Wednesday, July 04, 2007

Resensi Buku tentang Pangan


Pangan,Tanggung Jawab Negara*

Qayuum Amri *


Foto: Luna Maya Duta World Food Progam

IRONIS tumbuh di negeri seperti Indonesia. Kaya akan sumber daya alam, tetapi masih menghadapi bencana kelaparan di beberapa daerah. Dalam buku ini diuraikan beberapa kebijakan yang menyebabkan Indonesia mengalami rawan pangan.

Pertama, kebijakan pangan/pertanian bersifat monokultur (terjadi penyeragaman kebudayaan dan strategi pembangunan pertanian yang padat modal). Melalui kebijakan ini, terjadi ketergantungan pada satu jenis tanaman, sebagai contoh kebijakan ”politik beras” pada masa Orde Baru. Kedua, Indonesia terjebak dalam kebijakan harga pangan murah untuk menopang pengembangan industri dan sektor lain. Ketiga, harga beras impor lebih murah daripada beras lokal. Bahkan, komoditas impor pangan, seperti jagung, sempat dibebani pajak nol persen. Keempat, petani didorong menanam tanaman ekspor. Kelima, perdagangan benih dan teknologi pertanian hanya dikuasai oleh segelintir perusahaan internasional.Dengan monopoli ini, korporasi internasional begitu mudah menetapkan harga. Keenam, kelangkaan akses penunjang kegiatan produksi. Terakhir, penguasaan dan pemilikan sumber agraria di tangan segelintir orang (hlmn 235). Lalu, siapa yang mesti bertanggung jawab atas keadaan ini?

Dalam buku ini ditegaskan bahwa negaralah yang memegang peranan penting untuk menyelesaikan masalah pangan dan busung lapar. Sebab, hak atas pangan (right to food) menjadi bagian dari hak-hak asasi manusia dan termaktub dalam perjanjian internasional. Lantaran hak pangan adalah hak asasi manusia, maka negara menjadi subjek hukum yang berkewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Sayangnya, pemerintah terkesan ”melalaikan” dan tidak serius melaksanakan kewajiban dalam menjamin kebutuhan pangan warga negaranya.

Bercermin dari kejadian ini, maka negara dapat dikatakan gagal dalam menjalankan fungsi pokok dan tanggung jawab terhadap masyarakat luas. Negara tak mampu memenuhi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dalam Pasal 18 sampai 21 mengakui hak ekonomi dan sosial. Kemudian, dalam General 12 dari Comittee on Economics, Social and Cultural Rights (CESCR) telah mengakui hak atas pangan secara internasional sebagai hak dasar manusia.

Karena itu, dalam CESCR ini negara berkewajiban menyediakan pangan memadai secara kuantitas dan kualitas sehingga memenuhi standar hidup layak. Jika masih terjadi peristiwa busung lapar dan krisis pangan, apakah negara dapat dikategorikan melanggar HAM? Buku setebal 450 halaman ini merupakan kumpulan tulisan yang membahas krisis pangan di Indonesia.

Di buku ini dikatakan pemicu krisis pangan adalah angka kemiskinan melonjak drastis yang menyebabkan daya beli rendah akibat kenaikan harga kebutuhan pokok dan kegagalan panen di pedesaan. Dampak krisis pangan terjadi gejala busung lapar dan kelaparan yang mengakibatkan pertumbuhan dan tingkat kecerdasan anak terganggu. Tak heran, human development index (HDI) Indonesia berada pada peringkat 117 di antara 170 negara di seluruh dunia. Tentu saja, busung lapar bukan sekadar masalah teknis kesehatan, ekonomi, dan sosial belaka.

Sesungguhnya busung lapar terkait dengan problem politik, moral, dan keadilan. Dalam pandangan PBHI, reforma agraria dapat dijadikan solusi alternatif untuk keluar dari labirin rawan pangan. Gunawan, Kepala Divisi Kajian dan Kampanye PBHI, menilai krisis pangan tidak lepas dari masalah ketimpangan pemilikan tanah yang terjadi dalam struktur agraria di Indonesia. Jadi, reforma agraria ini tidak semata-mata melakukan perubahan struktur kepemilikan tanah, tetapi juga mengelola sumber daya agraria serta mengatasi kontradiksi antara industri, modal, dan perdagangan dengan pertanian.

Tawaran PBHI ini sejalan dengan Komisi HAM PBB (Commision on Human Right) dalam resolusi 2000/10 dan resolusi 2001/15 yang membentuk Special Rapporteur on the Right Food yang melaporkan bahwa akses ke tanah adalah elemen penting untuk membasmi kelaparan di dunia. Special Rapporteur menyebutkan reforma agraria harus secara serius dijadikan instrumen kebijakan untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Reforma agraria juga akan mendorong transformasi sesungguhnya dan perubahan redistribusi yang bukan hanya tanah.

Karena itu, kebijakan ini membutuhkan dukungan elemen lain seperti transportasi, akses air, kredit, dan infrastruktur lain. Sungguh mengenaskan apabila nasib masyarakat bagaikan ”tikus mati di lumbung padi”. Jaminan ketercukupan pangan adalah kewajiban negara yang mesti dilaksanakan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Suatu kemalangan bagi negara yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia apabila tidak dapat keluar dari krisis pangan maupun kelaparan yang melanda penduduknya.(*)

* Pernah dimuat di Koran SINDO Minggu, 27/05/2007
*Mahasiswa Bahasa Prancis UNJ, Penggiat Diskusi Demokrasi Kerakyatan Gading14, Yogyakarta