Wednesday, December 06, 2006

Hak Legal Atas Land Reform: Kumpulan Berita


Politik & Hukum Jumat, 14 Juli 2006 Agraria
Tanah untuk Rakyat
B Josie Susilo Hardianto

Keterlaluan jika seekor tikus mati di lumbung padi yang penuh dengan gabah kering panen. Mati kekenyangan melahap gabah itu atau mati karena tidak mau memakan gabah tersebut. Kesimpulannya tetap sama, tak tahu diri. Kerakusan menyebabkan tikus itu mati, demikian juga kebodohan membuatnya binasa.

Meski nilainya lain, fakta kematian warga akibat busung lapar adalah peristiwa yang juga menyedihkan, memprihatinkan, dan menyakitkan.

Sebagai negara dengan tradisi agraris dan kelautan, justru para petani dan nelayan mereka hidup dalam impitan kemiskinan. Itu adalah fakta menyakitkan di negeri yang mengenal mitos Dewi Sri, personifikasi tanaman padi, simbolisasi kesejahteraan.
Subardi, petani asal Ciamis, Jawa Barat, dalam sebuah aksi di Bundaran Hotel Indonesia, Mei lalu, mengutarakan, banyak petani di desanya tidak lagi memiliki tanah. Mereka umumnya menjadi buruh tani.

Ketika panen mereka hanya memperoleh uang Rp 1.750 dari tiap kilogram gabah yang mereka jual. Padahal, pada saat yang sama, harga tiap kilogram pupuk urea telah mencapai Rp 2.000. Tidak mengherankan jika kemiskinan menjadi bagian hidup mereka dan persoalan kepemilikan tanah kembali menguat, gugatan petani tentang itu menjadi marak.

Apalagi ketika akses terhadap modal produksi itu makin menyempit. Satu peristiwa yang menarik perhatian adalah bentrok di antara petani Desa Tanak Awu, 30 kilometer arah timur Mataram, Lombok, minggu 18 September 2005.

Bentrokan itu menyebabkan 11 polisi dan 40 warga luka-luka. Tempat bentroknya adalah tempat pertemuan Serikat Tani sekaligus lokasi rencana pembangunan bandara internasional. Kontan insiden itu menarik perhatian.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria Usep Setiawan pada 26 September 2005 di Kompas menulis bahwa bentrok itu adalah kado pahit di hari tani yang setiap tahun diperingati pada 24 September. Ia mengemukakan, tragedi itu merupakan isyarat represifnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Penolakan atas perpres itu bermunculan karena dinilai tidak berpihak kepada petani. Alasannya, aturan itu tidak mengakomodasi kepentingan rakyat. DPR pun memberi rekomendasi agar perpres itu ditunda dan direvisi.

Lalu, muncullah Perpres No 65/2006 yang adalah revisi dari Perpres No 36/2005. Namun, bagi para petani dan pemerhati hak asasi manusia, revisi itu isinya setali tiga uang. Sebagaimana pendahulunya, Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tetap dianggap berpihak pada kepentingan kapital, khususnya dunia infrastruktur.

Koalisi lembaga swadaya masyarakat seperti YLBHI, PBHI, KPA, dan FSPI dengan tegas menolak perpres tersebut. Mereka, misalnya, menunjuk Pasal 13 dalam perpres itu sebagai salah satu contoh ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat, khususnya petani. Pasal itu hanya menyatakan, untuk pelepasan tanah, ganti rugi yang diberikan bisa berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, dan atau gabungan dari itu atau bentuk ganti kerugian lain.

Padahal, harusnya penggantian kerugian mestinya menjamin mereka yang dirugikan untuk tidak mengalami penurunan kualitas hidup. Ganti kerugian itu mestinya juga mempertimbangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pemerintah dianggap kurang peka terhadap tuntutan rakyat, khususnya petani, yang membutuhkan tanah. Koalisi LSM itu kemudian merujuk Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang dianggap lebih memberi tempat dan jaminan bagi petani.

Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengemukakan, dalam UU Pokok Agraria itu hak petani untuk memperoleh dan memiliki tanah dijamin. Ada konsolidasi tanah yang kemudian menjadi subyek reforma agraria.

Dalam Pasal 11, misalnya, disebutkan jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 13 juga disebutkan bahwa pemerintah berusaha agar usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat. Dalam ayat berikutnya bahkan pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi dan perorangan yang bersifat monopoli swasta.

Gunawan mengungkapkan, UU Pokok Agraria itu memang memberi jaminan kepada rakyat kecil kepemilikan tanah dan mencegah munculnya tuan tanah. Namun, kelemahan dari UU Pokok Agraria adalah idiom- idiom sosialisme Indonesia yang tentu saja tidak lagi laku untuk saat ini. Namun, aturan itu, dalam banyak hal, tetap cocok untuk saat ini karena mampu meredam munculnya konflik agraria dan dapat menjadi dasar bagi strategi pembangunan ekonomi yang lebih luas.

Usep Setiawan mengatakan, Perpres Nomor 65/2006 jelas-jelas menjadi karpet merah bagi investor. Infrastructure Summit yang bakal diselenggarakan Oktober mendatang menjadi titik yang memang dituju pemerintah.

Hal senada dikatakan Henry Saragih dari Federasi Serikat Petani Indonesia. Perpres Nomor 65/2006 dilihat dalam posisi yang lebih memihak pemilik modal. Kebijakan itu dilihat sebagai komitmen pemerintah yang berencana menggelar Infrastructure Summit II. Pertemuan yang akan diikuti investor di bidang infrastruktur itu mengingatkan kembali Infrastructure Summit I, Januari 2005, saat pemerintah menjanjikan berbagai kebijakan yang mempermudah masuknya investasi ke Indonesia.
Saragih mengemukakan, dari Pasal 5 Perpres Nomor 65/2006 itu tampak bahwa semua proyek yang disebutkan dalam pasal itu adalah proyek-proyek dalam bidang infrastruktur.
Para aktivis itu mengaku tidak anti terhadap pembangunan, tetapi pembangunan tidak boleh begitu saja mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Patra Zen dari YLBHI mengatakan, pemindahan warga haruslah membuat warga itu menjadi lebih sejahtera. "Penggusuran atau pemindahan rakyat tak boleh menyebabkan mereka dipisah dari akses terhadap mata pencarian mereka. Pemindahan tidak boleh membuat mereka lebih menderita," katanya.

Tanah yang adalah modal dasar bagi rakyat menjadi makin penting, apalagi saat ini Indonesia tak mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan nasional. Tidak hanya itu. Pada sektor perkebunan pun petani Indonesia tertinggal dari Vietnam.

Keberpihakan kepada rakyat juga menjadi perhatian anggota Komisi II DPR, M Nazir Djamil (Fraksi PKS, NAD I). Ia mengatakan, umumnya apa yang disebut dengan pembangunan untuk kepentingan umum tetap berkorelasi dekat dengan kepentingan kapital.

Oleh karena itu, Djamil meminta agar peraturan tentang pertanahan dapat mengakomodasi itu. Mengutip keterangan Kepala BPN Joyo Winoto, Nazir Djamil mengatakan, revisi Perpres Nomor 65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum harus lebih baik dari perpres sebelumnya.

Dalam pertemuan antara Komisi II dan BPN, Januari lalu, disebutkan, revisi terbatas yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjamin kepastian hukum dan hak rakyat atas tanah, tersedianya tanah bagi kepentingan umum, serta terhindarnya warga dari spekulan tanah.

Namun, menurut Nazir, yang jauh lebih penting adalah pembangunan yang dilakukan itu harus sesuai dengan tata ruang wilayah. Selama ini masyarakat tak tahu tata ruang wilayahnya. Padahal, harusnya rakyat bukan cuma tahu tentang tata ruang wilayah, tetapi juga terlibat saat penyusunannya sehingga rakyat tidak selalu dirugikan.

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS


Politik & Hukum Kamis, 03 Agustus 2006 Kemiskinan
Memanggil Kembali Tindakan Negara
B Josie Susilo Hardianto

Dua lembar uang seribuan itu terus dibalik-baliknya. Uang yang sudah lusuh itu menjadi makin lusuh. Meskipun menceritakan kisahnya dengan senyum, Yuli tetap saja tidak mampu menyembunyikan galaunya.

Yuli adalah pemulung yang kemudian membuka warung rokok. Ia tinggal di tanah milik PJKA di kawasan Kebon Melati sejak tahun 1981. Ia tak memiliki surat-surat apa pun sebagai bukti ia sah secara hukum tinggal di kawasan itu.

Saat ditemui Kompas, ia menceriterakan cucunya yang terpaksa pulang sekolah tanpa alas kaki. Sepatunya disita karena warnanya tidak sesuai dengan peraturan sekolah. "Mestinya sepatu berwarna hitam, tetapi sepatu yang saya belikan memang hitam, tetapi ada garis-garisnya berwarna putih," tutur Yuli.

Sambil melayani beberapa pembeli yang datang, ia menceritakan perihal cucu sulungnya yang lulus SMEA, yang hingga saat ini belum memperoleh pekerjaan. "Sempat juga bekerja kontrak di restoran Jepang, tetapi sekarang sudah keluar dan belum ada pekerjaan lagi," ungkap Yuli.

Tentu peristiwa itu merisaukan hatinya. Dengan untung sekitar Rp 25.000 per hari, Yuli harus ikut membiayai kehidupan dan sekolah cucunya. Tiga anaknya hanyalah pekerja kecil dengan gaji harian yang tentu sedikit jumlahnya. "Padahal, biaya sekolah sekarang ini mahal. Memang yang SMP mulai gratis, tetapi harga buku dan yang lain-lain kan makin mahal," tuturnya.

Beberapa waktu lalu pihak Kecamatan Tanah Abang sudah menanyakan status warung tempel yang dikelolanya. Lalu, rumah kardus yang kini telah dibangunnya menjadi lebih permanen bakal tergusur karena menempati tanah milik PJKA yang berencana akan membuat jalur lintasan baru.

"Memang sejak saya tinggal di Kebon Melati tahun 1981 hingga sekarang saya tidak punya surat. Sama seperti milik bos saya yang juga tidak ada suratnya," tutur Yuli.

Jika ada persoalan dengan aparat, tutur Yuli, entah dari kecamatan atau dari instansi lain yang mempertanyakan tentang status tanah atau yang lainnya, bos penerima barang bekas itulah yang akan menangani. Persoalan seperti itu seolah sudah hal lumrah bagi warga miskin.

Seolah memang seperti itulah mereka harus hidup. Sejak suaminya meninggal karena penyakit paru-paru tahun 1981, Yuli harus menjadi pemulung untuk menghidupi tiga anaknya. Sehari-hari mereka harus tinggal berpindah-pindah dari satu proyek ke proyek lainnya. Kembali ke Purworejo bukanlah pilihan, sebab tidak ada lagi sawah yang terpaksa dijual untuk mengobati sang suami.
Saat ini, ketika ia sudah tidak lagi menjadi pemulung, ternyata hidup pun tidak menjadi lebih mudah. Yuli bersyukur.

Baginya, itu jauh lebih baik daripada dua keluarga yang tinggal di seberang warungnya. Dua keluarga itu tinggal di gubuk tripleks di bawah saluran pipa yang melintas di atas kali Pejompongan. Untuk menghidupi diri, keluarga itu menjaring botol bekas air mineral yang terbawa aliran sungai.

Melihat mereka memandikan anak-anak mereka dengan air sungai Pejompongan yang keruh dan berbau busuk itu dan kemudian membiarkan anak kecil itu mengemis di perempatan di depan kompleks Pemakaman Karet, Pejompongan sebenarnya bukanlah hal yang benar. Namun, jika tidak demikian, siapa yang akan menghidupi mereka.

Memprihatinkan! Bagi mereka, standar jaminan hidup yang sepantasnya tidak pernah dinikmati. Tidak ada tempat tinggal, tanah produksi, air bersih, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.

Ironis

Kondisi hidup yang dialami Yuli dan kedua tetangganya itu, juga sebagian warga Indonesia lain, menjadi sebuah ironi. Ironi, di satu sisi Indonesia adalah anggota Dewan Hak Asasi Manusia di PBB dan juga turut meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, namun di sisi lain sebagian warganya tidak memperoleh jaminan hidup dasar yang memadai.

Busung lapar, penggusuran, pengangguran, putus sekolah, hancurnya ekosistem, lemahnya daya saing petani, dan makin terbatasnya akses mereka terhadap tanah seolah menjadi titik penegas persoalan bahwa pemenuhan hak dasar manusia di Indonesia lemah.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia dalam kertas posisinya menyebutkan, kemiskinan yang melilit sebagian besar penduduk Indonesia sebenarnya semakin mempertinggi tingkat kerentanan dari berbagai ancaman bahaya. Upaya mempertahankan hidup tanpa difasilitasi negara memaksa masyarakat memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya.

Di banyak tempat, posisi seperti itu di kemudian hari memunculkan konflik yang menempatkan rakyat berhadap-hadapan dengan negara. Fakta penggusuran, misalnya, memosisikan warga yang menempati bantaran sungai, tanah negara, atau kawasan kosong di sisi kiri dan kanan jalur lintasan kereta api, bahkan di lembah perbukitan dan hutan, pada posisi lemah ketika berhadapan dengan negara.

Padahal, kehadiran mereka di kawasan itu menjadi bentuk lain lemahnya negara dalam mengelola kawasan. Dalam wilayah legal formal pun ternyata pemerintah dilihat kurang berpihak pada masyarakat. Salah satunya adalah program dari Bank Dunia, seperti Water Resources Sector Adjusment Loan, yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Privatisasi sumber daya air menyebabkan rakyat tidak dengan mudah memperoleh air. Air bersih di perkotaan harus dibeli dengan harga yang cukup mahal, namun sering kali tidak dibarengi dengan ketersediaan yang memadai.

Bagi rakyat kecil seperti Yuli, air akhirnya menjadi sesuatu yang sungguh mahal. Buktinya, untuk mandi saja mereka harus sudi membersihkan tubuh mereka dengan air yang tidak bersih. Ironis.

Hak atas pangan

Selain itu, posisi tempat mereka tinggal, di bantaran sungai, adalah posisi yang rentan. Dari sisi mana pun posisi mereka lemah, tetapi mereka tidak memiliki lahan untuk berusaha. Padahal, salah satu kunci terpenuhinya hak atas pangan adalah akses terhadap tanah produksi.

Posisi warga, seperti Yuli, pasti akan sangat lemah karena ia tidak memiliki bukti legal apa pun atas tanah yang ditempatinya. Ia menempati tanah milik PJKA. Berhadapan dengan persoalan seperti itu, Yuli tidak memiliki kekuatan apa pun kecuali sikap baik dari majikannya yang mungkin akan bermain mata dengan aparat agar rumah Yuli tidak digusur.

Seperti yang ia lakukan saat ini. Ia memang akan bertahan, namun itu tidak akan memberi jaminan mencukupi bagi anak-anaknya kelak. Gunawan dari PBHI mengungkapkan, General Comment 12 yang merupakan interpretasi otoritatif Komite Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengenai hak atas pangan menyatakan secara jelas bahwa hak atas pangan memerlukan akses fisik dan ekonomi atas sumber daya.

Dengan argumentasi seperti itu, Gunawan mengatakan, akses atas pangan mengandaikan juga akses atas pendapatan, seperti akses atas sumber daya produktif, yaitu tanah. Namun, ketidakmampuan pemerintah mengelola tata ruang wilayah dan jaminan pada akses sumber daya produksi membuat akses yang tadi disebutkan makin lemah.

Gunawan melihat posisi Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 sebenarnya memberi jaminan akses rakyat pada tanah. Setiap rakyat dalam undang-undang itu memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta manfaatnya.

Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Herry Priyono, mengatakan, ada paradoks dalam perjuangan hak asasi manusia. Dalam perjuangan hak sipil dan politik negara sedapat mungkin tidak campur tangan. Namun, dalam perjuangan hak ekonomi sosial dan budaya, peran negara justru dibutuhkan. "Ini adalah masalah sentral dan mendasar," tutur Herry.

Dalam tataran empiris, tutur Herry, sebenarnya pemenuhan sandang, papan, dan pangan ada di dalam wilayah kekuasaan negara. Namun, nyatanya sandang, papan, dan pangan masuk dalam hukum pasar. Neoliberalisme bahkan coba menyingkirkan peran negara dari pemenuhan sandang, papan, dan pangan itu dan betul-betul menyerahkannya pada pasar. Akibatnya, kontrol pemerintah menjadi lemah karena semua tergantung pada kinerja pasar bebas.

Untuk mengembalikan kemampuan negara tentu jalan yang dapat ditempuh adalah meningkatkan kemampuan keuangan negara. Konsekuensi dari pilihan itu adalah pajak menjadi tinggi. Ini pilihan buruk.

Menurut Herry, langkah yang lebih baik adalah mendorong munculnya cooperation social responsibility. Harus diakui bahwa negara tidak ada pada posisi kontrol yang kuat atas kinerja pasar. Namun, negara dengan kewenangan regulasinya dapat mendorong kalangan bisnis dan kekuatan masyarakat madani untuk meningkatkan jaminan atas hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Posisi seperti ini adalah posisi di mana negara dipanggil kembali untuk bertindak. Menggunakan kewenangan dan kemampuan mereka ketika banyak persoalan justru ada di luar kemampuan negara.

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Politik & Hukum
Senin, 30 Oktober 2006

Redistribusi Lahan agar Dilakukan di Jawa

Jakarta, Kompas - Aktivis pembela hak asasi manusia dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Gunawan, mengutarakan, jika pemerintah hendak melakukan redistribusi lahan, hal itu sebaiknya dilakukan di Jawa.

Menjadi tidak efektif jika obyek pembagian lahan itu ada di luar Jawa. Alasannya, tutur Gunawan, sebagian besar petani miskin dan buruh tani berada di Jawa.

Selain itu, tutur Gunawan saat dihubungi Minggu (29/10), gagasan pemerintah untuk menggelar infrastucture summit November mendatang juga tidak banyak membantu dalam proses penguatan kedaulatan pangan.

Selain tidak menjamin mendatangkan investasi, munculnya investasi di bidang infrastruktur justru memunculkan konflik. ”Infrastucture summit sebelumnya memunculkan investasi pada sektor air, namun swastanisasi itu tidak menjamin pasokan air bersih lancar bahkan harga air menjadi makin mahal,” ungkap Gunawan. (JOS)

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS


Senin, 18 Desember 2006
Pertanahan
Pembaruan Agraria Tak Hanya Membagi Tanah

Jakarta, Kompas - Pembaruan agraria tak sekadar membagi-bagi tanah. Pembaruan agraria yang bertujuan untuk memperkuat dan menyejahterakan rakyat itu mensyaratkan kemudahan bagi petani untuk mengakses kredit dari bank, informasi, teknologi, dan pasar.
Hal itu dikatakan Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Jumat (15/12) di Jakarta. Selama ini, menurut Gunawan, karena kemampuannya yang terbatas, petani sulit memperoleh kredit dari bank. Kondisi itu justru dimanfaatkan rentenir yang lebih banyak menyengsarakan petani daripada membantu mereka. Tidak hanya itu, sering kali petani terjerat perangkap tengkulak sehingga mereka tidak mampu meningkatkan kemampuan modal yang berdampak pada kinerja sektor pertanian di Indonesia.

Untuk itu, kata Gunawan, pembaruan agraria yang diawali dengan pembagian tanah juga harus disertai dengan kemudahan bagi petani untuk mengakses modal pendukung pada sektor tersebut. Kemudahan itu dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan kinerja petani.

Kelengkapan dan kemudahan akses terhadap modal, menurut Gunawan, akan memberi dampak pada kinerja dan produksi petani. Apalagi dalam konteks ketahanan pangan, yang diukur bukan hanya jumlah ketersediaan beras. "Tetapi juga kemampuan petani menghidupi dirinya sendiri. Sebab, keuntungan yang dinikmati petani akan berdampak lanjut pada semua warga masyarakat," tutur Gunawan.

Belajar mandiri

Dihubungi terpisah, aktivis petani dari Organisasi Tani Jawa Tengah, Wahyudi, membenarkan hal itu. Ia mencontohkan, saat ini untuk menyiasati mahalnya harga pupuk, sebagian petani di Batang, Jawa Tengah, bereksperimen membuat pupuk organik sendiri.
Bahkan, mereka mengumpulkan uang untuk menguji kandungan pupuk organik yang mereka buat. Mereka pun mendapat bantuan tenaga dari Pemerintah Daerah Kendal, Jawa Tengah.

Langkah tersebut diambil, tutur Wahyudi, ketika petani sulit memperoleh kredit dari bank. "Umumnya, petani di desa hanya memiliki lahan kecil. Dengan kondisi seperti itu, bank tidak berani memberi modal yang cukup besar. Akibatnya, petani tidak mampu mengelola lahannya," kata Wahyudi.

Dengan membuat pupuk organik sendiri, petani dapat menghemat sebagian modal mereka sehingga kinerja mereka dapat diintensifkan. Bahkan, mereka pun berupaya memproduksi bibit sendiri sehingga pengeluaran dapat semakin ditekan. (JOS)


Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Pembagian Lahan agar Hati-hati, Ada yang Dijual atau Digadaikan

Jakarta, Kompas - Pembagian 8,15 juta hektar lahan kepada masyarakat miskin dan pengusaha dengan ketentuan terbatas yang merupakan bagian dari reformasi agraria harus diiringi dengan pemberdayaan penerimanya. Hal itu perlu agar program dapat berfungsi maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan penerima.

"Redistribusi 1,15 juta hektar tanah beberapa waktu lalu ternyata tidak semuanya dapat menyejahterakan rakyat miskin penerimanya. Sebab, sebagian tanah ada yang dijual, digadaikan, atau diijonkan penerimanya," kata Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto dalam dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Jakarta, Senin (29/1).

Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.

Dalam kesimpulannya, Komisi II yang dipimpin ketuanya EE Mangindaan meminta adanya perencanaan matang dalam pembagian lahan tersebut. Program ini diharapkan juga benar-benar untuk rakyat, bukan bagian dari propaganda pemerintah.

Joyo menuturkan, BPN sedang menyusun cara pembagian tanah berikut kemungkinan program pemberdayaan masyarakat untuk mengiringinya. Dengan demikian, diharapkan program ini dapat efektif mengatasi ketimpangan pemilikan tanah dan mengentaskan kemiskinan.

Pembagian lahan itu, lanjut Joyo, diharapkan dapat menyelesaikan sejumlah kasus sengketa pertanahan yang sekarang mencapai 1.800 kasus. Sengketa yang umumnya terjadi sejak tahun 1970-1980 ini, sebagian disebabkan adanya surat tanah palsu seperti girik.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Usep Setiawan menuturkan, pemberdayaan masyarakat untuk mengiringi pembagian lahan itu dapat dilakukan lewat serikat atau organisasi petani. Namun, organisasi itu harus dibentuk dari bawah, seperti Serikat Petani Pasundan di Priangan Timur (Jawa Barat), Organisasi Tani Jawa Tengah di Jawa Tengah, dan Ikatan Petani Lampung di Lampung.

Keberadaan organisasi petani ini, lanjut Usep, tidak hanya akan mengontrol penggunaan lahan yang dibagikan petani, tetapi juga berbagai aktivitas lain, seperti pembuatan koperasi atau tempat pendidikan untuk petani

Kepala Divisi Kajian dan Kampanye, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Gunawan mengatakan, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan
dalam menyelesaikan sengketa tanah dapat menghambat program pembaruan agraria yang akan dilaksanakan pemerintah. (mzw/nwo)

Senin, 11 Juni 2007
Agraria

Pembaruan Agraria Harus Selesaikan Konflik Pertanahan

Jakarta, Kompas - Program Pembaruan Agraria Nasional atau PPAN yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2006 harus segera dilaksanakan sebagai bagian dari penyelesaian atas berbagai konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi. Semakin lama program itu ditunda pelaksanaannya, akan semakin banyak konflik pertanahan yang terjadi.

Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Gunawan di Jakarta, Jumat (8/6), mendesak pemerintah untuk segera melaksanakan tahap-tahap pelaksanaan program pembaruan agraria. Tahap awal yang dapat dilakukan pemerintah adalah pendataan administratif seluruh tanah yang ada di Indonesia dan membuat rencana umum peruntukan tanah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Bersamaan dengan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) perlu mengambil langkah terobosan untuk menghentikan konflik pertanahan yang terjadi. Langkah yang dapat diambil adalah menghentikan segala bentuk penggusuran dalam sengketa pertanahan dan mencegah pengkriminalisasian warga yang menuntut hak atas tanah.

"Dengan demikian PPAN tidak hanya sekadar distribusi tanah, tetapi juga penyelesaian atas berbagai konflik pertanahan yang terjadi," kata Gunawan.

Secara terpisah, Kepala Program Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor Satyawan Sunito mengatakan, presiden harus tegas dalam melaksanakan PPAN. Sosialisasi pelaksanaan program tersebut harus dilakukan secara intensif kepada masyarakat dan juga pengusaha yang akan terkena dampak langsung dari program itu. (MZW)

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Rabu, 13 Juni 2007
Pertanahan
Pemerintah Didesak Selesaikan Konflik Agraria

Jakarta, Kompas - Untuk mengantisipasi munculnya pertikaian antara warga dan negara dalam persoalan lahan, pemerintah didesak menyelesaikan berbagai konflik agraria yang masih ada. Langkah itu dinilai tepat untuk menghindari meluasnya konflik agraria yang selalu menempatkan rakyat sebagai korban.

Proses sengketa sering kali menempatkan rakyat sebagai kriminal karena tuntutan mereka atas lahan yang tengah disengketakan. Persoalan itu bahkan kerap berbuntut pada kematian, seperti yang terjadi di Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan, Jawa Timur.

Deputi Pengkajian Kebijakan dan Kampanye Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Achmad Ya’kub dalam sebuah pertemuan yang digelar hari Selasa (12/6) di Jakarta mengatakan, setidaknya ada 2.810 data tentang konflik agraria tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Konflik itu hingga saat ini, tutur Achmad, belum diselesaikan.

Menurut Achmad, jika konflik itu tidak segera diselesaikan, reforma agraria yang tengah digagas pemerintah tidak akan membuahkan hasil optimal. Dalam proses itu, seharusnya, justru penyelesaian konflik agraria merupakan prioritas sehingga warga memperoleh kepastian atas lahan yang telah mereka kelola.

Dalam kesempatan itu hadir Rohman, Suhaya, dan Suhaimin, tiga wakil warga Kampung Legon Pakis, Desa Ujung Jaya, Serang, Banten. Desa mereka berada di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Saat ini mereka bersengketa dengan pihak Taman Nasional Ujung Kulon. Mereka enggan dipindahkan ke Kampung Pamatang Laja karena di tempat itu tidak ada lahan persawahan. Suhaya menceritakan, akibat penolakan itu, warga merasa diteror. "Sekolah ditutup, listrik swadaya juga tidak diperbolehkan," tutur Suhaya.

Mereka sering dituduh merambah hutan jika diketahui masuk ke kawasan hutan. Bahkan, pada November lalu, seorang warga Kampung Cikawung Girang, Desa Ujung Jaya, Komar (48), ditemukan tewas karena ditembak karena dituduh mencuri kayu. "Namun, saat jenazahnya ditemukan, polisi tidak menemukan kapak atau gergaji. Bahkan dalam radius satu kilometer tidak ditemukan ada pohon yang ditebang," ungkap Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia. (JOS)

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Ketahanan Pangan Butuh Kebijakan Berbasis Petani
Tanggal: 19 Oct 2007
Sumber: Kompas

Prakarsa Rakyat,

Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah untuk membagikan lahan bagi petani akan menjadi optimal jika dibarengi dengan kebijakan lain yang juga melindungi petani. Kebijakan itu, antara lain, kemudahan memperoleh kredit, pengembangan infrastruktur pertanian di pedesaan, perlindungan pasar bagi petani, serta pembatasan pada pengembangan perkebunan dan pertambangan besar.

Selain itu, rencana pembagian lahan satu juta hektar bagi petani juga dilakukan dengan orientasi yang jelas agar tidak jatuh pada politisasi. "Strateginya adalah tak menempatkan reforma agraria sebagai reforma agraria saja," kata komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Johny Nelson Simanjuntak, Rabu (17/10) di Jakarta.

Petani, tutur Johny, seharusnya diberi kemudahan untuk mengakses kredit, infrastruktur, dan pasar.

Tak hanya itu, menurut Manajer Program Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Gunawan, kebijakan itu juga harus didukung dengan kebijakan untuk tidak dengan mudah membuka impor beras dan penggunaan benih transgenik.

Menurut Gunawan, liberalisasi pangan hanya akan menguntungkan investor di bidang pertanian. Mereka cenderung untuk mengejar hasil saja.

"Proses produksi dipercepat dari enam bulan menjadi tiga bulan. Jagung yang semula hanya satu tongkol per batang menjadi tiga tongkol per batang. Untuk itu, diperlukan pupuk buatan yang ujungnya menyebabkan tanah tak lagi mudah dikelola dengan pupuk organik," tuturnya.
Akibatnya, ketergantungan petani pada benih transgenik dan pupuk industri makin tinggi. Bagi Gunawan, pemenuhan pangan tidak bisa dilakukan dengan membuat kebijakan instan seperti itu. Di sisi lain, kebijakan yang lebih berpihak pada optimalisasi kemandirian petani cenderung diabaikan.

Petani mengontrol

Pemerintah, lanjutnya, harus mulai mengubah cara pandang dari pertanian intensif menjadi pertanian yang berbasis pada keluarga. Sebagaimana dikemukakan Johny, praksis dari kebijakan itu juga sampai pada perlindungan pasar bagi petani.

"Tidak bisa begitu saja diserahkan kepada mekanisme pasar, apalagi ini terkait dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat yang prinsipnya justru mengundang keterlibatan pemerintah," ingat Gunawan.

Hanya dengan upaya yang komprehensif seperti itu, ketahanan dan kedaulatan pangan dapat diraih karena petani dilibatkan mulai dari proses tanam hingga distribusi hasil pertanian mereka. (jos)

Monday, December 04, 2006




BERDISKUSI TENTANG HEGEMONI
Gunawan

A. Pengantar

"Tanpa Teori Revolusi Tidak Akan Pernah Ada Gerakan Revolusi"
(Vladimir Illich Ulyanof "Lenin")

SALAH SATU teori politik dari kalangan marxis yang populer dan dijadikan rujukan bagi kaum marxian ataupun bukan, adalah teori tentang hegemoni. Adapun signifikansi teori hegemoni bagi bagi studi hubungan internasional, lebih dikarenakan berbagai aspek peristiwa dan agenda perubahan dalam konteks internasional maupun nation-state adalah akibat dari atau tidak bisa dilepaskan dari dominasi dan hegemoni Kapitalisme Internasional.

Wacana tentang kolonialisme dan dekolonialisme, Marshal Plann dan Developmentalisme, Dependencia dan Imperialisme, kemudian agenda Neo-Liberal tentang pasar global adalah sekian dari contoh yang bisa dibedah melalui teori hegemoni.

B. Sejarah Munculnya Teori Hegemoni

LATAR BELAKANG politik, gagasan hegemoni tersebut adalah pengalaman Gramsci sendiri. Fokus perhatian Gramsci pada hal tersebut muncul dari situasi politik ketika ia hidup dan menjadi pemimpin intelektual dari gerakan massa proletar - di Turin - selama Perang Dunia Pertama dan masa sesudah itu. Italia, menjelang perang usai merupakan sebuah pemandangan penting dari pertarungan politik partai, baik Kiri maupun Kanan. Sebuah pertarungan yang dengan cepat membuahkan kemenangan kepada fasisme pada 1922 dan melenyapkannya hak-hak politik. Sebagai anggota kunci dari Partai Sosialis Italia dan kemudian Partai Komunis Italia (PCI), Gramsci melihat kegagalan gerakan massa buruh revolusioner dan bangkitnya fasisme reaksioner didukung oleh massa kelas pekerja[1]. Kalangan neo-marxisme lainnya dari Mazhab Frankfurt, Theodor Adorno juga menelanjangi Fasisme sebagai puncak dari sisi negatif Kapitalisme[2].

Hal itulah yang memberikan pertanyaan-pertanyaan bagi Antonio Gramsci, seperti mengapa Kapitalisme bisa bertahan di Eropa Barat padahal melewati momen krisis - dan telah diramal oleh Marx akan mengalami pembusukan - serta diterima oleh massa pekerja, bahkan ketika berujud sebagai Fasisme seperti yang terjadi di Italia. Kaum proletariat Italia tidak seperti kaum Bolshevix di Uni Soviet.

C. Mengenal Antonio Gramsci

ANTONIO GRAMSCI adalah ketua dari Partito Comunista Italiano (PCI) di tahun 1924. Pada tanggal 8 November 1924 ia ditangkap dan meninggal sebagai tahanan 27 April 1937. Dalam penjara inilah Gramsci melakukan banyak penulisan termasuk tentang hegemoni, tulisan tersebut sepeninggal Gramsci berhasil di selendupkan keluar oleh sahabat Gramsci, Tatiana. Tulisan tersebut kemudian di kenal sebagai Quqreni del Carcere atau Selection from The Prison Notebooks.

Ketertarikan Gramsci terhadap aktivitas revolusioner dimulai semenjak ia kuliah di Universitas Turin dengan beasiswa yang didapatkannya pada tahun 1911. Maka kemudian di tahun 1913 Gramsci bergabung dengan Partito Socialista Italino (PSI) dan di tahun 1914 diberi tugas menjadi editor pada koran mingguan partai, Il Grido del Polopo (Jerit Tangis Rakyat). Kemudian bersama kawan-kawan mudanya Gramsci mendirikan koran mingguan Ordine Nuovo pada bulan Mei 1919.

Ketika terjadi perpecahan di tubuh PSI dan lahirlah PCI ditahun 1921, Gramsci bergabung dengan PCI dan sepanjang tahun 1922-1923 menjadi agen komintern. Sepulangnya ia ke Italia, Gramsci melakukan kritik terhadap PCI yang dinilainya sektarian dan Gramsci mulai menggeser pengaruh sayap kiri dalam tubuh PCI yang dipimpin ketuanya Bukharin, bahkan kemudian Gramsci mengganti kedudukan Bukharin sebagai pemimpin PCI.

Gramsci lahir 22 Januari 1891 di Ales, Sardinia, Italia. Kemiskinan, penyakit dan pertumbuhan badan yang tidak normal dan dibawa selama akhir hayatnya pernah mengakibatkannya menjadi introvet.

D. Konsep Hegemoni Gramsci

Hegemoni, bagi Gramsci, akan menjelaskan mengapa suatu kelompok atau kelas secara sukarela atau dengan konsensus mau menundukkan diri pada kelompok atau kelas yang lain Teori hegemoni Gramci adalah salah sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dibangun diatas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan "hegemoni" atau menguasi dengan "kepemimpinan moral dan intelektual" secara konsensual[3].

Gramsci membagi keberadaan hegemoni dalam dua wilayah super struktur, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik atau negara. Dalam kamus marxis ortodox bahwa basic struktur pasti akan mempengarui super struktur. Inilah yang kemudian ditolak Gramsci, Gramsci melihat arti penting "ruh" dan "ide" seperti halnya dalam filsafat Hegel dalam mempengaruhi kesadaran manusia dalam wilayah super struktur yang ternyata mampu mempertahankan bentuk basic struktur.

Kapitalisme dapat bertahan karena kaum borjuis mampu membangun dan mempertahankan hegemoninya terhadap kelas pekerja, sedangkan kaum intelektual proletariat (partai, fungsi partai adalah mengintegralkan intelektual secara massal) yang memiliki wilayah hegemoni bagi kelas pekerja ternyata gagal menggerakan kelas pekerja untuk melakukan perjuangan kelas dan revolusi akibat direduksinya pemikiran Karl Marx menjadi bentuk Darwinisme dan Determinisme, yang percaya akan keruntuhan kapitalisme dan keniscayaan revolusi akan terjadi dengan sendirinya dalam sebuah "hukum besi sejarah". Serta meletakan kesadaran dan strategi perjuangan pada perspektif determinan ekonomi. Hal ini didasarkan atas filsafat Materialisme Dialektika Historis, yang melihat bahwa sejarah dan perkembangan masyarakat ditentukan oleh alat produksi yang kemudian disebut sebagai basic structure sebagai bagian bawah yang mempengaruhi bangunan atas atau super strucure (negara, moral, idelogi, politik).

Di sini kemudian Gramsci melihat arti penting intelektual sebagai alat organiser bagi hegemoni. Bagaimana Hegemoni diciptakan, agar resistensi rakyat terhadap kelompok dominan dapat diminimalisir ?

Bagi Gramsci titik tolak pembangunan Hegemoni adalah konsensus, penerimaan konsensus ini bagi proletariat dilakukan dengan persetujuan dan kesadaran, namun hal itu bisa terjadi bagi Gramsci lebih dikarenakan kurangnya basis konseptual yang dimiliki kelas pekerja sehingga permasalahan sesungguhnya bisa dimanipulasi.

Ada dua hal mendasar menurut Gramsci menjadi biang keladinya, yaitu pendidikan di satu pihak dan mekanisme kelembagaan di lain pihak. Untuk itu Gramsci mengatakan bahwa pendidikan yang ada tidak pernah menyediakan kemungkinan membangkitkan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan sistematis bagi kaum buruh. Di lain pihak, mekanisme kelembagaan (sekolah, gereja, parpol, media massa dan sebagainya) menjadi "tangan-tangan" kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang mendominir. Bahasa menjadi sarana penting untuk melayani fungsi hegemonis. Konflik sosial yang ada dibatasi baik intensitas maupun ruang lingkupnya, karena ideologi yang ada membentuk keinginan-keinginan, nilai-nilai dan harapan menurut sistem yang telah ditentukan[4].

Ada tiga tingkat Hegemoni menurut Gramsci yang diungkapkan Josep Femia, pertama, Hegemoni Integral, ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis. Contohnya Perancis sesudah revolusi (1879).

Kedua, hegemoni yang merosot (decadent hegemony). Dalam masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi tantangan berat. Dia menunjukan adanya potensi disintegrasi di sana. Dengan sifat potensial ini dimaksudkan bahwa disintegrasi itu tampak dalam konflik yang tersembunyi "di bawah permukaan kenyataan sosial". Artinya sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan atau sasaranya, namun pemikiran yang dominan dari subyek hegemoni. Karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh.

Ketiga, hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan dengan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan kelas lain dalam masyarakat. Mereka malah mempertahankan peraturan melalui transformasi penyatuan para pemimpin budaya, politik, sosial maupun ekonomi yang secara potensial bertentangan dengan "negara baru" yang di cita-citakan oleh kelompok hegemonis itu.

E. Kelemahan dan Kelebihan Teori Hegemoni

KELEMAHAN dari teori Hegemoni Gramsci adalah bahwa teori tersebut tidak dipraktekan terutama dalam persoalan cara perlawanan terhadap hegemoni borjuis, karena ia keburu meninggal dalam tahanan. Teori ini juga tidak bisa di generalisasikan pada setiap negara, khususnya dalam keberhasilan negara sebagai pembentuk hegemoni tunggal tanpa aliansi dengan dominasi, maka sesungguhnya kemudian keberadaan hegemoni negara dan kapitalisme tidak bisa dinafikan begitu saja dari kekuatan dominasi (kemampuan represif dan koersif) mereka

Namun meski demikian, ternyata teori hegemoni kemudian mampu digunakan untuk menganalisa hubungan internasional yang dipelopori Robert Cox, juga mengajak kita untuk melihat pertautan antara kepentingan dan ilmu pengetahuan sosial, sehingga ilmu sosial menjadi semakin terbongkar subyektifitasnya dan penolakan atas positivisme

Teori hegemoni kemudian juga memberikan bahan refleksi bagi kita akan obyektifitas ilmu sosial, karena bagaimanapun ternyata ada ada pertautan antara kepentingan dan kekuasaan dengan ilmu pengetahuan sosial.

Daftar Pustaka
Bakaruddin Rosyidi Ahmad, Pemikiran Marx tentang Alienasi: Sejarah Metode dan Isi, Tesis Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, 1991

Muhadi Sugiono, Restruturing Hegemony and The Changing Discourse of Develpoment. Terjemahan: Cholish, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembanguinan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Simon, Roger, Gramsci`s Political Thought, Terjemahan: Kamdani & Imam Baehaqi, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Insist & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
[1] Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h: 12-13
[2] Bakaruddin Rosyidi Ahmad, Pemikiran Marx Tentang Alienasi: Sejarah, Metode, dan Isi, Tesis Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 1991, h: 99
[3] Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h: 30-31
[4] Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Revolusi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h: 127