang) memandang problem yang dihadapi Cina adalah problem negara semi kolonial, yang terjadi pasca perang Candu, dimana banyak wilayah Cina diduduki negara-negara Barat dan problem feodal, yaitu kekaisaran China. Ketika Partai Nasionalis Cina (Kuomintang) yang dipimpin Sun Yat Sen melakukan revolusi nasional meruntuh feodalisme, Komunis Cina mendukung. Bahkan ketika kekaisaran runtuh dan muncul war lord-war lord di sebelah utara yang menolak pemerintahan nasional Kuomintang, PKC bersama Kuomintang mengadakan ekspedisi militer bersama ke utara.
Namun dalam perkembangannya, Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai sek, setelah Sun Yat Sen lengser, “menyembelih komunis” yang mengakibatkan PKC memutuskan long march. Revolusi demokratik masih belum selesai. Problem nasionalnya kini ada dua macam, yaitu kolonial, yaitu daerah yang diduduki Jepang dan semi kolonial , daerah yang diduduki Kuomintang, Kuomintang dipandang sebagai komprador dari Amerika dan kapitalisme birokratik. Problem semi feodal kini muncul dengan kehadiran tuan-tuan tanah yang bersekutu dengan Kuomintang.
Secara umum strategi PKC adalah: 1. Membangun partai yang marxis-leninis (pembholsevikan partai); 2. Front persatuan; 3. Perjuta (perjuangan bersenjata). Basis revolusi Cina adalah “revolusi akan meletus lewat pemberontakan petani dan letusan bedil”. atau “revolusi adalah Landreform plus tentara merah”.
Artinya disini Landreform dan gerakan petani menjadi basis dari revolusi demokratik di Cina. Akan tetapi hal ini juga mempunyai tahap. Semasa pendudukan Jepang, PKC melihat jika Cina hanya melakukan perang reguler, maka ia akan kalah, maka harus dirubah menjadi perang rakyat. Maka agar rakyat memberikan dukungan kepada negara, rakyat harus diberi kebebasan oleh negara. Disisi lain melihat kebutuhan atas front persatuan anti Jepang, maka progam Landreform baru sebatas penurunan harga sewa.
Akan tetapi pasca Perang Anti Jepang usai, gerakan petani diarahkan untuk “membalikan desa”. Pengadilan rakyat atas tuan tanah dan pembagian tanah tuan tanah yang dilakukan petani yang diorganisir oleh kader-kader komunis atau unit-unit gerilya TPR (tentara pembebasan rakyat). Untuk menghindari pembalasan dari tuan-tuan tanah dan tentara Kuomintang, petani membangun milisi yang semakin memperkuat posisi TPR

II. Fase Revolusi Sosialis

A. Jalan Kapitalis dalam Repelita I 1953-1957
1 Oktober 1949, diproklamirkanlah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sekarang lebih kita kenal dengan sebutan Republik Rakyat Cina (RRC), setelah sukses menumbangkan rezim Kuomintang dibawah pimpinan Chiang Kaisek. Di dalam menjalankan progam pembangunannya, PKC menempuh jalur Moskwa, namun di tahun 1958 orientasinya berubah haluan ke Maois.
Perebutan kekuasaan, mengakibatkan partai mesti berkonsentrasi penuh dalam tahap konsolidasi kekuasaan untuk membagi kader dalam penempatan pos, penyesuaian infra struktur dan sebagainya. Rumitnya tugas ini karena juga faktor pengalaman, meski PKC telah cukup tua dan punya banyak kader handal, tetapi pengalaman mereka dan infra strukturnya diperuntukan bagi perang, padahal kini mesti melakukan pembangunan. Rumitnya persoalan ini mengakibatkan progam pembangun baru terumuskan beberapa tahun kemudian.
Sebagai pertanda bahwa revolusi demokratik borjuis dianggap usai sehingga bisa masuk ke ke fase sosialisme, dalam rangka penuntasan perjuangan nasional anti imperialisme dan menumbang negara semi kolonial, dilangsungkan nasionalisasi industri dan perdagangan, sedangkan perjuangan demokratik melawan feodalisme dan setengah feodal penuntasannya dilakukan dengan Landreform sebagai langkah menuju kolektivisasi pertanian.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah Cina sudah bisa memasuki tahap sosialisme atau masih harus menuntaskan revolusi borjuisnya. PKC kemudian sesuai dengan pandangan Lenin tentang “masa transisi ke sosialisme yang panjang”, yang berarti belum masuk ke tahap sosialisme sehingga masih bisa melakukan modernisasi.
Model pembangunan bersandar pada: 1. Prinsip kepemilikan umum (public ownership); 2. Prinsip pelaksanaan terpusat (central planing); 3. Alokasi sumber daya ekonomi dalam artian perencanaan fisik dilakukan dengan mengalokasikan barang-barang dan faktor-faktor produksi tidak melalui mekanisme harga dan pasar tetapi melalui jalur adminitrasi dan sarana-sarana birokrasi (Bureucratic resoursce allocation).
Hal-hal tersebut di atas artinya bahwa: Pengambilan keputusan dalam ruang lingkup makro ekonomi yang menyangkut investasi, konsumsi dan pembentukan harga, perdagangan luar negeri dan alokasi input material dan penyediaan lapangan kerja ditentukan oleh negara; Negara membentuk satuan-satuan produksi yang mana dari sana negara memperoleh tabungan untuk investasi dan membiayai progam-progam pemerintah; Mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi melalui industrialisasi dengan titik berat pada pembangunan industri berat-dasar-besar; Pro tekhnologi tinggi; Dan sistem pemerintahan tekhnokrasi dan profesionalisme dalam birokrasi dan militer.
Perincian sasaran adalah: (1). Komitmen yang berlebih-lebihan untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi dari tahun ke tahun; (2). Konsentrasi yang khusus terhadap kemajuan industri; (3). Pola orientasi pada pembangunan industri berat dan pertumbuhan ekonomi; (4). Pencapaian tingkat tabungan dan investasi yang tinggi guna mencapai 3 tujuan pertama; (5). Industrialisasi harus dibayar sektor pertanian; (6). Transformasi kelembagaan sektor pertanian dan sektor ekonomi lainya; (7). Kecenderungan memihak (bias) kepada padat modal dalam pemilihan tekhnologi produksi di sektor industri
Di aras pelaksanaanya ditekankan pada: Pertanian kolektif; Industrialisasi; dan mendapat bantuan dari USSR (Uni Soviet Socialist Republik) atau Rusia/Russland untuk mengatasi kesulitan sumber modal dalam negeri (Resoursce Gap) dan sumber devisa (Foreign trade).
Faksi Soviet ini yang cukup terkenal adalah Teng Hsioping dan Lo Jui-Chi’ng Namun di tahun 1956-1957 jalur Soviet ini mulai mendapat tantangan dari Mao Tzetung (Mao Zedong).
Berikut ini kronologi pembangunan 6 tahun di sektor pertanian ketika Cina menikmati kekompakan para pemimpinnya. Untuk menunjang sistem pertanian kolektif, tanggal 30 Juni 1950, dikeluarkanlah Undang-undang Pembagian Sistem Kepemilikan Tanah (Landreform).
Setelah tanah dibagikan, tahun 195-1952 dibentuklah Hu-chu-tsu (koperasi sukarela) model kerjanya: Beroperasi dalam kelompok kecil 4 sampai 5 keluarga; Kerjasama dibidang pengumpulan tenaga; tanah, binatang, alat-alat milik perorangan. Dalam periode 1950-1952 anggota koperasi meningkat dari 10, 7 persen menjadi 40 persen
Tahun 1953 bentuk koperasi dirubah menjadi Agricultural Producers cooperative/APC (Nung-Ych Shen-Ch’an Lo-Tso She-Koperasi Produsen Pertanian). Model kerjanya: Tanah dimiliki kolektif; Pemilik tanah semula masih menerima deviden sebagai tambahan upah berdasarkan butir kerja (work points). Tahun 1956 koperasi model seperti ini baru disahkan. Sampai tahun 1953 jumlah anggota mencapai 15. 000 (1,2 persen dari jumlah keluarga) dan meningkat menjadi 633.000 (13, 5% dari jumlah keluarga) serta mepertahankan anggota 20-30 rumah tangga.
Bulan Januari 1956 model koperasi dirubah lagi menjadi Koperasi Produsen yang Lebih Maju (Kao-Chi/Advance APC`S). Koperasi ini disebut juga Koperasi Maju Tipe Sosialis Penuh. Model kerja: Progam pertanian 12 tahun; Kepemilikan bersama alat produksi; Keuntungan hanya dari penghasilan berdasarkan butir jam; Kerja meliputi subsidi air, perternakan, holtikultura, kebudayaan, dan pelayanan kesehatan; Membentuk brigade produksi (Sheng-Ch`an-Tu). Jumlah anggota meningkat menjadi 96%.
Pro dan kontra yang kemudian muncul adalah apakah anggota koperasi itu kecil atau besar, semisal anggotanya yang 171 rumah tangga diturunkan menjadi 100 rumah tangga saja, disisi lain APC`S memiliki sumber kelemahan dibidang: Akuntasi, manajemen dan tekhnik. Secara umum dari 1953-1956, meski terjadi gagalnya penen sehingga terjadi krisis pangan yang berdampak eksodusnya penduduk desa ke kota serta inflasi, tetapi secara umum menunjukan kemajuan. Produksi pertanian dan pedesaan naik antara 3,1%-7,7% atau rata-rata 4,8 persen pertahun. Perubahan struktur pemilihan tanah, kolektivisasi, koperasi bisa berjalan jauh lebih sedikit menimbulkan korban dan kemajuan dibanding Rusia. Dibidang industri lebih pesat lagi yaitu 18,7% pertahun.
Timpang kemajuan ini, lebih lambat dipertanian dan lebih maju di industri menjadi keprihatinan tersendiri, apalagi ketika juga muncul kelas-kelas baru, birokrasi adminitrasi pemerintah, birokrasi partai, profesionalisme tentara, manajer dan sebagainya. Namun ketimpangan ini bukannya tidak disadari dari awal, pemusatan industri di daerah tertentu dan kota tertentu, dengan sentralisasi pada penguasa dan tenaga tekhnik, pertanian yang tertinggal proses modernisasi melalui pasaran tenaga kerja di kota.
Melihat perkembangan Cina, Mao mulai bersuara. Mao merefleksikan Cina sebagai: Pertama, miskin, dan kedua, kosong (I-ch’ung-erh-pai). Pengertian kosong ini adalah bahwa gagasan pembangunan Cina itu belum ada, dan Mao menganjurkan agar mengisi konsep kosong ini tetap dalam prinsip: Mempertahankan independensi; Memegang prakarsa di tangan sendiri; dan meminimumkan gagasan-gagasan, pengaruh-pengaruh, dan asipirasi-aspirasi asing. Bagi Mao model Soviet tidak bisa dipakai karena tidak cocok dengan situasi Cina yang sebagian penduduknya petani di pedesaan dan tertinggal dalam pendidikan dan teknologi sedangkan model Soviet sudah terkait dengan tahapan pembangunan tertentu. Disisi lain marxisme-leninisme yang berlangsung di dunia lebih mencerminkan kepentingan nasional Rusia. Di aras ideologi, Rusia dituduh melakukan revisionisme atas marxisme, ini dibuktikan bahwa di Soviet justru muncul banyak kelas baru.
Menurut Mao, hubungan industri-pertanian dan industri berat-ringan mengandung kontradiksi walaupun bersifat non antagonis, tapi masalah ini harus diselesaikan. Untuk mengemukankan gagasan-gagasannya Mao kemudian menulis : “On the Ten Great Relationships” (“Tentang Sepuluh Hubungan Besar”) di tulis pada tanggal 25 April 1956, disini Mao menjelaskan bagaimana mengatasi hubungan kontradiksi antara industri besar (kota) dengan industri ringan dan pertanian (desa), antara kota dan desa. Menurut Mao kontradiksi antara industri besar dengan industri ringan dan pertanian dapat diatasi dengan membangun industri besar dalam rangka mendukung sektor pertanian dan industri ringan, kemudian investasi besar ke industri ringan dan pertanian agar modal lebih besar dari pada industri besar. Komune (Chengshe ho`I) adalah tawaran untuk mengatasi kontradiksi antara: Kota dan desa; Intelektual, buruh dan petani.
Mao memandang bahwa pembangunan sektor pertanian tidaklah mudah. Sekalipun telah ada kolektivisasi, produksi pertanian bisa saja gagal dan petanian tak kunjung maju. Sebab-sebabnya mungkin adalah beban pajak terlalu berat atau barang-barang pertanian lebih lambat naiknya dari pada harga-harga barang industri. Jika negara hendak mencari modal, maka jalannya adalah melalui pajak dan bukannya dengan memanipulasi mekanisme harga. Pedoman utamanya adalah bahwa nilai tukar (terms of trade) antara barang-barang pertanian dan industri harus mengikuti garis yang menuju pada pengurangan diferensial antara upah buruh industri dan petani. Karena itu harga barang-barang industri harus tetap stabil atau naik sedikit saja, sedangkan penjualan harus semakin besar. Sebaliknya, pendapatan petani harus tetap meningkat, kecuali pada masa paceklik atau bencana alam. Setiap kelalaian terhadap kesejahteraan petani akan menimbulkan kegagalan ekonomi kolektif.
Konsep tentang Komune, sudah dikenal semenjak muncul Komune Paris tahun 1871 dan Kommuna di Rusia pada tahun 1920, konsep ini pada intinya semua hak milik didistribusikan bersama berdasar kebutuhan anggotanya.
Di tulisannya yang lain, yang berjudul “On The Correct Handling of Contradiction among The People” (“Tentang Cara yang Benar Mengatasi Kontradiksi di Antara Rakyat Sendiri”) ditulis pada tanggal 27 Februari 1957, disini Mao menandaskan: “Bahwa dalam tahap sosialis-pun, masih akan ada kontradiksi, yaitu keyakinan revolusioner yang murni melawan kecenderungan-kecenderungan birokrasi, elitisme, revisionisme dan restorasi kapitalisme.”
Tahun 1957, Tian Chen Lin, seorang anggota Sekretariat Komite Sentral PKC, dalam sebuah konferensi kader mengatakan: “Metode adminitrasi dan sistem pengupahan APC telah kuno dan bentuk organisasi yang menyerupai komune sedang di coba. Mendengar itu Mao ketika melakukan inspeksi di pedesaan kemudian mengatakan: “Kalau begitu, maka lebih baik kita menyelenggarakan komune.

B. Masa Lompatan Jauh Kedepan.
Dengan diterimanya ide-ide Mao, maka Cina memasuki masa Great Leap Forward/Da Yue Jin (lompatan jauh/besar kedepan), yang progam-progamnya disebut General Line of Socialist Construction (Garis Besar Pembangunan Sosialis) yang pada intinya adalah strategi pembangunan yang berorientasi pada pemberantasan kemiskinan absolut dan kepincangan pendapatan dengan memusatkan perhatian pada usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat serta penciptaan kesempatan kerja penuh atas dasar prinsip berdikari; Menghilangkan kelas antara penindas dan yang dieksploitasi dengan melihat bahwa sistem penindasan ditentukan oleh mode produksi.
Gerakan dimulai dengan pemutusan hubungan dan penarikan bantuan ahli-ahli Soviet, L-vh’ung-erh-pai sebagai semboyan rakyat, penyatuan negara dengan komune. 29 Agustus 1959, Komite Sentral PKC mengeluarkan keputusan: “Resolusi Tentang Pembentukan Komune Rakyat di Daerah Pedesaan”.
Komune Rakyat berfungsi menggabungkan fungsi adminitrasi pemerintahan dan manajemen ekonomi. Kalau sebelumnya kekuasaan pemerintahan diwakili dalam Dewan Rakyat Kota dan ekonominya lewat koperasi produsen. Komune dipimpin oleh Komite Revolusioner yang dipilih oleh rakyat dan menjalankan kepemimpinan kolektif. Struktur dibawah Komune adalah Brigade Produksi kemudian Tim Produksi.
Komune dalam kinerjanya berfungsi pada pembangunan fisik, investasi lewat koperasi, mendirikan sekolah dasar dan menengah, rumah sakit, klinik, membayar dokter keliling, membentuk satuan milisi, lumbung, membikin senjata ringan dan lain-lain. Komune juga membantu perencanaan dan pengawasan implementasi atas Brigade dan Tim Produksi bahkan membantu memperbaiki adminitrasi dan pengelolaan keuangan, mengatur pembagian pendapatan masyarakat dan membagi pengalaman metode yang lebih maju. Di perdagangan Komune mencarikan kebutuhan-kebutuhan dari Brigade dan Tim Produksi, Komune juga membeli hasil-hasil produksi. Melihat itu maka Komune memegang prakarsa produksi, memberikan order-order dan mencukupi kebutuhan masyarakat serta pemerataan pendapatan.
Berdasarkan laporan FAO Pendapatan diatur lewat penghasilan 50/55 % sampai 60 % dari hasil kotor dikurangi ongkos, pajak dan dana khusus. 40-45% dari hasil kotor disisihkan untuk pajak 12 % (kalau produksi naik pajak bisa turun menjadi 4-5 %), ongkos produksi 25-30 %, ongkos manajemen dan adiminitrasi 5-10 %, dana umum untuk tabungan dan investasi 5-10 % dan dana kesejahteraan 2-3 %. Melihat itu maka pendapatan sesuai dengan yang disumbangkan dalam produksi dan upaya menjaga keberlangsungan dan pertumbuhan produksi lebih lanjut.
Brigade Produksi yang bekerja untuk sektor non pertanian atau sektor sekunder yang meliputi satuan-satuan industri sedang dan kecil untuk mengelola bahan-bahan pertanian atau konsumsi.
Tim Produksi yang merupakan wadah/sarana organisasi yang menghimpun tenaga kerja untuk mengolah tanah, penggunaan berbagai sumber daya dan membuat keputusan menyangkut produksi berdasarkan pedoman kerja. Tim produksi mengerjakan sektor primer seperti peternakan, perikanan, perkebunan dan sebagainya bersandar potensi lokal.
Selain ciri lokalitas, ciri yang lain adalah padat karya bukan padat modal. Jika surplus tenaga kerja disusutkan ke pembangunan sarana pertanian, maka kebutuhan rutin pertanian akibat sarana yang bertambah akan membutuhkan tenaga kerja, susutnya surplus tenaga kerja akan mendorong proses mekanisasi sederhana, jika kebutuhan konstruksi tercukupi demikian halnya dengan alat-alat pertanian maka penggunaan mesin akan terus bertambah, dan jika petani semakin makmur maka kebutuhan konsumsi akan meningkat, maka industri berat menemukan prospeknya. Disini terlihat operasi padat karya (bukan padat modal) adalah proses spiral dan juga terjadi pembentukan kapital bukan lewat penawaran tetapi permintaan.
Sebuah misi FAO menyatakan Komune telah berhasil menggerakan proses industrialisasi di pedesaan, menciptakan diversifikasi ekonomi, membuka kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan anggota.
Oposisi terhadap Mao tetap terus berjalan. Tahun 1959 keluar kertas oposisi dari anggota Politbiro PKC dan Menteri Pertahanan Peng Te-Huai bersama bekas Duta Besar untuk Soviet Chang Wen-Hien, tetapi ditolak oleh sidang pleno partai. Tahun 1962, Liu Shao-Chi, presiden RRC meminta agar partai meninjau kritik Peng, tetapi dalam sidang pleno partai, ide ini kalah.
Kegagalan panen pada tahun 1959, 1960, dan 1961 yang disebabkan banjir, kekeringan dan bencana alam merupakan pukulan berat bagi Lompatan Jauh Kedepan, dan sekaligus kesempatan para pengkritik Mao untuk bermanuver, tetapi sekarang tidak menggunakan tulisan tetapi langsung lewat praktek. Para oposan ini yang tetap menginginkan follow the Moskwa dari berbagai kalangan: Birokrasi partai (Liu Sho-Ch’I dan Teng Hsiao-P’ing; Militer (Lo Jui-Ch’ing); Tokoh partai di militer (Lin Piao); Birokrat partai di adminitrasi pemerintahan (P’eng Chen).
Menyikapi kegagalan Lompatan Jauh Kedepan, Sidang Pleno Komite Sentral PKC pada bulan Januari 1961mengeluarkan progam penghematan dan penyehatan, yang mana progam tersebut berjalan mulai tahun 1961-1965. Untuk itu progam indoktrinasi dikurangi, sedangkan pertanian, industri dan pendidikan ditingkatkan menggunakan lebih banyak waktu non politik.
Namun secara umum pertumbuhan ekonomi di Cina tetap tinggi bersandar standard internasional sekalipun. Dalam periode 1952-1966 atau 1952-1974 pertumbuhan naik berkisar 11, 12, dan 13 %, demikian juga disektor industri berat. Namun pertumbuhan ini juga masih menimbulkan elit baru, para manajer, peneliti dan ketika peranan tentara meningkat dalam berbagai perang memunculkan kelas profesional baru.
Di bidang ekonomi kelompok pro Soviet mempraktekkan pemikiran Prof Liberman (Libermanisme) yang mengembangkan pemikiran bahwa perusahaan negara ada kebebasan mencari keuntungan sendiri dan insentif material untuk menunjang efisiensi. Untuk itu di Cina berhembus Sazi Yibao yang menginginkan kelonggaran terhadap sistem kolektif dan pembukaan pasar. Hal ini ditempuh dengan : Perluasan lahan pertanian pribadi (private plot); pasar bebas antar komune dan pembukaan industri rumah tangga yang untung ruginya ditanggung sendiri: dan 4 kebebasan besar/Szu-ta-tzu-yu (praktek sistem kredit, memperkejakan buruh, menjual tanah, menyelenggarakan perusahaan pribadi). Sidang Pleno ke-10 Sentral Komite PKC, memunculkan ofensif politik baru untuk kritik terhadap progam Lompatan Jauh Kedepan bahkan terhadap kredibilitas Mao.
Untuk mengatasi kelompok pro soviet ini, Mao melancarkan Revolusi Kebudayaan Proletar yang Agung (Great Proletarian Cultural Revolution) yang didasarkan pada tulisan-tulisan Mao: “Ten Great Relationships”, “On The Correct Handling of Contradiction among The People”; Dan “High Tide of Socialism in the Chinese Country Side” (“Pasang Naik Sosialisme di Pedesaan Cina”).

C. Revolusi Kebudayaan 1966-1969
Dalam revolusi kebudayaan Mao meniupkan topan anti revisionisme (P’I-hsu cheng-feng) yang didukung 3 aliansi besar (buruh, kader-kader revolusioner, TPR/Tentara Pembebasan Rakyat.
Tujuan Revolusi Kebudayaan adalah untuk membentuk manusia Cina Baru. Bagi Mao, nilai-nilai sosialis bersifat universal, tetapi manusia memiliki potensi korup, egois dan rapuh. Maka moral sosialis harus ditumbuhkan, yaitu etika kerja keras, kehendak membangun, kolektivisme, dan tidak mementingkan diri sendiri. Selain itu, Bagi Mao penyelenggaraan kesejahteraan materiil harus seiring dengan pembangunan manusia. Maka pembangunan sebagai konsep kerja dan pendidikan, dimana manusia Cina selalu kreatif atas dasar egalitarian. Pembangunan tidak ada gunanya, kecuali setiap orang meningkat secara bersama dan tidak ada yang tertinggal secara ekonomi dan kultural.
Bagi Mao ideologi dan posisi intelektual sebagai basis dialektis sejarah, berarti intelektual dan etik signifikan dalam menentukan jalan sejarah. Maka transformasi masyarakat dapat dilakukan lewat studi (Hsuch-his), pembaruan pemikiran, pembentukan pribadi kembali, pendidikan lewat kerja manual dan moral etik serta etik sosial. Di bidang sosial-politik berarti revolusi permanen dan perjuangan kelas terus menerus.
Sasaran revolusi kebudayaan adalah manejemen industri dan sistem pendidikan. Dalam manajemen industri mengarah pada prinsip: (1). Liang-san (dua partisipasi): buruh berpartisipasi dalam adminitrasi dan kader-kader berpartisipasi dalam kerja buruh (manual labor); (2). I-kai: satu pembaharuan berarti partisipasi massa secara positif dalam produksi; (3). San-chieh-he: tiga kombinasi atau aliansi segitiga antara kader, pekerja dan tekhnisi guna mendukung adminitrasi pabrik.
Di bidang pendidikan adalah mengkombinasikan atau menserasikan perkembangan ekonomi dengan revolusi sosial dalam rangka menciptakan kondisi di mana mayoritas rakyat Cina, termasuk kelompok kultural tertindas, tidak lagi bergantung pada dan berada dalam kekuasaan elit teknokrasi yang mengabdi pada kepentingannya sendiri. Cara yang dilakukan: (1). Intensifikasi pendidikan ideologi agar siswa dan mahasiswa maju kesadaran politiknya; (2). Mengintegrasikan teori dan praktek dalam proses pendidikan agar proses pendidikan lebih responsif terhadap pendidikan kebutuhan langsung produksi di pedesaan; (3). Pendidikan untuk masyarakat desa.
Revolusi Kebudayaan menunjukan beberapa periode untuk menunjukan intensifikasi: (1). Dari tahun 1965-Juli 1966, terjadi perseteruan antara Mao dengan para pengkritiknya; (2). Juni-Juli 1966, massa mulai turun ke jalan untuk anti borjuis dan anti birokratik; (3). Agustus-November 1966, sekolah dan kampus tutup serta Garda Merah berkembang pesat; (4). Desember 66-September 1968, terjadi perebutan kekuasaan dari bawah (dilakukan oleh pemberontak revolusioner), revolusi merembet ke pedesaan. Perebutan ini berlanjut hingga TPR dan kader-kader menduduki posisi penting di komite-komite baru serta mahasiswa disuruh kembali belajar atau bekerja di pedalaman.
Praktis kubu Mao memenangkan perseteruan ini, tetapi ia tidak mau menghabisi kawan-kawannya yang dahulu, bagi dia semuanya pada dasarnya baik, tetapi perlu dilakukan pendidikan ulang.

D. Konsolidasi dan Hasil-hasil di Bidang Ekonomi
Dalam revolusi kebudayaan juga muncul kelompok tengah, semisal Chou En-Lai dan Hua Kua-Feng, yang pada tanggal 28 Februari 1978 dalam kongres Rakyat Nasional V, dalam pidato yang berjudul “Bersatu dan Berjuang untuk Membangun Negeri Sosialis dan Sentosa dan Modern” adalah cerminan kompromi dari dua kelompok yang berseteru.
Secara umum Cina telah berhasil melakukan pemerataan dan kesempatan kerja yang luas karena sasaran pembangunannya adalah lapisan ekonomi yang paling lemah. Pendapatan perkapita meningkat, ditahun 49 pendapatan 67 US dollar dan meningkat di tahun 1970 menjadi 146 US dollar. Industri meningkat secara dramatis, ekonomi terdiversifikasi dan dimodernisir. Pemerataan pendapatan dan menghapus jurang drastis antara kaya dan miskin.
Berbagai penelitian, yang dilakukan FAO di tahun 1975 untuk melihat komune dan adminitrasi desa, Dr Benedict Stavis ke mekanisasi pertanian, ataupun Dr. Dwight Perkins ke industrialisai di pedesaan semuanya menunjukan kesuksesan pembangunan di Cina. Wertheim yang meneliti di tahun 1970-1971 kagum atas kerja kolektif dari Komune, dan menyaksikan bagimana Brigade-brigade dan Tim-tim produksi yang lebih makmur membantu ke daerah yang lain tanpa imbalan.
Jika dibandingkan di negara-negara Barat, Cina mungkin miskin, tetapi Cina telah mampu mencukupi kebutuhan pokok rakyat.
Bahan Bacaan Anjuran atau Lanjutan
Belden Jack, China Shakes The Word, terjemahan Sumarto Djojodihardjo, Naga Merah, Lahirnja Sebuah Negara Republik Rakjat Jang Menggetarkan Dunia, N. V. Penerbitan W. Van Hoe, Bandung, 1952
M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik, Cetakan Kedua, LP3ES, Jakarta 1985
Tje-Tung, Mao, Pilihan Karja Djilid II, Edisi Pertama, Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1968
Townsend, James R, Sistem Politik China, dalam Mohtar Mas`oed dan Mac Andrews, Colin (ed), Perbandingan Sistem Politik, Cetakan ke empat belas, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1997
Umar Suryadi Bakri (ed), Pasca Deng Xiaping, Cina Qua Vadis ?, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996
Wertheim, W. F, De lange mars der emancipatie (Herziene druk van `evolutie en revolutie`), Uitgeverij en boekhandel Van Gennep bvm Nes 128, Amsterdam, 1976, Terjemahan Ira Iramanto, Gelombang Pasang Emansipasi, Garba Budaya, KITLV, ISAI, tt

assalamu`alaikum wr. wb

gunawan