Thursday, January 04, 2007

resensi buku


Resensi Buku:
1. Judul Buku : Ideologi Politik Kontemporer
2. Judul Asli : Contemporary Political Ideologies
3. Editor : Roger Eatwell dan Anthony Wright
4. Penerjemah : R.M. Ali
5. Penyunting : Hari Kusharyono
6. Penerbit : Penerbit Jendela
7. Tahun : 2004
8. Tebal : xii+420, 16x24 Cm

Sejarah Pikiran yang Bertindak
Oleh Gunawan*

Ideologi adalah salah satu kajian yang paling rumit akan tetapi mengandung unsur konfliktual yang mampu melibatkan banyak manusia. Sebagai contoh kerumitannya, sesungguhnya apakah ideologi dari Negara Orde Baru (NOB), apakah Pancasila, apakah Developmentalism (Pembangunanisme), apakah militerisme, atau jika kita gunakan perspektif mereka yang mengkritik Orde Baru karena Orde Baru adalah wujud dominasi Jawa dan bergaya Mataram, yang berarti ideologi Orde Baru adalah Kejawen.
Mengamati kerumitan dalam mendefenisikan ideologi, kita harus menelusuri terlebih dahulu ideologi dan sebelumnya, yaitu lewat pemahaman sejarah dan perkembangan masyarakat khususnya di Eropa. Masyarakat memiliki lokalitas dalam arti ia berada dalam identitas yang saling berbeda; plural dalam pengertian horizontal – gender, suku, ras – maupun vertikal – akses ekonomi dan politik. Nasionalitas merujuk pada karakter umum kekuasaan, mulai dari situasinya, cita-cita dan proyeksinya hingga kendalinya. Globalitas masyarakat adalah dialektika emansipasi kemanusiaan antar keyakinan, pemikiran dan sistem kebudayaan. Secara sederhana lokalitas-nasionalitas-Globalitas adalah proses membangun relasi yang utuh antara geo sosial-ekonomi-politik dan cara pandang kemanusiaan yang bisa jadi ideologi yang membebaskan.
Jika hal tersebut diatas dalam konteks sejarah, di Eropa misalnya konsep-konsep ideologi lahir sebagai wujud pembebasan masyarakat dari kungkungan gereja dan feodalisme, demikian juga dengan lahirnya nasionalisme, sebagai wujud dari keberadaan nation state yang lahir dari perjanjian Westphalia untuk mengakhiri perang agama belasan tahun di Eropa.
Maka Ideologi dalam perspektif yang paling sederhana, adalah sejarah ide dan sejarah tindakan yang mampu memobilisasi manusia dalam perjuangan demi cita-cita berserta sekian peperangan, paling tidak setelah keberhasilan revolusi kaum borjuis dalam Revolusi Perancis, Revolusi Amerika dan Revolusi Inggris. Sebuah kemenangan bagi kapitalisme-liberalisme, sekaligus sebagai kondisi yang melahirkan Sosialisme, yang dalam perkembangan setelah munculnya Karl-Marx, Sosialisme diperkenalkan dengan Sosialisme Utopis dan Sosialis Ilmiah.

Pemikiran-pemikiran Marx kemudian menjadi sebuah isme yang melahirkan berbagai macam variasi, mulai dari Marxisme-Leninisme (Marxisme menurut Stalin) Marxisme Ortodox dan revisionis yang kemudian melahirkan kini dikenal sebagai Sosialime Demokratik. Mereka yang menolak Marxis-Leninisme dan Sos-dem kemudian membuat mainstreams baru yang dikenal sebagao Neo-Marxis. Demikian juga varian-varian yang lahir dari tradisi Marxis di dunia ketiga, seperti Maois, pemikiran revolusi Che Guevara dan pemikiran-pemikiran nasionalis kiri lainnya.

Kalau kemudian kita diperkenalkan bahwa imperialisme adalah puncak tertinggi dari kapitalisme, militerisme adalah ekspresi puncak dari kapitalisme, maka kapitalisme juga menemukan bentuk kecelakaanya dalam fasisme.

Ekspansi kapitalisme ke negara-negara dunia ketiga kemudian tidak saja menciptakan watak kapitalisme yang berbeda pada era pasca kolonial, tetapi juga melahirkan respon perlawanan yang tidak sepenuhnya Islam, tidak sepenuhnya Nasionalisme, dan dan tidak sepenuhnya Komunisme termasuk juga ide-ide perlawanan yang lahir dari tradisi mesianik dan melirianisme seperti yang terjadi dalam sejarah pemikiran dan gerakan politik di Indonesia. Yang pada intinya dunia ketiga – khususnya Indonesia - tidak saja diperkenalkan dengan cara produksi baru, tetapi juga mengalami internalisasi konflik internasional. Hal ini dapat kita lihat bagaimana perlawanan terhadap kapitalisme (kolonialisme) berbarengan dengan saling bertentanganya antar pengikut ideologi-ideologi yang melawan kapitalisme, bahkan dinternal sebuah ideologi. Dalam konteks keindonesian, bahkan ideologi menjadi sebuah kerja kebahasaan sebagai upaya membangun moment historis. Artinya dunia Barat kontemporer senantiasa melahirkan ideologi dalam determinisme ekonomi, sedangkan di dunia Timur, moralitas dan spiritualitas adalah pembentuk sikap sejarah dan sikap politik yang keduanya bisa kita sebut juga sebagai sikap ideologi.

H. Misbach misalnya. Dia berangkat ke dunia pergerakan karena diilhami ajaran Islam atau semangat jihad (Islamisme). Tetapi dalam memahami dunia dia menggunakan marxisme (komunisme), dan dalam konteks geo politik ia seorang nasionalis. (Nasionalisme), lihat saja dari organisasi yang diikutinya. Pertama ia mendirikan Sub Tentera Kandjeng Nabi Moehammad serta menerbitkan Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Tidak cukup dengan itu, ia kemudian menjadi propagandis untuk pengorganisiran petani bagi National Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH). Setelah keluar dari penjara ia bergabung dengan SI Merah/Sarekat Ra`jat-PKI. Dalam masa pembuangannya di Digul, ia menulis gagasannya tentang “Islamisme-Komunisme”. Fenomena Misbach ini seharusnya merontokan bahwa pergerakan politik Indonesia secara tegas dibagi menjadi Islamisme, Komunisme dan Nasionalisme seperti yang diajarkan sejarawan Belanda ataupun sejarawan yang mencangkok darinya, maka pilihan ideologi adalah pertemuan apa yang dirasakan dengan istilah atau bahasa yang kemudian dijadikan pembenaran.

Kembali ke kajian buku. Telah banyak buku dengan model bunga rampai yang mencoba mengulas ideologi. Meskipun sebuah buku telah mengulas perkembangan ideologi-ideologi dalam pengertian kontemporer seperti halnya dalam buku ini, akan tetapi dengan jika model bunga rampai maka ulasan menjadi tidak mencukup mendalam, mengingat juga belajar dari tulisan langsung para teoritikus ideologi telah menimbulkan penafsiran yang berbeda dan munculnya doktrin-doktrin baru. Sisi lain adalah berbagai kajian buku tentang ideologi khususnya yang bunga rampai, belum memunculkan gagasan-gagasan atau pemikiran yang disebut ideologi yang muncul di dunia ketiga

Ulasan tentang ideologi-ideologi kemudian menjadi sebuah “rumah-kaca” yang gagal memahami tentang bahwa para pelaku ideologi adalah orang yang sedang merespon dunia yang menurutnya bergerak dan diapun bergerak mempraktekan pergerakan dan dalam kenang-kenangan kita sekarang menjadi sebuah memori tentang sejarah pikiran yang bertindak.
Kegagalan atas pemahaman tersebut lahir dari historiografi - yang menurut Takashi Shiraishi (1997) - adalah historiografi ortodox yang merupakan historiografi cangkokan. Yang boleh kita sebut sebagai sejarah dari kinerja intelijen seperti yang secara romantis digambarkan Pramoedya Ananta Toer (1988) lewat Rumah Kaca.

Terakhir, buku ini bagus untuk kalangan yang ingin mengamati perkembangan ideologi, dari asal-usulnya hingga abad 21, namun secara sederhana saja.