Thursday, October 19, 2006



Bismillahirrohmanirrohim
Menjadi Semi Kolonial atau Rencana Ekonomi Berjuang
Oleh: Gunawan

“Biar tuan caci aku tetap tak mau pergi, biar nyonya maki aku tetap saja, suka
…… Saat nyonya antarkan tuan tidur. Saat tuan temani nyonya mimpi
Aku lihat berjuta manusia, yang merintih lantaran hidupnya
Terperangkap kedalam jurang dusta, Terperosok kedalam lembah nista…..”
(Saksi Gitar Tua, God Bless)

Krisis moneter 1997, yang dialami Negara Orde Baru (NOB) yang kemudian disusul dengan krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis sosial yang menyertai ambruknya Rezim Militer Orde Baru, ternyata tidak berhasil diatasi oleh mister Habibie, Gus Dur, dan ibu Mega sebagai para presiden berturut-turut pasca Soeharto.
Semenjak Jenderal Besar Soeharto merasa kesulitan mengatasi krisis ekonomi, hingga pemerintahan Megawati, bisa dikatakan bahwa strategi ekonomi Indonesia bersandar pada resep-resep IMF, Megawati mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak populis - seakan membuktikan prediksi orang bahwa Megawati akan menjalankan neo developmentalism -, seperti privatisasi BUMN, pencabutan subsidi BBM dan biaya pendidikan, tidak melakukan perlindungan atas produksi rakyat seperti impor beras, gula, paha ayam dan sebagainya.
Meskipun diakhir periode pemerintahannya, Megawati telah mengutarakan maksud tentang strategi lepas dari IMF, tetapi diakhir masa pemerintahannya, presiden Megawati dan DPR telah memproduksi sekian peraturan perundangan yang membawa keterasingan Indonesia dari kekuatan-kekuatan produksinya, tanah, air dan udara, serta martabat kemerdekaannya serta daulat rakyat kuasa, tetapi justru membuka ruang yang besar bagi modal internasional. Penggusuran kaum miskin kotapun menjadi massif diakhir pemerintahan Megawati dengan di beberapa tempat menampilkan Dinas Trantib dan Sat Pol PP yang seakan menampilkan sosok baru “militeristik” dan “police brutality” di Indonesia.
Pemilu adalah harapan rakyat atas masa depan yang lebih baik bagi negara, masyarakat dan perekonomian di Indonesia. Maka adalah wajar jika banyak yang berharap banyak pada pada kepemimpinan SBY-JK, namun, SBY segera menuai kritik ketika beliau mengangkat beberapa menteri yang dianggap mewakili kepentingan internasionalisasi modal, disusul dengan belum jelasnya arah 100 hari SBY, yang dijawabnya dengan bahwa saat ini dia sedang mengenali masalah meskipun SBY telah mengambil tindakan yang populer seperti inspeksi mendadak, melarang pejabat menerima parsel dan sebagainya. Namun bagaimanapun juga tanpa “analisis kongret atas situasi kongret” sehingga menjadi jelas “apa yang harus dilakukan” dan “dari mana harus memulai” pelbagai tindakan tersebut hanyalah verbalisme dan aktivisme belaka.
Tetapi dua hal yang mengemuka yang dicanangkan SBY, Yaitu Dewan Keamanan Nasional dan Dewan Ekonomi Nasional. Dalam forum APEC di Santiago Chile, SBY juga kembali menekankan arti penting keamanan dan menawarkan pasar dan investasi ke Indonesia. Hampir sama dengan SBY, namun lebih ekstrim, George W Bush Jr menawarkan perang melawan terorisme dan globalisasi. Praktis semenjak Amerika menyatakan perang terhadap terorisme, hal itu menjadi provokasi bagi kekerasan politik diberbagai belahan dunia, khususnya negara-negara Dunia Ketiga, mulai dari Indonesia, Filipina, Thailand, Afghanistan, Pakistan, India (Khasmir), Arab Saudi dan Iraq.
Artinya memprediksi perekonomian dan stabilitas politik serta stabilitas keamanan di Indonesia, kita harus menjadikan internasionalisasi modal sebagai unit analisa, khususnya peranan Amerika dalam membawa neo liberalisme, yang itu kaitannya dengan, pertama, jika investasi membutuhkan keamanan, bagaimana kaitannya dengan konsolidasi demokrasi, khususnya demokrasi ekonomi, karena ketidakdilan distribusi ekonomi, ekspolitasi alam dan tenaga kerja (buruh dan petani serta high cost production bagi pengusaha), serta ekses lain dari ekspansi kapitalisme internasional adalah pemicu munculnya kerawanan social, apakah Dewan Keamanan Nasional akan dijadikan solusi. Kedua, perubahan sosial seperti apa yang akan dibawa SBY dalam mode produksi, mode konsumsi dan distribusi ekonomi politik. Akankah SBY akan menjalankan amanat reformasi 1998 ataukah ia akan membangkitkan kembali kekuatan lama (ancient regime: imperialisme, kapitalisme birokratik-rente, militerisme dan oligarki) atau justru memunculkan oligarki kekuasaan yang baru. Padahal jika kita merujuk apa yang diungkapkan Carlos M. Vilas (1986), bahwa perubahan sosial yang mendasar pada negara dan masyarakat kapitalisme pinggiran menyangkut empat masalah mendasar dan saling berhubungan, yaitu: (1) Persoalan kelas, yang menyangkut pengakhiran eksploitasi massal dibimbing suatu kelas atau faksi kelas tertentu; (2) Persoalan kedaulatan nasional, yang merujuk pada likuidasi dominasi imperialis dan penentuan kembali nasion itu secara ekonomi dan politik dimasukan kedalam sistem dunia; (3) Persoalan pembangunan, melalui ekspansi kekuatan-kekuatan produktif dan rasionalisasi struktur produktif; dan (4) Persoalan demokrasi, atau dibongkarnya negara yang telah menjamin eksploitasi kelas, keterbelakangan ekonomi, dan dominasi imperialis, dan pembangunan suatu jenis baru kekuasaan politik. Maka bentuk maju dari menjalankan amanat reformasi 1998 adalah meneruskan perjuangan revolusi kemerdekaan 1945.

Pax Americana, Negara, dan Perekonomian
Provokasi terorisme yang terus didorong oleh Amerika harus dilihat sebagai bagian usaha Amerika menjaga kebijakan ekonominya yang internasionalis liberal, atau yang lebih dikenal sebagai neo liberalisme. Ahmad Rosadi Harahap (2004) mengungkapkan, berbeda dengan hipotesis Huntington (1996) yang memprediksi konflik peradapan di masa depan bakal bermotif budaya, Brawley (1993) percaya liberalisasi perdagangan dunia sebagai penyebab perang dunia (trade liberalization as a catalyst). Berbeda dengan teori siklus hegemoni yang umum dianut pakar (Goldstein, 1988), Brawley melihat, perang terjadi bukan semata karena melemahnya suatu hegemoni, tetapi lebih disebabkan perhitungan untung-rugi suatu negara terhadap liberalisasi perdagangan internasional. Pendapat itu dikuatkan hasil penelitian Snooks (1996) yang menyimpulkan perang lebih cepat menghasilkan pertumbuhan dunia (Conquest-led growth), dibanding commerce-led growth, maupun technological-led growth. Perang tidak hanya melahirkan marked leader, tetapi juga akan mendorong (demi memenangkan perang) inovasi tekhnologi dan persaingan usaha di antara kelompok-kelompok yang berperang, yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan di masa damai. Schumpeter (1950) menyebutnya sebagai kekuatan creative destruction dari sistem kapitalisme.
Maka mengamati konflik internasional kontemporer ini, maka benarlah jika imperialism higgest stage of capitalism dan militerisme adalah ekspresi puncak dari kapitalisme. Dua kali perang dunia (PD I dan PD II) telah menunjukan bagaimana kebutuhan kolonialisasi atas kapitalisme internasional telah melahirkan perang besar. Namun juga kapitalisme sampai dengan Perang Dunia II telah menumbuhkan, pertama, nasionalisme borjuis dan demokrasi liberal di Eropa yang tumbuh semenjak perjanjian Westphalia yang memunculkan konsep negara bangsa (nation state) hingga Revolusi Perancis, Revolusi Industri dan Revolusi Amerika, yang ketiganya telah menjadi fondasi bagi perkembangan kapitalisme dari merkantilisme ke kapitalisme industri dan modal. Respon atas eksploitasi dan ekspansi kapitalisme di Eropa kemudian memunculkan sosialisme sedangkan di negara-negara jajahan dan setengah jajahan sebagai respon atas ekspansi dan ekspolitasi kapitalisme internasional yang mengambil bentuk kolonialisme telah memunculkan juga nasionalisme dan demokrasi, tetapi nasionalisme baru dan demokrasi baru yang revolusioner dan berpihak kepada rakyat pekerja. Kedua, krisis kapitalisme yang menyertai PD I dan PD II telah melahirkan dunia komunis di Rusia, kritik diri kapitalisme di Amerika lewat negara kesejahteraan (welfare state) dan kemunculan fasisme di Jerman, Italia, dan Jepang. Fasisme adalah bentuk kecelakaan dari kapitalisme atau gerakan lain dari borjuis, seperti yang dijelaskan Hokhiemer dan Adorno (Bakarrudin Rosydi Ahmad; 1991). Hokhimer menyatakan, fasisme, hanya dapat dipahami dalam hubungan dengan perjuangan kelas dalam masing-masing negara. Jadi, alienasi dan borjuasi serta organisasi fasis muncul dari rasa takut akan proletariat. Theodor Adorno juga menelanjangi fasisme sebagai puncak dari sisi negatif kapitalisme. Dampak perang dan krisis kapitalisme yang dialami Italia dan Jerman, ternyata tidak diatasi lewat penguatan basis bawah (basic structure:mode of production) tetapi di basis atas (supra structure), yaitu ideologisasi negara dan masyarakat dengan agitasi perlunya kekuasaan negara yang otoriter-birokratik-militeristik dan anti orang asing (xenophobis, tribalis, dan anti pluralisme). Artinya kapitalisme tidak saja memainkan alat-alat untuk mendominasi secara fisik untuk mengatasi krisis, tetapi dengan apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni. Bagi Gramsci (Muhadi Sugiono; 1999), hegemoni akan menjelaskan mengapa suatu kelompok atau kelas secara sukarela atau dengan konsensus mau menundukkan diri pada kelompok atau kelas yang lain. Teori ini dibangun diatas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan "hegemoni" atau menguasi dengan "kepemimpinan moral dan intelektual" secara konsensual.
Sebagai upaya rekontruksi, konsolidasi dan reorganisasi kapitalisme internasional/neo imperialime, Amerika mencoba meletakan dirinya di posisi dominan dan hegemonik dengan mengangkat suatu tema (intenasionalis liberal-neoliberalisme) yang didukung dengan operasi ekonomi-politik dan manuver militer, atau bisa juga diartikan bahwa neo liberalisme bersembunyi di setiap operasi ekonomi dan politik serta manuver militer Amerika, fenomena ini mulai muncul semenjak Amerika memiliki posisi dominan, ketika Eropa mengalami depresi ekonomi akibat perang.
Tatanan baru ekonomi internasional versi Amerika tersebut kemudian termanifestasi dalam sebuah sistem yang kemudian disebut Bretton Woods. Menurut Robert A. Isaak (1995), sistem Bretton Woods mengacu pada piagam yang dirundingkan bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hampshire, yang menciptakan international Monetary Fund (IMF) dan juga lembaga saudaranya, International Bank for Recontruction and Development (IBRD) atau Bank Dunia. Selain itu upaya yang dilakukan adalah dengan membangun ITO (International Trade Organization). Bagi Djauhari Oratmangun (2001), upaya membentuk ITO bermula dari diadakannya pertemuan pertama Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UNECOSOC) pada Februari 1946 yang menyetujui gagasan Amerika Serikat untuk mengadakan konferensi internasional mengenai perdagangan dan kesempatan kerja (UN Conference on Trade and Employment) guna membicarakan rencana pembentukan ITO. Untuk menyusun perjanjian ITO, yang disebut ITO Charter, maka dibentuklah sebuah Komite Persiapan beranggota 23 negara yang mengadakan pertemuan-pertemuannya di London pada Oktober 1946. Dalam proses pembentukan ITO di atas, secara bersamaan sebagian dari negara anggota Komite Persiapan membicarakan ide penyelenggaraan negosiasi multilateral untuk menurunkan tarif diantara mereka. Pada pertemuan di New York pada Januari-Februari 1947, Komite berhasil menyusun naskah yang memuat aturan perdagangan multilateral dan tata cara negosiasi. Sebenarnya naskah aturan perdagangan yang dirumuskan oleh Komite persiapan ini dimaksud untuk disisipkan sebagai bagian dari naskah ITO Charter yang sedang disusun. Disamping itu, aturan-aturan perdagangan tersebut juga dimaksudkan sebagai perjanjian perdagangan multilateral yang akan dilaksanakan dalam kerangka ITO kelak. Pada pertemuan selanjutnya di Jenewa pada April-Oktober 1947, Komite berhasil merampungkan naskah ITO Charter. Bersamaan dengan itu, pada 30 Oktober 1947 Komite yang terdiri dari 23 negara juga menandatangani General Agreement on Tariff anda Trade – GATT yang naskahnya disusun pada waktu di New York bulan Januari-Februari 1947. GATT yang mulai berlaku pada 1 Januari 1948 pada mulanya dianggap sebagai aturan perdagangan sementara (provisional legal instruments) sampai berlakunya ITO secara efektif dan akan merupakan bagian dari ITO Charter. Dalam perkembangan selanjutnya GATT itulah yang menjadi aturan GATT seperti yang dikenal saat ini.
Untuk mengamankan rencana tatanan ekonomi internasional barunya, Amerika kemudian di Eropa Barat mendorong rekontruksi ekonomi Eropa dengan bantuan Marshal Plan dan membatasi Eropa Barat dengan Eropa Timur yang komunis dengan menggelar ribuan pasukan dan peralatan tempurnya.
Di daerah-daerah jajahan, kolonialisme menghadapi tantangan dari perang revolusi kemerdekaan yang menciptakan sikap ambigu dari Amerika, disatu sisi bantuan Marshall tidak cukup bagi pembangunan Eropa Barat, namun jika tidak memberikan dukungan bagi dekolonialisasi, maka, gerakan revolusi nasional akan mudah dipengaruhi atau bersimpati kepada Uni Soviet. Maka yang mesti dilakukan Amerika adalah mendukung dekolonialisasi dengan memberikan keuntungan bagi Eropa Barat, anti komunis (“the policy of containment”) dan hegemoni Amerika.
Untuk kasus Indonesia, studi dari pasangan Kahin (Audrey R & George McT; 1997) menunjukan, jelaslah bagi Indonesia bahwa Amerika Serikat menyediakan bantuan yang sangat penting bagi Belanda. Bahkan, seorang petani sekalipun dapat melihat senjata yang digunakan tentara Belanda merupakan kiriman Amerika Serikat karena kebanyakan tank, truk dan pesawat terbang masih menggunakan lambang Amerika Serikat, dan setidaknya hingga akhir Januari 1949 sejumlah marinir Belanda masih menggunakan seragam yang bertuliskan (di saku dada) “U.S. Marines”. Sudah menjadi rahasia umum pula, Amerika Serikat memberi sumbangan keuangan bagi upaya Belanda merebut kembali Indonesia. Laporan CIA pada 14 November 1947, umpamanya, mencatat, “sekarang rakyat Indonesia dan Indocina cenderung melihat upaya Belanda dan Perancis untuk menegakkan kembali kekuasaan mereka dilakukan dengan dukungan Amerika serikat. Terus meningkatnya Program Perbaikan Eropa (Marshal Plan) dalam memperkuat kemampuan Belanda dan Perancis di Asia Tenggara membuat kemarahan penduduk meningkat. Bahkan ketika dilaksanakan sepenuhnya, dana Amerika Serikat yang dipompakan ke Perancis dan Belanda sama besarnya dengan jumlah dana yang dikeluarkan negara-negara itu untuk membiayai pasukan-pasukan di Asia Tenggara. Beberapa perancang kebijakan Amerika yang paling berpengaruh menganggap Hindia Belanda sebagai gabus yang diatasnya ekonomi Belanda berpijak – yang menyediakan 20 persen pendapatan nasionalnya – dan bila bisa dipulihkan kembali akan sangat berguna bagi negara itu. Mereka yakin bila Belanda tidak terus mengendalikan minyak, timah, karet dan kopra dari kepulauan tersebut, bahkan suntikan dana Amerika Serikat secara besar-besaran tidak akan dapat memperkuat perekonomian negara itu. Demikian pula investasi penting Amerika Serikat di Indonesia (terutama di Sumatera), khususnya minyak dan karet, mempengaruhi kebijakan Amerika Serikat. Walau tidak terlalu penting.
Amerika memediasi perundingan antara Indonesia dan Belanda, dan menyelundupkan anggota Mobrig (Mobil Brigade) Indonesia dan melatihnya. Perundingan-perundingan yang difasilitasi Amerika adalah Renville yang membawa wilayah republik dipersempit garis van Mook yang menciptakan frustasi sosial, ekonomi, politik dan kemiliteran di wilayah republik. Perjanjian kedua adalah KMB yang membawa pengakuan kedaulatan bagi Indonesia dari Belanda, tetapi tetap membawa kerugian bagi republik yang juga bisa ditafsirkan sebagai kegagalan revolusi nasional Indonesia. Pertama, revolusi telah gagal merebut alat-alat produksi yang dikuasai pihak asing dan merombak mode produksi kolonial. Perusahaan asing masih menguasai aset-aset produksi sumber daya alam Indonesia yang mereka bangun semenjak masa kolonial, sebagai contoh - seperti yang ditunjukan Hermawan Sulistyo (2000) -, di kota sekecil Jombang dan Kediri di provinsi Jawa Timur, sesuai revolusi sisa pabrik gula (PG) yang ada di bawah penguasaan pemerintah Republik Indonesia, tetapi dikelola oleh teknisi dan pejabat Belanda. Secara legal, pabrik-pabrik itu masih milik Belanda sampai 1957, hingga pemerintah RI memutuskan menyita dan menasionalisasi seluruh perusahaan Belanda. Kedua, Indonesia segera terjebak pada hutang luar negeri. Seperti yang diutarakan pasangan Kahin (Audrey R & George McT; 1997), saat mana Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia, wakil Amerika Serikat, Merle Cohran, yang bertindak sebagai moderator, memihak Belanda dan menuntut dua hal dari Indonesia. Mengingat Amerika Serikat masih prihatin dengan keadaan perekonomian Belanda, Cohran memaksa agar Republik menanggung hutang Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dollar Amerika. Sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah hutang pemerintah kolonial, yang menurut pihak Indonesia 42 persennya merupakan biaya operasi militer dalam menghadapi Republik. Mengingat mereka telah setuju semua investasi Belanda (dan pihak asing lainnya) di Indonesia akan dilindungi, persyaratan tersebut dilihat oleh semua pihak di Indonesia bahwa mereka akan mendapat bantuan yang cukup besar dari Amerika Serikat untuk melunasi beban hutang tersebut terbukti kosong belaka ketika ternyata yang diberikan hanya 100 juta dolar Amerika dalam bentuk kredit ekspor-impor yang harus dibayar kembali. Namun, dalam pengertian politik, konsensi paling penting yang dipaksakan Cohran adalah setengah bagian New Guinea (Irian Barat) yang secara geografis merupakan bagian Hindia-Belanda yang tidak diserahkan kepada Republik karena akan dibicarakan kemudian oleh Indonesia dan Belanda dalam waktu satu tahun.
Sedangkan tujuan dari Amerika melatih Mobrig, pasangan Kahin (Audrey R & George McT; 1997) mengutarakan, tampaknya, alasan bagi kebijakan rahasia tersebut adalah apabila pada akhirnya republik menang atas Belanda, para perwira yang dilatih di Amerika Serikat tidak saja menentang kebangkitan kembali komunis tetapi juga siapapun yang mendukung pemimpin komunis, Tan Malaka, yang telah lama melepaskan diri dari Uni Soviet dan yang pengikutnya telah tergabung dengan tentara Republik dalam menghadapi pemberontakan Madiun yang pro-Soviet yang telah ditaklukan. Bila perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut, jumlah mereka akan makin banyak, demikian pula taktik bumi hangus terhadap properti Amerika Serikat dan Belanda yang mereka anjurkan. Selain kemungkinan itu, ada pertimbangan pragmatis bahwa perlawanan secara gerilya dengan melancarkan taktik bumi hangus terhadap perkebunan-perkebunan dan properti Belanda lainnya segera akan menghancurkan sebagian besar aset ekonomi yang berusaha dipertahankan Belanda. Maka, kepentingan pribadi pengusaha Belanda menyebabkan gagalnya usaha mereka tersebut. Kepentingan pribadi pengusaha Amerika Serikat atas investasi di Indonesia menyebabkan mereka mengalami hal yang sama, dan sudah pasti hal itu berpengaruh pada kebijakan politik Amerika.
Mengamati negara, masyarakat dan perekonomian di Indonesia post colonial, tentunya kita harus mengamti formasi sosial atupun formasi kapital yang terbentuk selama masa kolonial. Peralihan ke kapitalisme di Indonesia berbeda perkembangannya (uneven development of capitalism) dengan di Eropa, yaitu bukan dari feodalisme ke kapitalisme, tetapi kombinasi yang terartikulasi (articulated combination) yang khas dari cara produksi kolonial, yaitu eksploitasi atas petani (hilangnya lahan petani, tanam paksa, dan terciptanya buruh tani) yang berdampak pada proses pemelaratan petani terus-menerus (Agricultural ladder) dan memakai pengertian dari Bil Warren (Bonnie Setiawan: 1999) bahwa kelas-kelas feodal akan memformasikan dirinya sendiri, setidak-setidaknya secara sebagian untuk menjadi kapitalis industri ketika kondisi-kondisinya telah memungkinkan untuk itu. Sementara itu sektor industri dan distribusi hampir bisa dikatakan dikuasai oleh modal asing. Sedang kaum borjuis kecilnya adalah kalangan bumi putra, seperti dalam kasus para pedagang batik, yang akhirnya persaingan dengan borjuasi transnasional dan China tidak mengandalkan mekanisme pasar tetapi lewat gerakan politik, sebut saja Serikat Dagang Islam (SDI), Rekso Rumekso dan Serikat Islam (SI).
Proses peralihan disebabkan model produksi yang dibentuk pemerintahan kolonial, yaitu VOC, sebuah organisasi dagang yang membentuk kekuasaan negara, sehingga bisa disebut kapitalisme negara atau juga negara perusahaan yang akumulasi modalnya terbentuk lewat monopoli. Meskipun kemudian VOC bangkrut, tetapi pemerintahan Hindia Belanda tetap meneruskan pola VOC.
Perang revolusi kemerdekaan di Indonesia praktis hanya sampai pada pengakuan kedaulatan, karena tanpa upaya mengubah formasi sosial dan formasi kapital, maka Indonesia dalam status semi kolonial.
Setelah pengakuan kedaulatan, negara selain dalam posisi setengah jajahan juga dalam situasi otonomi relatif karena negara dalam situasi perebutan kekuasaan terus menerus yang dilakukan oleh faksi-faksi dalam tentara dan masyarakat serta intervensi Amerika yang berdampak pada krisis ekonomi, politik dan kemiliteran (pertahanan), yang mendorong Soekarno mengendalikan negara terpusat ditanganya (demokrasi terpimpin) yang berbasiskan konsolidasi ekonomi dan politik Angkatan Darat lewat Undang-undang Darurat Perang (SOB:negara dalam keadan bahaya), hingga Soekarno menguasai total negara lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Akan tetapi intensitas perebutan kekuasaan ternyata tetap tinggi, yang mana kemudian dalam pertarungan dimenangkan oleh faksi Angkatan Darat dukungan Amerika Serikat.
Studi dari Harold Crouch (1986) menunjukan bahwasannya tentara Indonesia mendapatkan orientasi politik dan kepentingan-kepentingan politik sewaktu revolusi melawan Belanda. Belakangan, yaitu setelah hukum darurat perang dilakukan pada tahun 1957, Angkatan Darat dan beberapa bagian lain dari angkatan bersenjata lebih dalam lagi terlibat dalam politik, administrasi sipil dan pengelolaan ekonomi yang menjadikan Angkatan Darat sebagai unsur penentu dalam kegiatan-kegiatan nonmiliter telah menimbulkan dua konsekuensi utama yang dalam politik, administrasi dan dunia usaha, telah mengakibatkan politisasi korps perwira serta saling penetrasi dari kelompok-kelompok tentara dan sipil yang mengganggu kapasitas golongan militer untuk bertindak sebagai suatu kekuatan politik yang mempersatukan, serta menghalangi gerakannya untuk mendapatkan kekuasaan secara menyeluruh. Kedua, para perwira tentara juga telah memperoleh keuntungan-keuntungan politik yang akan mereka usahakan untuk lebih dikembangkan sebagai suatu kekuatan politik, sudah sewajarnyalah tentara berusaha memperkuat posisi mereka sendiri dan mengalahkan saingan-saingan mereka, sementara perluasan di bidang ekonomi telah memberikan para perwira tentara itu suatu pertaruhan pribadi dalam banyak perusahaan. Sebagai konsekuensi, personil-personil militer menjadi bagian dari elite politik dan ekonomi dengan mempertahankan orde sosial yang ada, yang mereka anggap terancam baik oleh kaum komunis maupun kebijakan-kebijakan Soekarno yang dapat menimbulkan kekacauan. Jika semula mereka terpaksa terjun ke bidang usaha karena didesak oleh kebutuhan, dalam waktu singkat mereka telah menyesuaikan diri dengan tanggungjawab baru. Banyak dari mereka lebih suka berhubungan dengan para pengusaha Cina daripada memimpin pasukan di lapangan. Dengan mendasarkan kekuatan-kekuatan ekonomi mereka pada pengaruh politik, bukan pada ketrampilan kewiraswastaan, anggota-anggota dari elite militer berhasil memperoleh sifat-sifat kelas komprador yang kepentingannya sejajar dengan orang-orang dari perusahan asing dengan siapa mereka mempunyai hubungan.
Dekolonialisasi adalah langkah sadar Amerika untuk mengakomodir negara baru merdeka dalam tatanan ekonomi internasional baru, akan tetapi sebagian besar negara baru merdeka memiliki nasionalisme ekonomi dan politik luar negeri yang netral, padahal bagi Amerika netral, dalam Perang Dingin (Cold War) adalah tidak bermoral. Untuk itu untuk dibutuhkan kebijakan ekonomi-politik untuk mempersiapkan kondisi perekonomian di negara baru merdeka agar dibawah dominasi dan hegemoni Amerika. Tentu saja yang lebih penting adalah siapa pelaksananya. Berkait dengan itu Amerika melakukan suversib sebagai politik luar negeri melalui sabotase ekonomi-politik, mendukung gerakan separatis dan kudeta militer atau bahkan invasi militer.
Di Indonesia, Amerika setelah gerakan separatis PRRI dan Permesta yang didukungnya kalah, Amerika mulai melirik ke Angkatan Darat, lewat penyusupan ke SESKOAD (Sekolah Komando Angkatan Darat) dan menciptakan kalangan ekonom dari intelektual mupun tentara yang pro pembangunanisme (developmentalism), yang kemudan dikenal sebagai mafia Barkeley. Setelah militer berhasilkan mendirikan rezim Orde Baru, langkah awal pelaksanaan pembangunanisme adalah disahkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dengan Freeport yang pertamakali mendapatkan lisensi untuk beroperasi.
Modal pembangunan di masa Orde Baru dalam rangka modernsasi dan tricle down effect mengandal booming minyak bumi, dan ketika booming berakhir, Orde Baru menggandeng modal asing masuk lewat relokasi industri. Lemahnya modal dalam negeri tetapi berlimpahnya tenaga kerja dan tanah mendorong Orde Baru menjadikan upah buruh murah sebagai keunggulan komparatif dan menyediakan sumber daya kekerasan untuk praktek penggusuran tanah rakyat, dimana sumber daya kekerasan tersebut juga diakumulasi bagi kontrol negara dan monopoli negara dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan. Artinya Negara Orde Baru adalah overdeveloped state yang ditegakan oleh militer yang mana militer telah berkembang menjadi masyarakat politik, masyarakat industri dan masyarakat keamanan. Tidak seperti di negara kapitalis dimana negara adalah alat dari borjuis, ataupun dalam terminologi sosialis bahwa negara dalam kekuasaan buruh. Orde Baru justru yang menumbuhkan borjuasi nasional (konglomerat China, bisnis militer, BUMN, dan bisnis keluarga pejabat) dan mentransformasi buruh dan petani. Maka overdeveloped state, meminjam istilah dari Harry J. Benda (Farchan Bulkin; 1984) adalah Beamtenstaat - negara-untuk-negara-sendiri (a state "of its own").
Dalam situasi Perang Dingin, Amerika memberikan dukungan besar terhadap rezim militer – meskipun korup, melanggar HAM berat, dan pendudukan Timor Leste – karena bagi Amerika tidak peduli “kucing apa, yang penting bisa menangkap tikus” komunis. Dan bagi kalangan posivistik-modernis, untuk menumbuhkan industrialisasi dibutuhkan negara yang otoriter birokratik yang terdiri para teknokrat yang mempersiap situasi bagi sirkulasi modal asing, artinya seperti yang diungkapkan oleh Mansour faqih (1996), bahwa modernisasi dan developmentalisme adalah “bungkus baru dari kue lama” kapitalisme. Dengan demikian, pembangunan juga dilihat sebagai ideologi dominan baru yang tidak memungkinkan bagi Dunia Ketiga mencapai demokratisasi dan transformasi di bidang apapun yang meliputi bidang ekonomi, politik, kultur, gender dan lingkungan hidup termasuk hubungan pengetahuan/kekuasaan (knowledge/power relation).
Namun karena Perang Dingin usai, high cost production akibat pemerintahan rezim militer yang korup, serta Dunia Ketiga harus di-“demokratis”-kan dalam pengertian liberal, khususnya di bidang ekonomi sehingga menghilangkan berbagai hambatan, seperti tarif, proteksi, budaya dan lainya, Amerika mulai mencabut dukungan terhadap rezim militer. Ketergantungan yang tinggi terhadap dollar AS, mengakibat gangguan dalam sistem moneter berdampak pada krisis ekonomi dan politik, seperti yang dialami oleh Orde Baru di tahun 1997, yang berdampak kekuasaan ekonomi dan politik IMF di Indonesia menjelang akhir pemerintahan Soeharto dan pemerintahan-pemerintahan penggantinya.
Namun, fenomena-fenomena lanjutan pasca Perang Dingin menunjukan munculnya tantangan atas globalisasi berserta dominasi dan hegemoni Amerika Serikat dalam beberapa hal: Pertama. Tantangan dari regionalisme atau blok perdagangan, terutama sekali Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang sesungguhnya coba disaingi oleh Amerika lewat NAFTA (North America Free Trade Area) dan APEC (Asia Pasisic Economic Corporation) dengan AFTA (Asia Free Trade Area)-nya. Selanjutnya pasar bebas global kacau dengan munculnya FTA (Free Trade Area) antar negara dan dalam regionalisme seperti di Eropa Bersatu (Uni Eropa) dan ASEAN dengan China – rencananya menyusul dengan India – yang berdampak dua sekutu Amerika di Asia –Korea Selatan dan Jepang – kebakaran jenggot dan tergopoh-gopoh ingin seperti China. Maka di depan mata sangat mungkin tercipta komunitas Asia Timur yang sanggup menandingi Uni Eropa dan Amerika. Kedua. Tantangan dari kekuatan-kekuatan nasional, terutama dari China, yang semakin menjadi ancaman secara ekonomi, politik dan kemiliteran Amerika berserta sekutunya di wilayah Asia Pasifik khususnya. China cukup siap menghadapi globalisasi, keikutsertaan China dalam WTO (Word Trade Organization) bukan wujud ketertundukannya terhadap kapitalisme internasional, tetapi justru mempergunakan sarana kapitalisme internasional untuk menjual barang produksinya, artinya di China kapitalisme tidak pernah dihancurkan tetapi dikontrol, seperti yang nampak pada resolusi kongres PKC beberapa waktu yang lampau yang mengijinkan warga kelas kapitalis menjadi anggota PKC. Munculnya kekuatan-kekuatan nasional yang menentang dominasi Amerika, akhirnya menimbulkan pertanyaan akankah kritik atas kapitalisme pasca Perang Dingin tidak hanya melahirkan kemenangan partai-partai sosialis dan partai pekerja (buruh) dengan basis ideologi sosial demokrasi di Eropa tetapi juga memunculkan national question baru yang akan memunculkan nasional demokrasi kerakyatan ? Ketiga. Krisis moneter di Amerika. Dollar AS semakin turun nilai tukarnya terhadap euro, mata uang Uni Eropa, yang kini mendorong banyak negara mengganti nilai tukar mata uangnya dari dollar AS ke uero.
Pertanyaan bagi Indonesia adalah apa prasyarat obyektif Indonesia untuk ikut dalam perdagangan bebas, apakah itu merupakan bagian dari marketing ataukah keharusan yang harus diterima. Dan bagaimana kesiapan negara, masyarat dan perekonomian Indonesia menghadapi perdagangan bebas?. Ataukah kita akan menolaknya, secara langsung atau secara parsial dan bertahap ?
Para pengusaha menyatakan siap mengikuti pasar bebas, dikatakanya ketidaksiapan ada di pihak pemerintah. Hal-hal yang sering disebut menjadi kendala bagi kalangan usaha – yang disebabkan pemerintah - antara lain, bunga yang tinggi; pajak yang tinggi; tidak adanya konsep dari pemerintah (regulasi, pemetaan persaingan internasional, Undang-undang) yang complemented bagi dunia usaha, justru kebijakan pemerintah kontraproduktif dengan dunia usaha karena tidak ada sistem kebersamaan antara pemerintah dengan pengusaha; Hight cost production yang disebabkan KKN; dan krisis moneter.
Namun juga terlalu berlebihan jika dikatakan pengusaha Indonesia telah siap, selain karena mereka tumbuh dalam tradisi yang dikembangkan oleh Orde Baru yaitu monopoli, oligopoli, nepotisme, kolusi dan korupsi – maka banyak pengusaha yang menjadi fungsionaris Golkar di masa Orba dan fenomena baru menunjukan mereka mengincar kursi legislatif dan eksekutif yang berarti akumulasi modal dan laba tertinggi didapat dari proyek negara dan hutang luar negeri atau modal asing yang berarti melanggengkan ketergantungan lumpan borjuis terhadap borjuis international/transnasional - para pengusaha juga memiliki kelemahan berupa lemahnya inovasi; lemahnya research development; lemahnya SDM; lemahnya daya saing; lemahnya manajemen mutu; dan lemahnya standarisasi tekhnologi. Dan jika berbagai kelemahan tersebut hendak ditutupi dengan strategi kolusi atau menguasai negara, dan menjadi komprador untuk mencukupi lemahnya permodalan maka borjuasi Indonesia tidak mempunyai watak progresif.
Hingga sekarang praktis pembangunan infrastruktur negara dan perekonomian masih sangatlah lemah dan wacana yang berkembang masih menunjukan bahwa bagaimana kita ikut pasar bebas dan perbaikan ekonomi nasional yang diukur dari turunnya inflasi dan suku bunga serta kestabilan moneter, sebuah pemikiran yang merefleksikan ketergantungan atas modal asing (dollar), padahal perbaikan harusnya tertuju kepada ekonomi riil masyarakat yaitu pekerjaan dan kesempatan kerja, yang itu secara nasional nantinya terlihat dalam besarnya investasi, ekspor dan domestic demand. Soal investasipun seharusnya bersandar pada formasi sosial dan formasi kapital seperti apa yang hendak dibangun, dan bagaimana persoalan transisi dan transformasinya, sehingga tidak seperti tambal sulam demi investasi dan pasar bebas.
Modal adalah persoalan penting dalam pembangunan dalam negeri, khususnya modal asing memiliki signifikansi dalam mode of production post colonial yang telah menciptakan negara dan masyarakat dalam kapitalisme pinggiran yang terhisap oleh kapitalisme pusat semenjak masa kolonial. Bagi pemerintah Indonesia, pasca proklamasi, Amerika dan modal asing tetap faktor penting, wakil presiden M. Hatta mengatakan (Anderson; 1988), terlebih2 Amerika Serikat jang oleh seloeroeh Asia dan teroetama oleh Indonesia diharapkan akan dapat memberi pertolongan jang sebesar-besarnja dikemoedian hari, di dalam oesaha bangsa Indonesia memadjoekan negaranja serta penghidoepan rakjatnja. Oempamanja dengan pertolongan indoestri besar Amerika serta kredit Amerika dan pembelian barang mentah jang banyak itoe.....malahan kita mengetahoei dan mengerti benar, bahwa oentoek keperloean negeri dan bangsa kita di dalam beberapa tahoen jang akan datang ini, kita akan memerloekan pertolongan bangsa asing di dalam pembangoenan negeri kita berupa kaoem teknik, dan kaoem terpeladjar, poen joega kapital asing........Segala milik bangsa asing selain daripada jang diperloekan oleh negara kita oentoek dioesahakan oleh negara sendiri, dikembalikan pada jang berhak, serta jang diambil oleh negara akan dibajar keroegiannya. Hal senada juga disampaikan perdana menteri Sutan Sjahrir (1945), selama alam kita alam dunia kapitalis, terpaksa kita menjaga jangan sampai dimusuhi oleh dunia kapitalis itu, jadi membuka negara kita menjadi lapang usaha mereka sedapat mungkin, yaitu dengan batas bahwa keselamatan rakyat tidak akan terganggu olehnya. Demikian pula terhadap pemasukan orang-orang asing ke dalam negeri kita. Di dalam masyarakat yang berdasar demokratis yang kuat dan sehat, segala ini dapat dipikul dengan mudah, dengan tak perlu menimbulkan pembencian golongan-golongan berdasar atas kebangsaan. Berbeda dengan kalangan oposisi yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat yang kemudian menjadi Persatuan Perjuangan, yang progamnya bersandar pada pemikiran Tan Malaka, yang menyatakan bahwa Indonesia dapat keluar dari cengkeraman imperialisme lewat gerilya (perlawanan bersenjata), politik (persatuan perjuangan, rezim pejuang, memanfaatkan konflik/kontradiksi internasional), dan ekonomi (Rencana Ekonomi Berjuang: nasionalisasi, koperasi, boikot dan mogok). Namun akhirnya akhir episode perang revolusi kemerdekaan dimenangkan oleh mereka yang menghendaki berkompromi dengan Amerika- Inggris-Belanda.
Setelah pengakuan kedaulatan, pemerintahan Soekarno menolak mengambil jalan kapitalis, - meski mengijinkan perusahaan asing beroperasi kecuali Inggris dan Belanda akibat Trikora dan Dwikora – Soekarno mengumandang ekonomi berdikari dan berseru: “go to hell with your american aid`s”: Tetapi Soekarno juga tidak menempuh pola pembangunan sosialis sepenuhnya. Sedangkan di masa Orde Baru, modal diambilkan lewat hutang luar negeri dan investasi di relokasi industri, sedangkan pemerintahan-pemerintahan pengganti Orde Baru praktis secara ekonomi masih bercorak irasionalitas orbais-soehartois: “Ketidakmengertian akan masa lalu, dan kebingungan akan masa depan. Kepercayaan akan kekayaan Indonesia sekaligus kepasrahan tentang kemiskinannya.”
Yang berbeda dengan di masa Orba, dimana eksekutif, birokrasi, legislatif, yudikatif dan masyarakat sipil sepenuhnya dalam kontrol eksekutif (presiden Soeharto). Sedangkan di masa Abdurahman Wahid hingga sekarang, praktis eksekutif harus berhadapan dengan kekuatan mandiri legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer. Artinya prediksi ekonomi politik SBY-JK adalah fenomena eksekutif, sedangkan fenomena negaranya kita harus memprediksikan parlemen, birokrasi dan militer. Namun pengalaman sebelumnya pada pasca Soeharto menunjukan hampir tidak ada pertikaian di internal legislatif maupun legislatif dengan eksekutif yang berkaitan dengan kebijakan liberalisasi ekonomi produksi. Lihat saja mesti banyak ditentang oleh elemen-elemen masyarakat sipil, DPR dan pemerintah tetap mensahkan serangkaian peraturan perundangan yang berkaitan dengan sumber-sumber daya agraria, perburuhan, privatisasi, pencabutan subsidi dan sebagainya, yang dipandang berdampak buruk terhadap bangsa, negara, dan rakyat Indonesia
Selain dengan parlemen, eksekutif juga harus menyesuaikan anggaran belanja dengan kebutuhan pertahanan – berbeda dengan Jepang, Korea Selatan, Jerman Barat, Brunei dan sebagainya yang pertahanannya di tanggung oleh Amerika dan Inggris (atau NATO – North Atlantic Teatry Organizations) – yang diajukan TNI. Penelitian yang dilakukan Talukder Maniruzzaman (1998), menyebutkan, sebuah negara yang sedang berkembang jarang sekali mampu memberikan senjata-senjata yang paling canggih dan efektif kepada para serdadunya Meskipun dalam kenyataannya, anggaran belanja untuk tentara merupakan bagian terbesar dari pengeluaran tahunan negara Dunia Ketiga. Bahkan kalaupun senjata-senjata mutakhir bisa dibeli, kebanyakan negara berkembang tidak mampu mengadakan latihan militer dengan memakai senjata-senjata tersebut karena mahalnya ongkos latihan serta peralatan-peralatan penunjang. Artinya kemudian diperlukan upaya memasukan aspirasi demokrasi dalam strategi pertahanan dan keamanan dalam kerangka konsolidasi demokrasi, sehingga memungkinkan munculnya alternatif strategi pertahanan yang tidak mahal, intelijen yang terpantau, mendorong reformasi TNI dan yang lebih penting adalah tidak mengulangi kesalahan menjadikan militer sebagai anjing penjaga modal serta kesalahan kontrol subyektif terhadap militer, misalnya Dewan Keamanan Nasional sebagai pelengkap Dewan Ekonomi Nasional, yang berarti stabilatas ekonomi akan ditopang oleh security approach (cara-cara militeristik).
Untuk itulah menjadi tidak relevan jika Dewan Ekonomi Nasional, ruang koordinasi antara pemerintah dan pengusaha, tetapi harus melibatkan pekerja, maka Undang-undang Dewan Ekonomi perlu dilengkapi dengan Undang-undang Dewan Pekerja dan Undang-undang Partisipasi Pekerja.
Di Indonesia sampai sekarang nasib buruh atau pekerja masih menyedihkan, apalagi nasib para TKI. Meski sudah banyak muncul serikat pekerja, akan tetapi kesadaran politik pekerja masih tetap lemah, dan PHK adalah ancaman nyata pekerja akibatnya tingginya angka pengangguran pada sektor miskin kota dan keluarga petani miskin di desa. Proses pemiskinan struktural akibat kebijakan ekonomi yang membawa kontradiksi antara industri besar dengan industri ringan dan pertanian.
Industrialisasi adalah jawaban bagi peningkatan investasi, ekpor dan domestic demand, akan tetapi industrialisasi tidak boleh menjadi sesuatu yang utama, melainkan harus menjadi penggerak sektor-sektor ekonomi rakyat – usaha mikro, kecil, dan menengah serta pertanian – yang merupakan fundamental ekonomi.
Selama ini industrialisasi menyimpan kontradiksi dengan sektor industri ringan (usaha mikro, kecil, dan menengah) dan sektor pertanian yang membawa dampak kontradiksi antara kota dan desa – termasuk juga daerah maju dengan daerah tertinggal. Contoh kontradiksi antara industri dengan pertanian: Perluasan industrialisasi berdampak pada semakin bertambah sempitnya lahan pertanian; pertanian menghamba pada industri; pertanian organik (organic farming) menjadi rusak karena pertanian harus memakai produk industri dan mengakibatkan lemahnya produktifitas serta harga produksi pertanian rendah. Sementara itu barang konsumsi produk industri tinggi sehingga menguras penghasilan rendah petani. Kemiskinan petani yang massif berdampak turunnya penjualan barang produksi industri.
Kontradiksi antara kota dengan desa (di desa minus kapital sedangkan di kota surplus kapital), hal ini berdampak pada terasingnya petani dalam distribusi hasil pertanian, petani rela menjual rendah hasil pertanian kepada tukang ijon atau tengkulak karena minus kapital serta terjebak pada rentenir. Kemiskinan di desa dan tidak prospektifnya pertanian mengakibatkan urbanisasi di kota-kota dan bergerak di sektor-sektor informal. Lemahnya produktifitas pertanian menjadikan alasan bagi pemerintah untuk mengimport produk pertanian yang justru menjatuhkan harga produk pertanian; Surplus kapital di kota, mendorong perluasan kota dan terjadinya artikulasi cara-cara produksi, dimana sektor pertanian diganti dengan ruko atau perumahan. Jika artikulasi cara-cara produksi memunculkan industrialisasi, maka posisi kelas petani tetap jelas, yaitu menjadi buruh (kelas proletariat), tetapi jika pertanian dijadikan ruko, perumahan, lapangan golf, dan sebagainya maka yang muncul adalah masyarakat declasses (lumpan proletariat) yang fenomenanya dapat kita lihat dalam kaum miskin kota: Pedagang Kaki Lima (PKL), premanisme, dan sektor informal lainya.
Kepasrahan PKL terhadap ancaman penggusuran adalah sikap atas ketertundukan kepada dominasi dan hegemoni negara, yang diawali rasa takutnya terhadap hukum. Kalaupun ada sering muncul perlawanan dari PKL ataupun rakyat miskin perkotaan yang digusur lebih dikarenakan matinya harapan. Penggusuran bukanlah jawaban, meskipun penggusuran adalah cermin masuknya investasi di kota, tetapi jika industri ringan (usaha mikro dan kecil) dan pertanian digulung maka sektor informal akan tetap muncul.
Maraknya pembangunan mall menunjukan pesatnya laju investasi, tetapi investasi yang hanya memacu konsumsi warga, juga pembangunan mall yang dibarengi massifnya penggusuran terhadap PKL, konflik dengan warga sekitar, menggusur lembaga pendidikan dan sebagainya, hanya akan mendorong ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Soe Hok Gie di masa awal Orde Baru membuat tulisan mengkritik pemerintah dengan judul “Betapa Tidak Menariknya Pemerintah Sekarang”. Soe Hok Gie memandang Soekarno mampu membawa antusiasme rakyat, berbeda dengan Orde Baru, yang pejabatnya secara penampilan dan materi yang disampaikan membosankan. Hal itu tentu bisa dijadikan pelajaran bagi pemerintahan sekarang bagaimana mendorong partisipasi bukanya antipati rakyat. Artinya pembangunan kota harus melibatkan public critical rational discourse, dan secara teknis bahwa pemerintah tidak bermaksud menelantarkan rakyat harus di buktikan lewat pembangunan pusat ekonomi baru, tempat-tempat penyerapan PKL dan revitalisasi pasar tradisional bagi solusi pemberdayaan kewirausahaan PKL. Namun untuk berkembang secara ekonomi khususnya relokasi di daerah yang masih mau dikembangkan pemerintah harus mempunyai kebijakan transisi yang transformatif. Secara teknis bisa saja untuk pemberdayaan dibentuk Biro UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di birokrasi dan center for industrial strategy untuk merencanakan industrialisasi dan subsidi yang lebih fokus dan nyata, misalnya KTP yang pembikinannya bisa agak mahal tetapi dapat berfungsi sebagai subsidi kesehatan, dan sebagainya. Namun yang lebih penting untuk menangani kemiskinan, pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan (general contruction) harus jelas untuk mengatasi berbagai kontradiksi tersebut.
Pertama. Pembangunan harus mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi antara pemerintah, sektor bisnis dan sektor rakyat. Untuk itu harus terjadi kolektivitas antara sektor bisnis (modal, industri dan perdagangan), sektor rakyat (produsen: industri ringan dan pertanian), pemerintah (regulator) dan intelektual (entepreuner policy). Kedua. Prinsip pembangunan selain kolektivitas adalah independensi, yaitu berdikari dan merdeka dari aspirasi dan pengaruh imperialisme, berpegang pada potensi dan kearifan lokal (indegeneous knowledge), Ketiga. Tujuan pembangunan adalah pemberantasan kemiskinan absolut, memenuhi kebutuhan rakyat, membuka lapangan kerja, national and character building lewat pembentukan formasi sosial dan formasi kapital untuk merubah mode produksi post kolonial, status semi kolonial, dan demokratisasi. Demokrasi harus dimaknai bukannya liberalisme vulgar, tetapi kritisme masyarakat terhadap negara dan cara produksi serta pemerintahan yang berorientasi kerakyatan, perjuangan kerakyatan adalah mengembalikan apa yang menjadi hak dari buruh dan petani kita. Yang kita maksudkan dengan Hak adalah kemampuan petani untuk memproduksi kembali melalui kepemilikan tanah produktif oleh petani menggantikan kepemilikan tunggal oleh perusahaan-perusahaan perkebunan besar. Bagi buruh, tidak ada jalan lain kecuali memaksa sang kapitalis untuk merubah manajerial pabrik dengan kesejahteraan buruh sebagai dasar hubungan produksi yang menguntungkan. (Manifesto Politik Front Perjuangan Pemuda Indonesia).
Negara harus mampu menghilangkan hambatan-hambatan pada sektor industri, perdagangan dan modal, serta merencanakan dan mengontrol industrialisasi, perdagangan dan modal, Lewat center for industrial strategy dan mensosialisasikan industri (industri dalam kontrol sosial). Go public bukan dalam pengertian privatisasi, tetapi pada pengkoperasian. Tak kalah pentingnya adalah kesejahteraan dan perlindungan terhadap buruh untuk menghilangkan kontradiksi pengusaha dengan buruh. Hal yang paling mendasar adalah bahwa upah harus bersandar pada kebutuhan primer dan sekunder buruh serta menjadi prioritas pembangunan, karena selama ini upah buruh bersandar pada kebijakan relokasi industri berbasis upah buruh murah sebagai keunggulan komparatif, dan bersandar pada sisa nilai lebih yang di curi kapitalisme dan digunakan menutup biaya siluman, dimana biaya siluman tersebut (rente tersebut) kini telah menjadi modal yang terakumulasi dan menghasilkan laba).
Perjuangan demokratik dalam hubungan internasional adalah dengan negara yang menolak intervensi asing, dengan negara membawa perjuangan nasional di tingkatan internasional dengan mempelopori pembentukan wilayah pertukaran dan wilayah hegemoni tersendiri (komunitas demokratik) dalam rangka renegosiasi sistem ekonomi-politik internasional. Pemerintahan SBY-JK harus mendukung komunitas Asia Timur, karena jika tidak maka Indonesia yang digilas roda globalisasi.
Untuk mengatasi kontradiksi antara industri besar dengan industri ringan dan pertanian, yang diperlukan adalah : Satu. Industri dasar-berat-besar mendukung industri ringan dan pertanian. Dua. Investasi ke industri ringan dan pertanian agar modalnya lebih besar dari industri besar sehingga menciptakan fundamental ekonomi. Tiga. Reforma agraria dan pembangunan desa terpadu yang mampu mencukupi kebutuhan pokok rakyat, membuka kesempatan kerja, diversifikasi ekonomi desa, menggerakan proses industrialisasi di desa dan peningkatan pendapatan.
Persoalan pertanian dan agraria lainya adalah hal yang signifikan dan fundamental, karena kegagalan sektor pertanian dan permasalahan-permasalahan agraria akan berdampak pada ekonomi kolektif .
Pemaparan diatas menyarankan pemerintah hendaknya tidak semata-mata memberi penekanan terhadap pendekatan moneteris, tetapi lebih ke pendekatan strukturalisme, yang berorientasi - menurut Wisnu Agung Prasetya (2004) - pada strukturisasi dan re­strukturisasi ekonomi disertai intervensi mengatur dan mengontrol mekanisme pasar. Pertama. Restrukturisasi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi. Kedua. Restrukturisasi alokatif: Menyangkut alokasi dana-dana pembangunan, baik dana anggaran nasional ataupun daerah, baik yang berasal dari perbankan ataupun dari lembaga-lembaga non-bank. Ketiga. Restrukturisasi spasial (spatial): Restrukturisasi ini diperlukan antara lain untuk mencapai pemerataan dan keseimbangan pembangunan serta pertumbuhan antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, antara Jawa dan luar Jawa, antara perkotaan dan perdesaan, dan seterusnya. Keempat. Restrukturisasi sektoral: Hal ini diperlukan terutama untuk mencapai keseimbangan dinamis antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor formal-modern dan sektor informal-tradisional, antara sektor-sektor yang grassroots-based dan yang non­grassroots-based. Kelima. Restrukturisasi perpajakan: Selain berperan sebagai sumber penerimaan negara, pajak adalah sarana redistribusi. Pada dasarnya pajak harus progresif untuk mempersempit kesenjangan. Khususnya terhadap kekayaan dan pemilikan barang mewah harus dikenakan pajak kekayaan secara progresif. Sebaliknya terhadap kelompok miskin yang memerlukan pemberdayaan diberikan subsidi atau proteksi. Pajak merupakan insentif untuk kegiatan produktif dan disinsentif terhadap konsumsi mewah. Keenam. Restrukturisasi strategis: Restrukturisasi ini untuk memperkukuh kemandirian ekonomi, mengurangi dependensi dan meningkatkan interdependensi resiprokal yang seimbang dan diperlukan untuk memperkukuh fundamental ekonomi. Dengan restrukturisasi strategis ini perekonomian nasional diarahkan untuk berakar di dalam-negeri dan menjadi people-centered dan resources-based.
Sebagai penutup, globalisasi harus kita songsong dengan tetap menjadi negara semi kolonial atau dengan negara revolusioner, rezim pejuang yang akan menjalankan rencana ekonomi berjuang.

Daftar Pustaka
Ahmad Rosadi Harahap, Tantangan Ekonomi Dunia dan Terorisme, Kompas, Kamis 25 November 2004
Anderson, Ben, Java in A Time of Revolution, Occupation and Resistance 1944-1946, Cornel University Press,1972, terjemahan Jiman Rumbo, Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan Pertama, 1988
Bakaruddin Rosyidi Ahmad, Pemikiran Marx Tentang Alienasi : Sejarah Metode dan isi, Tesis Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 1991
Bonnie Setiawan, Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga, Teori-teori Radikal dari Klasik sampai Kontemporer, Insist Press, KPA, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan I, 1999
Crouch, Harold, Army and Politics in Indonesia, terjemahan Th. Sumartana, Militer dan Politik di Indonesia, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan pertama,1986
Djauhari Oratmangun, Sejarah Perkembangan WTO dan Deskripsi Isi Perjanjiannya, Disusun sebagai materi diskusi interaktif bertema “Implikasi Perjanjian WTO Terhadap Pengembangan Ekonomi Daerah”, Yogyakarta, 27 Oktober 2001, Direktorat Kerjasama Ekonomi Multilateral Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri Republik Indonesia, 2001
Farchan Bulkin, Negara, Masyarakat dan Ekonomi, Prisma, No. 8, 1984
Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Manifesto Politik Front Perjuangan Pemuda Indonesia, 2000
Hermawan Sulistyo, The Forgotten Years: The Missing History of Indonesia`s Mass Slaugter (Jombang-Kediri 1965-1966), Arizona State University, terjemahan: Suaedy, Uchi Sabiri, Syafiq, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), Keputakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000
Isaak, Robert A, International Political Economy, terjemahan Muhadi Sugiono, Ekonomi Politik International, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 1995
Kahin, Audrey R, Kahin, George McT, Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia, New York Press, New York, 1995, terjemahan R.Z. Leirissa, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri, Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Pertama, Jakarta, 1997
Maniruzzaman, Talukder, Military Withdrawal from politics a comparative studie, terjemahan Ashintya D. Sukma, Militer Kembali ke Barak, Sebuah Studi Komparatif, Cetakan Pertama, PT Tiara Wacana, Yogya, Yogyakarta, 1998
Mansour Faqih, The Role of Non-Governmental Organizations in Social Transformation: A Participatory Inguiry, Disertasi UNivesity of Massachusetts, Amherst, 1996, terjemahan Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial. Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1996
Muhadi Sugono, Restructuring Hegemony and the Changing Discourse of Development, terjemahan Cholish, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
Vilas, Carlos M, Perfiles de la revolucion Sandinista: Liberacion nacional y tranformaciones socials en Centroamerika, Legasa S.R.I, Buenos Aries, terjemahan Inggris The Sandinista Revolution, Monthly Review Press N.Y, Center for the Study of Americas, CA, terjemahan Ira Iramanto, Revolusi Sandinista, Revolusi Nasional dan Transformasi Sosial di Amerika Tengah, naskah tidak diterbitkan, tt

Wednesday, October 18, 2006



Perkembangan Islam dan Konsolidasi Kekuasaan di Jawa:
Berdirinya dan Konsolidasi Kekuasaan Mataram

Oleh : Gunawan


Yogyakarta
2004


A. Alasan Pemilihan Judul

Mengapa judul diatas layak dikemukakan adalah ketika seolah masyarakat Indonesia terbelah dalam pembagian Clifford Geertz: “Santri; Abangan; Priyayi”. Santri mewakili tradisi Islam – meski istilah santri lahir dari istilah cantrik dalam tradisi Hindu – sedangkan priyayi dan abangan mewakili tradisi Jawa. Dalam konteks pelajaran sejarah, para “santri” membaca Tarikh sedangkan “Jawa” membaca Babad.
Dampaknya bagi sejarah dan perkembangan masyarakat adalah the dark side of history, karena banyak penggalan sejarah yang hilang, sejarah Islam kehilangan pijakannya karena terpisah dengan ke-jawa-annya. Dan sejarah Jawa, kehilangan spiritualitasnya karena terlepas dari ke-islamanya. Maka the dark side of history perkembangan masyarakat Jawa adalah juga the dark side of humanism. Karena masyarakat memiliki globalitasnya sendiri sebagai ruang dialektika antar berbagai pandangan, keyakinan, ideologi dan sistem kebudayaan yang menunjukan emansipatoris kemanusiaan, maka penghilangan prinsip-prinsip dialektika – kontradiksi cara produksi, ide dan emansipasi - dalam sejarah, menjadikannya sekedar cerita yang menidurkan semangat gerak kemanusiaan.
Mataram (baca: Mataram Islam) adalah contoh kongret dari the dark side of history dan the dark side of humanism. Dalam sejarah “Islam”, Mataram seolah hanya kelanjutan dari kisah jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan Islam, sehingga seolah menjadi sejarah keadminitratifan - yang lahir dari pandang kaum positivis pengusung rasionalisme birokratik - tanpa pernah menyentuh isi kehidupannya. Sedangkan dalam sejarah “Jawa”, Islam seolah menjadi artifisial belaka yang menyertai sebuah periode kekuasaan, dalam artian muncul sepintas lalu dalam sebuah episode sejarah yang puritan dan xenophobis.
Gambaran yang lebih menyeluruh sejarah – termasuk juga – Mataram justru muncul dari sejarawan Barat di mulai dalam masa periode kolonial. Artinya sejarah Indonesia adalah sejarah temuan, untuk itu diperlukan upaya rekontruksi atas historisitas dan historiografi Indonesia. Sejarah Indonesia adalah produk dari sejarah kolonial, meski telah muncul kajian sejarah post colonial, tetap harus mengingat status semi kolonial pada post colonial Indonesia kontemporer, yang berarti negara, masyarakat, cara produksi dan sistem pengetahuan serta sejarah tetap di bawah hegemoni dan dominasi Barat.
Karena hal itulah menjadi perlu untuk membangun metode baru dan kajian-kajian kritis atas sejarah dan perkembangan masyarakat, bahkan pembangunan teori-teori sosial baru, yang di susun oleh orang Indonesia sendiri.

B. Tujuan Penelitian
Melakukan cultural studies melalui sebuah riset sejarah dalam rangka menemukan sebuah dialektika dari perkembangan Islam dan konsolidasi kekuasaan dengan studi kasus Mataram Islam.
Melakukan pendokumentasian sejarah.
Mempopulerkan kembali cerita sejarah lokal yang tengah tenggelam dalam budaya popular yang serba Barat, serba materialistik, dan serba konsumtif.

C. Latar Belakang Masalah

Sejarah Jawa paling tidak bersumber pada Babad dan sejarah lisan atau tutur. Sumber berikutnya adalah hasil dari penelitian sejarah, yang sering juga menggunakan sumber Babad dan sejarah lisan juga menggunakan beberapa peninggalan sejarah dan penemuan arkeologi termasuk juga laporan dari orang-orang Barat, khususnya orang Portugis, Belanda dan Inggris.
Penelitian orang Barat, terutama H.J De Graff sedikitnya telah mampu merekontruksikan perkembangan Islam dan konsolidasi kekuasaan di Jawa, sebut saja hasil risetnya yang telah di Indonesiakan : “Pertama. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Kedua. Awal Kebangkitan Mataram. Masa Pemerintahan Senapati. Ketiga. Puncak Kekuasaan Mataram. Politik Ekspansi Sultan Agung.”
Kelemahan dari studi De Graff justru terletak diwilayah geografis Mataram itu sendiri dalam pengertian studinya atas perkembangan Islam dan konsolidasi kekuasaan Mataram. Misal saja De Graff hanya sepintas saja menceritakan ekspansi Ki Ageng Pamanahan atas penduduk Mataram dan ekspedisi ke Giring. Bahkan tidak memasukan ekspedisi Mataram di bawah Senapati anak Pamanahan ke Mangir.
Sisi lain yang belum diungkap oleh banyak peneliti mengapa Mataram - yang juga termasuk tanah mahkota Majapahit – dan juga Giring serta Mangir luput dari ekspedisi penaklukan Sunan Kudus di masa Demak, padahal ekpedisi tersebut telah berhasil menaklukan Pengging (timur Mataram) dan Pasir (barat Mataram). Serta bagaimana posisi makam keramat Syekh Jumadil Kubro dan makam Syekh Bela Belu serta makam Syekh Maulana Maghribi dengan pengislaman penduduk Mataram, mengingat islamisasi berbarengan dengan ekspedisi Pamanahan membuka hutan Mentaouk (Mataram).
Kalau kekuasaan awal Mataram di pandang kurang bercorak Islam, walaupun memiliki klaim legitimasi dari Sunan Kalijaga. Namun di masa kejayaanya (masa Sultan Agung), gelar raja telah memakai gelar Islam (Arab) sultan dan wacana Mataram-Mekah dalam kasus rutinitas raja dalam sholat Jum`at dan pembangunan kompleks makam Imogiri.
Dari pemaparan di atas menunjukan adanya episode sejarah yang terpenggal dan perlunya untuk pendokumentasian baru dalam rangka rekontruksi atas historiografi dan historisitas sejarah di Indonesia.

D. Landasan Pemikiran

Anthony Reid menjelaskan bahwa Jawa sebagai kasus khusus. “Kekuatan kejawen, atau Jawaisme yang langgeng menyebabkan wilayah-wilayah yang berbahasa Jawa tampak unik di antara budaya-budaya Islam. Dalam zaman modern (terlebih dalam tahun 1950-an di banding tahun 1980-an) tidak sulit menemukan aristokrat muslim nominal Jawa yang percaya bahwa islamisasi Pulau Jawa merupakan suatu bencana budaya dan bahwa tradisi yang lebih tua mengenai meditasi dan asketisme adalah jalan yang lebih benar untuk mencapai yang suci dibandingkan dengan syari`ah. Penelitian belum lama ini (Ricklefs 1979; Kumar 1980: 12-16: Kumar 1985: 6-7) membuktikan bahwa jurang budaya yang di bentang dengan jelas oleh Geertz (1960) antara para aristokrat kejawen dengan muslim taat (santri) sebagian besar disebabkan karena tekanan intelektual Belanda selama seabad sebelumnya dan oleh moralisme baru kaum reformis Islam. Jawa di abad ke-17 belum merupakan kasus khusus dibandingkan perkembangan kemudian di awal abad ke-20. Meskipun demikian, dalam dua hal Jawa berada pada satu spektrum. Jawa memiliki budaya keraton yang paling berkembang di banding kerajaan-kerajaan lain yang menerima Islam, dan penolakannya untuk terlibat dalam jaringan Islam internasional dalam abad ke-17 adalah lebih mendalam dibandingkan dengan lainnya”[1].

E. Jangkauan Penelitian dan Pendokumentasian

Secara geografis meliputi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk melacak leluhur pengislaman dan konsolidasi kekuasaan Mataram, serta DIY untuk fokus studi utama yaitu pembukaan kembali Mataram (masa Ki Ageng Pamanahan), konsolidasi Mataram (masa Panembahan Senapati) dan kejayaan Mataram (masa Sultan Agung)
Sedangkan untuk bentangan sejarahnya, untuk bisa memahami latar belakang Mataram, terutama sekali para leluhurnya dan pengislamanya, sedikit akan diurai pengislaman Jawa, dan beberapa kerajaan pra Mataram.

F. Pembahasan

I. Pengislaman Jawa, Pan Islamisme, dan Fundamentalisme

Menceritakan bagaimana ajaran Islam masuk ke Jawa. Baik secara mitos, legenda maupun berdasarkan bukti-bukti sejarah. Jika hal-hal itu dirangkai maka ada beberapa kelompok cerita.
Pertama. Mitos Aji Saka. Seperti diceritakan dalam Manikmaya (salinan Panambangan, 1981 : 295) disebutkan bahwa Aji Saka - dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad (yang hidup pada akhir abad VI - pertengahan abad VII). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad (Graff 1989 : 9) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII (sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit[2].
Kedua. Cerita putri Campa dan Para Keponakannya[3]. Putri Campa adalah seorang putri dari Campa Kamboja yang diperistri raja Majapahit (Prabu Brawijaya).Setelah dinikahi Brawijaya, putri Campa tersebut bergelar ratu Andarawati atau Darawati Di asalnya dia mempunyai saudara perempuan yang menikah dengan orang Arab. Konon orang Arab ini adalah anak Syekh Jumadil Kubra dan masih keturunan Syekh Parnen (Iskandar Zulkarnain). Dia memiliki beberapa nama, antara lain: Raja Pandhita; Sayid kaji Mustakim; Makdum Brahim Asmara; Imam dari Asmara; Maulana Ibrahim Asmara. Konon dia lahir di Arab dan pernikahannya dengan putri Campa saudara Ratu Darawati melahirkan dua orang anak yang kemudian menyusul di Jawa.
Dua orang tersebut bernama Raja Pandhita (Raden Santri atau Sayid Ngali Murtala) dan Pangeran Ngampel Denta (Raden Rahmat atau Sayid Ngali Rahmat atau Arya Sena). Kedatangannya bersama saudara sepupu yang lebih tua bernama Abu Hureirah (Raden Burereh) putra raja Campa. Raja Pandhita kemudian berkedudukan sebagai imam masjid di Gresik, sedangkan Raden Rahmat menjadi imam masjid di Surabaya.
Ketiga. Konsolidasi kekuasaan para pedagang Cina. Para pedagang Cina banyak menetap di pantai utara pulau Jawa, disana selain menjadi pelopor pembukaan dermaga bahkan ada yang kemudian mendirikan kerajaan seperti dalam kasus Demak (Jimbun/Bintara) dan Jepara (Jung Mara).
De Graaf dengan menggunakan berbagai sumber (Barat, Jawa Barat, dan Babad) telah berhasil merekontruksi pendirian Demak dan Jepara[4]. Menurut studinya asal-usul berdirinya Demak Islam berasal dari Cek Kopo dari Moghul (yang dimaksud Mongol) Orang Cina ini (Cek dalam bahasa Melayu adalah Paman) adalah abdi Gresik yang mengabdi ke Demak, yang kala itu masih bawahan Majapahit. Di Demak diangkat menjadi Capitan untuk diutus menaklukan Cirebon. Karena keberhasilannya ia diangkat patih (Pate).
Cucu Cek Kopo yang bernama Cu-Cu, menurut Sadjarah Banten karya Djajadiningrat adalah murid Ngampel Denta yang diutus untuk membikin kompleks muslim di Demak, dan dia berhasil melakukannya di daerah Bintara, oleh penguasa Demak, Lembu Sora di laporkan ke Majapahit, dan Cu-Cu mendapat gelar “Tandha di Bintara”.
Rupanya Cu-Cu kemudian melakukan penggulingan kekuasaan di Demak dan berhasil, akan tetapi tetap menyatakan setia terhadap Majapahit, ini bisa dilihat dari penugasanya oleh Majapahit untuk mengatasi keangkuhan Palembang, keberhasilan di Palembang sehingga ia mendapat gelar dari Majapahit yaitu Arya Sumangsang. Tetapi Palembang membangkang lagi, Cu-Cu kembali diutus dan berhasil hingga diberi gelar baru yaitu Prabu Anom dan anaknya diberi nama Ki Mas Palembang. Setelah Demak berhasil mengalahkan Majapahit, oleh para wali diberi gelar Senapati Jimbun Ngabdu`r-rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama. Kata Jimbun adalah nama salah suatu lokasi di Demak.
Dalam berita Portugis Cu-Cu dikenal sebagai Pate Rodin (blasteran dari Kamaru’d-din dan Badru’d-din) Senior, sedangkan anaknya dikenal sebagai Pate Rodin Junior. Dalam Babad Cu-Cu dikenal sebagai raden Patah, namun dia adalah anak dari Brawijaya dari istri yang berasal dari Cina. Ketika hamil dihadiahkan ke penguasa Palembang, di Palembang Raden Patah lahir. Dalam tradisi Jawa Ki Mas Palembang di kenal sebagai Sultan Trenggana (Sultan Bintara Jimbun) sebagai raja ketiga Demak setelah Raden Patah dan Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor/Jimbun Sabrang), yang juga putra Raden Patah.
Berbeda dengan Babad, berita Portugis justru menunjukan bahwa Dipati Unus (Pate Unus menurut Portugis – mungkin berasal dari kata Yunus) adalah menantu dari Cu-Cu. Orang tua Dipati Unus adalah Cina yang menjadi Buruh di Kalimantan Barat Daya yang kemudian pindah ke Malaka. Dia menjadi sukses dengan menjadi Bajak Laut dan hubungan kekeluargaan, sebut saja Pate Unus pernah meminang putri raja Malaka dan menikah dengan anak Cu-Cu (Raden Patah). Pate Unus kemudian pindah ke Jepara dan setelah membunuh penguasa setempat ia berkuasa.
Kalau merujuk ini maka menjadi wajar kalau Pate Unus bergelar Pangeran Sabrang Lor, yang berarti Pangeran dari seberang utara. Pate Unus memang sangat dikenal dalam berita Portugis, karena serangan Jepara atas Malaka yang gagal.
Di Jepara ada juga kerajaan yang masih memiliki hubungan famili dengan Demak dan Jepara, yaitu Kalinyamat, yang didirikan oleh seorang nahkoda Cina sebuah kapal dagang yang kandas. Dia di Islamkan oleh Sunan Kudus, dan mengabdi pada Demak di masa Trenggana yang kemudian dihadiahi putri Trenggana untuk dinikahi. Cina tersebut kemudian terkenal dengan nama Ki Kalinyamat, sedangkang istrinya dikenal dengan nama ratu Kalinyamat, yang kemudian melanjutkan serangan Jepara terhadap Protugis di Malaka dan Maluku. Ratu Kalinyamat pernah menerima utusan orang-orang Maluku, yaitu dari persekutuan Hitu di Ambon dan Hative yang meminta dukungan untuk menyerang Portugis..
Perluasan Demak dan Jepara ke Jawa maupun luar Jawa dipandang juga bagian dari pengislaman nusantara. Sebuah pengislaman terhadap kekuasaan non Islam, tetapi juga kepada yang murtad (serangan Demak atas Pasir/Banyumas) dan kepada kekuasaan yang menjadi pengikut model Islamnya – pengikut Syekh Siti Jenar - (serangan Demak atas Pengging berserta sekutunya - Tingkir, Ngerang, Butuh). Dan menggagalkan (atau tidak merestui) Sunan Tembayat (Ki Pandanaran) mengkonsolidasikan kekuasaan Islam lain diluar Demak di bagian selatan Jawa Tengah.
Pengislaman atas Jawa dan beberapa tempat di nusantara juga akibat pengaruh dari masjid Agung Demak, sebagai tempat berkumpulnya para Wali, yang mana para imamnya masih famili dengan Putri Campa, terutama keturunan dari keponakannya, Raja Pandhita di Gresik.
Imam pertama masjid Demak adalah putra Raja Pandhita yang bernama Pangeran Bonang (Pangeran Ratu, Pangeran Makdum Ibrahim, Sunan Wadat Anyakra Wati).
Imam kedua adalah cucu dari Raja Pandhita dari anak perempuannya Nyai Agung Pancuran. Imam kedua ini bernama Makdum Sampang.
Imam ketiga masjid Demak adalah adalah anak Makdum Sampang yang bernama Kiai Gedeng Pambayun
Imam Keempat masjid Demak adalah Pangulu Rahmatullah dari Undung anak Nyai Ageng Pambareb yang merupakan saudara perempuan dari Nyai Ageng Pancuran, yang berarti imam masjid Demak keempat ini adalah cucu Ratu Pandhita, keponakan Nyai Ageng Pancuran dan ipar Makdum Sampang.
Imam kelima masjid Demak adalah anak dari Pangulu Rahmatullah yang bernama Pangeran Kudus (Pandhita Rabani/Sunan Kudus).
Yang menarik dari Islam dan kekuasaan di Demak adalah adanya gelar Sultan dan Suronatan. Sunan Kudus menjadi imam masjid Demak adalah karena panggilan dari Syekh Nurullah (Sunan Gunungjati), yang menurut Portugis bernama Falatehan (berasal dari kata Fatahillah) atau Tagaril. Syekh Nurullah adalah yang memberikan gelar Sultan pada Trenggana (Sultan Abdu`l-Arifin). Sebuah gelar untuk menandingi Sultan Salim I Akbar, dari Turki, yang di tahun 1517 berhasil menaklukan Mesir dan mendirikan khalifah Islam. Syekh Nurullah mengetahui soal kekhalifahan Islam ini karena dia pernah tinggal di Makkah dan rupanya ingin membangun pusat kekuasaan (khalifah Islam) untuk menandingi Turki, yang berarti pemakaian gelar Sultan tidak saja untuk menunjukan kesan Islam, tetapi juga internalisasi konflik internasional.
Pada zaman Demak kefanatikan orang yang baru saja memeluk agama Islam dan jiwa kepahlawanan tradisional umat Islam telah mendorong orang yang semula termasuk “masyarakat alim” – yaitu para pengrajin dan pedagang di lingkungan masjid ibu kota dan desa – bergabung menjadi kelompok bersenjata dengan tujuan mempertahankan agama yang benar, memperluas wilayah yang beragama Islam. Dapat diakui bahwa itulah yang merupakan latar belakang terbentuknya kelompok “pangulu bersenjata”, dibawah kepemimpinan Sunan Kudus, yang mana mereka sangat aktif dalam ekspansi Islam[5]. Seperti ikut aktif dalam menyerang dan meruntuhkan Majapahit dan wilayah lainnya. Dapat kita saksikan bagaimana Sunan Kudus membunuh Syekh Siti Jenar dan muridnya, Kebo Kenanga, seorang penguasa Pengging yang merupakan ayah dari Mas Karebet (Jaka Tingkir/Sultan Hadiwijaya).
Maka, masuk akal jika ada dugaan bahwa kelompok pegawai keraton yang setengah militer setengah religius itu (di keraton-keraton Jawa Tengah sejak abad XVII di kenal dengan nama Suranata (penata surau/masjid) adalah peninggalan suatu kelompok “orang alim” yang dipersenjatai dan berasal dari golongan menengah di kota. Mereka berhasil merebut tempat yang paling dekat dengan raja. Inilah mungkin tradisi awal dari fundamentalisme Islam. Seperti telah diurai diatas, kini di keraton-keraton Jawa selalu ada dua masjid, yaitu masjid Agung yang dilingkungan kampung yang bernama Kauman dan satu lagi di Suronatan.

II. Para Leluhur Mataram

Menceritakan para leluhur wangsa Mataram. Seperti halnya Demak, Mataram juga berusaha menghubungkan wangsanya sebagai keturunan Majapahit. Selain itu Mataram juga mencoba menghubungkan wangsanya dengan daerah keramat Medang Kemulan, khususnya daerah Sela (Sesela).
Alkisah Jaka Tarub (Ki Ageng Tarub) – cucu mbah kiai Telingsing (The Ling Sing) pendiri kota Ngundung (Undung) yang kemudian di kenal sebagai Kudus, maka ia di kenal juga bernama Kiai Gede Kudus - berhasil memperistri bidadari yang selendangnya dia curi. Bidadari tersebut bernama Nawangwulan yang perkawinannya dengan Jaka Tarub memperoleh anak Nawangsih yang kemudian menikah dengan raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng.
Konon Lembu Peteng adalah anak Brawijaya yang menikah dengan putri asal Wandan, sebuah suku berkulit kehitam-hitaman. Pernikahan itu terjadi karena Brawijaya mendapatkan wangsit bahwa penyakit kelaminnya akan sembuh bila menikahi putri Wandan. Wangsit itu juga mengatakan bahwa sang anak dari perkawinannya kelak dengan putri Wandan akan menghadirkan bahaya. Maka begitu lahir sang jabang bayi dititipkan ke seorang pengawas sawah yang bernama Kiai Buyut Masahar untuk dibunuh. Karena tidak tega akhirnya Raden Bondan Kejawan dipelihara oleh Kiai Buyut Masahar dan setelah dewasa diantar ke Prabu Brawijaya, pada mulanya Prabu Brawawijaya tidak mengenalinya, begitu dikenalinya kembali kemudian di terima dan dititipkan ke Ki Ageng Tarub yang kemudian dinikahkan dengan putri Ki Ageng Tarub, Dewi Nawangsih. Raden Bondan Kejawan namanya berubah menjadi Lembu Peteng.
Lembu Peteng secara harafiah berarti Kerbau Hitam. Yang ini bisa jadi sanepa dari anak yang lahir dari hubungan gelap. Dalam sejarah Jawa nama Lembu Peteng juga muncul beberapa kali. Pertama, merupakan anak dari Lembu Sora, penguasa Demak yang dijatuhkan Cu-Cu (Raden Patah), dimana kemudian Lembu Peteng dijadikan anak angkat oleh Cu-Cu dan menjadi moyang dari Sunan Tembayat (berarti pendiri Semarang/Sampo to alang). Kedua, anak Brawijaya raja Majapahit dengan putri Campa dan menjadi raja di Gili Mandangin atau Sampang, Madura
Perkawinan Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pandawa yang kemudian menikah dengan putri Ki Ageng Ngerang, yang mana hasil dari perkawinan tersebut lahirlah Ki Ageng Sela, yang merupakan anak tertua dari 6 orang saudara perempuan, yaitu: Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya.
Ki Ageng Sela termasyur ceritanya karena kemampuannya menangkap petir di dekat Masjid Agung Demak sewaktu Pangeran Sabrang Lor (Adipati Unus Jepara) meninggal, yang kini deskripsi dari perwujudan petir tersebut ada di Masjid Agung Demak. Masuknya Ki Ageng Sela ke lingkar kraton Demak bukanlah jalan yang mudah. Ki Ageng Sela mengikuti ujian masuk tamtama Demak dengan memukul hancur kepala Banteng, namun karena ia membuang muka takut terkena cipratan darah banteng, maka ia dianggap gagal karena dituduh penakut.
Maka goncanglah Ki Ageng Sela dan akhirnya bersama beberapa orang melakukan serangan bersenjata ke Kraton Demak, namun di alun-alun ia dihadang panah-panah yang dikeluarkan Sultan, hingga salah satu anah panah mengenai ikat pelana kuda Ki Ageng Sela yang mengakibatkan dia terpental dan melarikan diri karena malu.
Ki Ageng Sela kemudian memiliki 6 orang anak perempuan dan anak ketujuh baru laki-laki. Keenam anak perempuan tersebut yaitu Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba, Nyai Ageng Bangsri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, dan Nyai Ageng Pakisdadu. Sedangkan bungsu lelakinya bernama Ki Ageng Ngenis Ki Ageng Ngenis kemudian berputra atau mempunyai menantu Ki Ageng Pamanahan (Bagus Kacung), yang bekerja sebagai pencari rumput bagi kuda-kuda Demak.
Ki Ageng Ngenis adalah kakak seperguruan dari Mas Karebet (Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya) ketika berguru pada Sunan Kalijaga. Maka ketika Hadiwijaya berdaulat di Pajang Ki Ageng Ngenis dibawa. Di Pajang Ki Ageng Ngenis membawa anaknya Bagus Kacung, dan dua keponakannya, yaitu: Ki Juru Martani dan Ki Panjawi. Yang mana akhirnya mereka mendapat pangkat lurah Tamtama dan Bagus Kacung mendapat tanah di daerah Manahan (sekarang Solo) hingga namanya berubah menjadi Ki Ageng Pamanahan. Ki Ageng Pamanahan berputra Raden Sarubut, yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya, dan namanya berubah menjadi Danang Sutawijaya dan berkedudukan di utara pasar, maka dia juga bergelar Raden Ngabehi Saloring Pasar.
Sutawijaya kemudian bergelar Senapati ketika ia memimpin pasukan Pajang untuk berperang dengan Jipang Panolang dibawah kekuasaan (Haryo) Ario Panangsang. Pamanahan, Juru Martani, dan Panjawi sepakat untuk merahasiakan keberhasilan Senapati membunuh Ario Panangsang, dan diakui bahwa yang membunuh adalah mereka, hal ini dilakukan agar hadiahnya tidak sederhana, karena Senapati masih muda dan anak angkat. Maka kemudian Panjawi mendapatkan Pati dan Pamanahan mendapatkan Mataram. Pamanahan juga mengajak Juru Martani dan Senapati serta kerabatnya di Sela untuk turut serta ke Mataram. Dalam perjalanan ke Mataram, di daerah Taji (perbatasan DIY-Klaten Jawa Tengah Sekarang) Pamanahan disambut oleh Kiai Gede Karang Lo, dan ketika menyeberang sungai Opak bertemu dengan Sunan Kalijaga yang sedang mandi (mungkin Sunan Adi, putra Sunan Kalijaga). Setelah menguasai Mataram, Ki Ageng Pamanahan namanya berubah menjadi Kiai Gede Mataram.
Sebelum berangkat ke Mataram, Pamanahan mengunjungi Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa telanjang di gunung Danajaya di Jepara – akibat suaminya di bunuh Ario Panangsang - untuk menyampaikan kekalahan Jipang. Dari Ratu, selain mendapatkan barang material, Pamanahan juga mendapatkan istri-istri mendiang suami Ratu Kalinyamat. Pamahanan juga dititipi perawan untuk Sultan Hadiwijaya, namun dikarenakan belum cukup umur perawan itu oleh Sultan Hadiwijaya dititipkan ke Pamanahan.
Namun penyerahan Mataram tidaklah lancar, sehingga Pamahanan mesti bertapa yang mana dalam tapanya ia ditemui oleh Sunan Kalijaga. Keluhan Pamanahan kemudian disampaikan Sunan Kalijaga ke Sultan Hadiwijaya sehingga dilakukan penyerahan atas Mataram lewat sebuah piagam.
Kasus “pengrahasiaan keberhasilan Senapati” bisa jadi dimaksudkan bahwa sesungguhnya kurang penting peranan kerabat Sela dalam peristiwa terbunuhnya Ario Panangsang dalam pertempuran dengan Pajang di Bengawan Solo. Sehingga bisa jadi ada versi lain dari penguasaan atas Mataram.
De Graaf dengan menyandarkan studinya atas cerita dari Jawa Barat dan berita-berita Barat mengemukan[6], bahwa kepindahan Pamahanan ke Mataram lebih diupayakan mencari posisi aman, akibat tindakan kejahatan Pamanahan seperti perampokan atas harta benda Pajang dan penculikan istri-istri selir Sultan Hadiwijaya (lihat cerita soal penitipan perawan). Di Mataram Pamahan menjadi pencuri kerbau, setelah anggotanya sekitar 30-40 orang ia mulai melakukan aksi perampokan. Dan setelah angotanya berkisar 300 orang dia mulai merebut Mataram. Kisah yang agak baik, seperti diuraikan De Graaf, - bersandar riset H. van der Hosrt - bahwa Pamanahan merebut Mataram dengan kekerasan atas perintah Sultan Hadiwijaya dalam rangka pengislaman, tentu disini juga dipahami sebagai perluasan wilayah Pajang, namun setelah berhasil ia tinggal di Mataram.
Dari semua pemaparan diatas, sedikitnya dapat disimpulkan bahwa penguasaan Mataram dilakukan bukan dengan cara damai.

III. Mataram dari Zaman Hindu hingga Islam

Dalam mitos Jawa, Mendang Kamulan adalah negeri segala asal yang mana hal ini bisa kita tarik dengan kajian sejarah total Anthony Reid yang menemukan adanya kesatuan fisik dan kesatuan manusia Asia Tenggara.
Anthony Reid paling tidak menunjukan tiga hal yang membentuk kesatuan Asia Tenggara, selain kesatuan rumpun bahasa, masih ada dua faktor lagi yang memberi kawasan ini suatu kesamaan sifat. Pertama, penyesuaian dengan suatu lingkungan fisik yang sama. Kedua, suatu jalinan niaga yang tinggi di kawasan tersebut[7]. Namun Anthony Reid masih belum bisa menemukan jawaban apakah kesamaan gejala-gejala demikian harus dijelaskan oleh perpindahan di masa pra sejarah atau oleh hubungan niaga dan politik yang terus berlangsung[8].
Dalam hal hubungan niaga dan politik, kawasan juga dilintasi selain dari dua peradaban besar yang membatasi Asia Tenggara yaitu India dan Cina, tetapi juga dari kawasan Timur Tengah. Dikurun waktu yang disebut Reid sebagai Kurun Niaga (1450-1680 atau abad 15-17)[9], pusat-pusat perdagangan atau pusat niaga pantai (entrepot) adalah adalah Sriwijaya kemudian digantikan Pasai, Melaka, Johor, Patani, Aceh dan Brunei yang kesemuanya menggunakan bahasa Melayu, maka jadilah bahaya Melayu menjadi lingua franca, dimana di Asia Tenggara kelas pedagang kosmopolitan selalu disebut orang Melayu, padahal asalnya bisa dari mana saja, maka kemudian diketemukan budak Sumatera bisa berkomunikasi dengan orang Filipina dan orang-orang Eropa bisa belajar bahaya Melayu di Vietnam.
Kenyataan bahwa pengaruh Cina dan India sampai pada sebagian besar kawasan ini lewat perdagangan maritim, bukan lewat penaklukan atau kolonialisasi, tampaknya menyakinkan kita bahwa Asia Tenggara tetap mempertahankan keunikannya, kendati ia juga meminjam berbagai unsur dari kedua negeri yang lebih besar diatas. Apa yang tidak terjadi (dengan sejumlah pengecualian di Vietnam) ialah bahwa suatu bagian dari kawasan tersebut membina hubungan yang lebih dekat dengan Cina atau India dibandingkan dengan negara tetangganya sendiri di Asia Tenggara. Bangsa Cina selamanya memandang Asia Tenggara (kecuali Vietnam) secara keseluruhan sebagai “Laut Selatan” (Nan Yang). Orang-orang India, Persia, Arab, dan Melayu menyebut kawasan ini “tanah dibawah angin” karena angin musimlah yang membawa perahu-perahu layar melintasi Lautan Hindia[10]. Bagi Reid[11], hal tersebut menunjukan bahwa perhubungan sangat ditentukan oleh pelayaran samudera dan adanya upaya saling mencukupi kebutuhan, dimana hal ini rusak ketika Belanda mulai melakukan praktek monopoli dan kolonialisme.
Namun ketika Reid mengutarakan bahwa pelebaran pengaruh Cina dan India hanya lewat perdagangan maritim bukanya lewat penaklukan dan kolonialisasi, hal tersebut bisa dikritisi dengan fakta sejarah yang menunjukan serangan kerajaan Comandala (India) ke Sriwijaya dan Serangan Cina (Mongol/Tartar) ke Kediri dengan maksud menghukum Singasari, dan Reid sendiri menjelaskan bahwa Cina harus lewat maritim untuk ke Nanyang juga karena disebabkan usaha Vietnam membangun birokrasi dan kemiliteran mencontoh Cina, serta memperjuangkan kesamaan kemerdekaan dan kedudukan yang setara dengan Cina[12], artinya karena penguatan politik dan militer Vietnam yang mencegah Cina melakukan ekspansi ke Asia Tenggara lewat darat.
Mendang Kamulan, yang dalam mitos menurunkan raja-raja tua di Jawa terletak berdasarkan penelitian De Graaf dan Pigeaud terletak di Blora dan istana Angling Darma salah seorang rajanya di Bojonegoro, keduanya berada di Pantai Utara Jawa[13]. Dalam teks Jawa seperti yang dikemukakan oleh Daldjoeni (1984 : 147-148) yang kemudian diacu oleh Suryadi (1995 : 79) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora. Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar (Brandes, 1889a : 382-383) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut : Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung[14].
Menurut De Graaf dengan bersandar pada risetnya W.F. Stutterhem[15], bahwa desa Sela terletak di dekat tempat tempat yang oleh tradisi dicari sebagai tempat Mendang Kemulan yang misterius itu. Disana Raffles masih menemukan sisa-sisa sebuah keraton tua. Stutterhem melihat Kai Ageng Sela, yang dikatakannya “orang keramat yang agung dari Sela”, seorang raja Cailendra. Kata Cailendra dipecahkannya dalam : Caila (Jawa Kuno untuk Sela) dan Indra, dewa langit yang membawa halilintar.
Tentu meragukan kalau Kiai Ageng Sela adalah raja dinasti Syailendra, tetapi hal itu menunjukan upaya merekontruksi sejarah (ingatan) yang remang-remang, dan tentu saja hendak digunakan sebagai alat legitimasi kerajaan. Seperti halnya Kiai Gede Tarub, karena di masa Sanjaya juga diketemukan lokasi keramat yang bernama Tarub. Mpu Prapanca dalam Negarakretagama, pupuh XXX/I, juga melaporkan kunjungan Hayam Wuruk ke tempat suci di Cela dan Tarub[16].
Jika itu kita tarik dengan studinya Reid, yang menunjukan kemungkinan bahwa berbagai kesamaan unsur pada segenap rumpun bahasa Asia Tenggara harus diterangkan dalam tatanan interaksi intensif antara penduduk berbahasa Vietnam, Thai, dan Birma yang berpindah keselatan di satu pihak, dengan para pemakai bahasa Mon-Khmer dan Austronesia yang sudah lebih mapan di pihak lain[17]. Maka sangat mungkin nenek moyang Jawa ada yang berasal dari luar Jawa (khususnya dari Indocina), sehingga sejarah awal Jawa adalah di pantai utara Pulau Jawa. Sebuah penelitian lain mengatakan Sanjaya adalah keturunan dari Indo-Cina
Kalingga adalah kerajaan Hindu yang terletak di daerah Jepara, dengan salah satu rajanya yang terkenal yaitu Ratu Shima (Hsi-ma) di tahun 674, menurut GPH.Soeryo Wicaksono, kira-kira tahun. 732 Wangsa Sanjaya merubah nama Kalingga dengan Mataram. Ia menjadi raja pertama Mataram Hindu, dengan Ibu kota Medang Kamulan. Masa ini juga merupakan masa pendirian candi-candi Siwa di Gunung Dieng. Kira-kira tahun. 750-850 Sailendra dari Sriwijaya menguasai Jawa Tengah, masa berdirinya candi-candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Kalasan. Kira-kira tahun 800 Mataram Hindu terdesak Keluarga Sanjaya menyingkir ke wilayah Jawa Tengah Kira-kira tahun. 925 Jawa Tengah ditinggalkan, di Jawa Timur mulai didirikan kerajaaan-kerajaan (925-1042)[18].
Kekeliruan GPH Soeryo Wicaksono adalah bahwa Sailendra dari Sriwijaya, karena harusnya ia memindahkan ke Sriwijaya. Berarti di Jawa Tengah ada dua wangsa. Pertama Wangsa Mataram Hindu, di wilayah eks karisedenan Kedu sekarang. Kedua Wangsa Sailendra, Budha, di wilayah Bagelen dan Yogyakarta sekarang. Terjadi pernikahan di kedua wangsa tersebut, antara Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya dengan Pramudha Wardani dari wangsa Sailendra. Rupanya pernikahan ini tidak cukup menghentikan permusuhan, sehingga Rakai Pikatan dapat mengalahkan saudara iparnya Balaputra Dewa, yang berdampak pada perpindahan wangsa Sailendra ke Sumatera dan mendirikan Sriwijaya.
Sailendra tadinya adalah bawahan Mataram (dimasa Rakai Sanjaya, 730-750). Namun ketika di masa Rakai Panangkaran, Mataram tunduk kepada Sailendra, sehingga ia bersedia mendirikan candi Kalasan (778), puncak pendirian candi-candi Budha adalah di masa Samarottungga dari Sailendra (825), di masa itu dibangunlah candi Borobudur, Mendut dan Pawon. Samarottungga memiliki dua anak yaitu Pramudha Wardani dan Balaputra Dewa.
Wangsa Sanjaya pindah ke Jawa Timur (Madiun) di masa Diah Balitung, pendiri candi Prambanan, mpu Sindok kemudian berhasil menegakkan wangsa Isana di Jawa Timur dan berjaya di masa Teguh Darmawangsa dengan nama kerajaan yang juga Medang. Kekuasaan Teguh Darmawangsa amburk dalam peristiwa Pralaya, anak menantu Teguh Darmawangsa, Airlangga yang kemudian mampu mengkonsolidasikan kembali kerajaan Medang dengan namanya diganti menjadi Kahuripan.
Kahuripan kemudian di pecah dua menjadi Panjalu dan Jenggala, dan dipersatukan kembali menjadi Kediri. Hingga akhirnya kekuasaan Kediri ditumbangkan Tumapel dan setelah hancurnya Singasari berdirilah Majapahit.
Bisa jadi dijadikannya Mataram menjadi tanah keramat (mahkota) Majapahit – yang ditandai dengan adanya keturunan raja yang bernama Bhre Mataram[19] - karena faktor masa lalu, yaitu bekas kerajaan dan keberadaan bangunan suci, namun kelihatan tidak cukup penting secara ekonomi dan politik, sampai dibuka kembali oleh Ki Ageng Pamanahan.
Cerita lain tentang kekuasaan di Mataram, adalah Prabu Baka, raja Prambanan yang konon berasal dari Bali, dimana Prambanan mempunyai hubungan yang baik dengan Kodrat (Gujarat di India), Medang Kamulan, dan Sumedang (Jawa Barat).
Geografi Mataram dibatasi oleh sungai Progo dan sungai Opak untuk sebelah barat dan timur, utara dibatasi Gunung Merapi dan selatan oleh Laut Selatan. Paling tidak ada dua kekuasaan disana setelah runtuhnya Mataram Kuno (Hindu) dan Kraton Baka, namun tidak model kekuasaan keraton tetapi tanah perdikan, yaitu di sebelah timur (Gunung Kidul dan Prambanan) ada Ki Ageng Giring dan di sebelah barat (Bantul dan Kulon Progo) ada Ki Ageng Mangir. Daerah Mataram, khususnya yang berbatasan dengan Tingkir dan Pengging, kemungkinan di Islamkan oleh Sunan Tembayat. Para penguasa Giring adalah menantu dari Sunan Tembayat. Situs lain yang menunjukan pengislaman Mataram adalah makam keramat Syekh Jumadil Kubra di daerah sekitar Gunung Merapi dan Syekh Bela-Belu, dan Syekh Maulana Maghribi di sekitar Parangtritis pantai selatan. Banyaknya situs keramat di sepanjang aliran sungai Opak kiranya menunjukan bahwa di masa pra Islam daerah tersebut adalah tempat suci, termasuk di muaranya, dimana muncul legenda Ratu Kidul semenjak Majapahit, yang kemudian tempat suci berubah, dari tempat suci pra Islam menjadi tempat suci Islam. Penguasaan Mataram oleh Pamanahan mendorong pengislaman yang besar-besar

IV. Ekpedisi ke Giring dan Mangir

Menceritakan perluasan Mataram ke penghuni-penghuni tua Mataram.
Dalam tradisi Jawa, Ki Ageng Giring rajin bertapa agar keterunannya menjadi raja di Jawa. Tapanya berhasil dengan turunnya wangsit agar Ki Ageng Giring meminum kelapa yang dibawanya. Kelapa itu dibawa ke rumah, tetapi tidak langsung diminum. Ki Ageng Pamanahan datang berkunjung ke rumah Ki Ageng Giring, karena haus maka diminumlah air tersebut. Menghadapi keterlanjuran tersebut, Ki Ageng Giring menceritakan kepada Ki Ageng Pamanahan apa yang telah diminumnya dan meminta agar kelak keturunannya ketujuh boleh menggantikan posisi keturunan Pamanahan.
Giring terletak di pegunungan Sewu (Gunung Kidul). Ki Ageng Giring (Penderesan), seorang penyadap nira, dapat dihubungkan dengan dengan mitos Tunggul Petung, raja Prambanan, rajanya para penyadap nira. Artinya Ki Ageng Giring lebih tua haknya (penduduk asli) dibandingkan Pamanahan. Apalagi kalau mengingat Ki Ageng Giring adalah menantu Sunan Tembayat yang memang berniat membangun kekuasaan. Nantinya Tembayat, Kajoran, dan Giring adalah basis perlawanan atas kekuasaan Mataram. Penyelesaian politik atas Giring juga diselesaikan dengan perkawinan. Ekspedisi militer menjadi agak sulit bagi Mataram, mengingat persekutuan Tembayat, Kajoran dan Giring. Artinya minum air kelapa adalah sanepa tentang intrik politik yang berdampak pada pengakuan sementara Giring atas Mataram.
Hal serupa nampaknya terjadi juga dalam ekspedisi militer ke Mangir yang gagal. Posisi Mangir menjadi kuat karena kademangan-kademangan (sekarang menjadi nama-nama kecamatan di kabupaten Bantul DIY) bersekutu dengan Mangir. Ada kemungkinan Mangir juga didukung penguasa di seberang sungai Progo (kabupaten Kulon Progo DIY sekarang) dan penduduk di aliran sungai Bedog, dari gunung Merapi hingga pantai Selatan. Karena hal itu maka penaklukan Mangir adalah kombinasi antara perkawinan, tipuan politik dan manuver militer.
Bersandarkan cerita tutur yang berkembang. Ki Ageng Mangir (Ki Wanabaya) menyelenggarakan hajatan. Yang dipertuan di Kulon Progo mengirim anak gadisnya untuk membantu Wanabaya. Karena tidak membawa peralatan, maka Ki Wanabaya meminjamkan senjatanya ke gadis tersebut dengan syarat senjata tersebut jangan ditaruh diatas paha (dipangku; bahasa Jawa).
Namun gadis itu alpa yang berakibat pada kehamilannya. Ketika sang bayi dilahirkan berujud ular, dan diberi nama Baru Klinting. Dia disembuyikan dalam sebuah tempayan di pinggir rawa. Ketika si ular semakin besar pecahlah tempayan itu, dan sang ularpun mencari bapaknya hingga ke gunung Merapi. Jalur yang dilewati Baru Klinting menjadi sungai yang bernama Bedog (mencuri dalam bahasa Jawa). Ki Wanabaya bersedia mengakui Baru Klinting menjadi anak asalkan mampu mengelilingi gunung Merapi. Baru Klinting hampir gagal mengelilingi gunung Merapi andaikata ia tidak menjulurkan lidahnya. Namun ketika berhasil lidah itu dipotong oleh Ki Wanabaya sehingga sang ular menjadi tombak dan diserahkan ke anaknya yang menjadi dipertuan di Mangir yang dikenal juga sebagai Ki Ageng Mangir yang sedang mendapat ancaman ekspansi Mataram.
Berdasarkan sketsa tersebut bisa terlihat dari basis pengaruh tanah perdikan Mangir. Sungai yang dibentuk Baru Klinting melambangkan kemakmuran. Pramoedya Ananta Toer mencoba versi baru dengan meletakan Baru Klinting sebagai sosok manusia[20]. Jika kita mengikuti logikanya Pram, maka tafsir sejarahnya bisa diartikan Baru Klinting adalah hasil hubungan gelap yang di-sanepa-kan dengan meletakan senjata di paha. Ditaruh di tempayan hingga pecah ketika sang ular besar, diartikan bahwa sang bayi disembunyikan dan ketika besar dia mencari bapaknya (takon bapa) hingga rahasianya terbongkar, maka ia menyusuri sungai Bedog menyusul bapaknya yang sedang bertapa di Merapi. Apakah mungkin sembari berjalan ia banyak menularkan pengetahuannya kepada para petani (juru mertani) sehingga dilambangkan sungai, dimana sungai akan membentuk kantong-kantong pertanian, tetapi mengapa nama sungainya Bedog (mencuri), apakah ia dalam mempertahankan hidupnya selama perjalanan ke Merapi dengan mencuri.
Jika sanepa ular dan nama sungai Bedog dianggap bersumber dari Mataram, maka itu bisa dipahami sebagai pembunuhan karakter bagi musuhnya, maka kejadiannya bisa sebaliknya.
Syarat mengelilingi gunung Merapi, lidah dipotong, dan dijadikan senjata. Bisa ditafsirkan bahwa Baru Klinting diakui menjadi anak jika bisa menggalang penduduk Merapi untuk membantu Mangir yang sedang dalam bahaya serta jangan mengaku kalau anaknya Ki Ageng Mangir (Wanabaya tua).
Kuatnya Mangir, mendorong Mataram untuk menginflitrasikan anaknya, Pambayun ke Mangir dengan menyamar sebagai penari untuk memikat hati Ki Ageng Mangir, dan itu berhasil maka menikahlah kedua sejoli tersebut hingga membawa kehamilan.
Dalam keadaan hamil Pambayun membuka rahasianya dan mengajak Ki Ageng Mangir untuk menghadap guna memberi hormat ke Senapati. Dan itu disanggupi Ki Ageng Mangir meski dengan berat hati. Syahdan Mataram kemudian membikin pesta untuk memecah barisan pasukan Mangir dan daerah-daerah yang bersekutu dengannya, serta memendekan gapura-gapura. Sehingga tombak Baru Klinting yang harus selalu tegak, dipotong tangkainya sedikit demi sedikit.
Kisah itu menunjukan bahwa ada upaya menjebak pasukan Mangir dan mengeliminir Baru Klinthing. Sehingga ketika sampai di depan Senapati, Mangir dalam kondisi tak berdaya hingga bisa dibunuh dengan dibenturkan kepalanya ke batu singgasana ketika Mangir sedang bersujud hormat di kaki Senapati.

V. Islam dan Keraton Mataram

Menceritakan bagaimana Islam dalam model kekuasaan Mataram.
Berdirinya Mataram, dalam Babad diupayakan untuk mendapatkan legitimasi para tokoh spiritual Jawa, yaitu para wali, terutama sekali Sunan Kalijaga. Pamanahan mendapatkan ramalan bahwa keturunannya akan menjadi raja Jawa dari Sunan Giri. Senapati dan Sultan Agung menjadi raja juga dikisahkan akibat campur tangan spiritual Sunan Kalijaga. Maka dapat dipastikan kalau corak Islam di Mataram sangat mengikuti model kerajaan-kerajaan di pesisir, seperti Cirebon, Demak, Kudus, Jepara, dan Giri-Gresik, berbeda dengan pemahaman umum belakangan ini bahwa model pasisiran berbeda dengan pedalaman.
Sultan Agung bisa dipandang berhasil mendirikan kekuasaan Islam – dibandingkan pendahulunya yaitu Panembahan Senapati dan Prabu Seda ing Krapyak - tidak saja secara politik tetapi juga secara spiritual, dalam pengertian mensintesiskan antara Islam, Jawa dan Kultus raja.
Sultan Agung, dimasa muda bernama raden Jetmiko lalu berubah menjadi raden mas Rangsang. Setelah menjadi raja bergelar Pangeran Ingalaga. Kekuasaan politik (duniawi) sukses terpegang setelah ia menguasai seluruh pulau Jawa kecuali Banten dan Batavia. Kekuasaan duniawi tersebut menjadi kekuasaan spiritual (Islam dengan kultus raja) yang disebabkan oleh takluknya tempat-tempat suci (daerah suci yang berkembang menjadi kerajaan) seperti Cirebon, Demak, Kudus, terutama Giri-Gresik – karena pengaruh keturunan Sunan Giri masih sangat kuat – berhasil ditaklukan Mataram. Namun hal itu menjadi tidak begitu berarti jika tidak didukung oleh perolehan gelar Sunan (Susuhunan) dan Sultan dari Makah, yang mana kedua gelar menjadi batas sikapnya untuk menjadi semakin ketat menjalankan Islam.
Pergantian gelar dari Pangeran Ingalaga menjadi Susuhunan Ingalaga Mataram dilakukan pada peringatan Garebek pada tanggal 16 Agustus 1624 setelah menang Mataram menang atas Madura, yang ini menunjukan dari Pangeran menuju raja seluruh Jawa.
Dalam kesehariannya Sultan Agung memakai kopiah (kuluk) putih dan terompah kayu layaknya seperti santri. Dia juga mengharuskan para pejabat kraton dan para prajuritnya untuk khitan, memotong rambut, dan sholat Jum`at, yang tidak terjadi lagi setelah Sultan Agung wafat.
Dan yang paling berpengaruh, ketika Sultan Agung melakukan perbaikan atas kompleks makam di Tembayat yang dihancurkannya karena menjadi basis pemberontakan para agamawan (Islam dan pertapa Hindu-Budha). Sultan Agung juga berziarah ke makam keramat tersebut dan sepulangnya dari sana ia mengubah penanggalan Jawa menjadi penanggalan Islam.
Meski menegakan “syariat Islam” rupanya Sultan Agung juga masih memberikan tempat para pertapa Hindu-Budha. Namun oleh masyarakat Mataram mereka dipandang sebagai orang suci Islam, karena penerimaan para pertapa tersebut pada mistik Islam (tasawuf) dan perilaku para pertapa yang selalu menjaga makam orang-orang suci Islam.
Hubungan baik dengan Makkah dimungkinkan mengingat Mataram menguasai hampir seluruh pesisir pulau Jawa dan beberapa tempat di Sumatera (Palembang dan Jambi) serta Kalimantan (Sukadana). Menurut mitos, karena kesaktiannya Sultan Agung bisa setiap Jum`at sholat di Makkah, dan Sultan Agung membangun kompleks makam di Imogiri, karena tanah Makkah yang dikirim jatuh ke lokasi tersebut.
Dengan menggunakan sarana laut rupanya Sultan Agung mengirim utusan ke Makkah (1641-1642) untuk meminta gelar Sultan seperti yang diperoleh Pangeran Banten. Inggris bisa dikatakan cukup membantu pelayaran tersebut, hingga berita soal pemberian gelar tersebut berasal dari berita Inggris, dalam logat Inggris gelar tersebut adalah Sultan Abdul Mahometh Moulana Matarani (maksudnya mungkin Sultan Abdulah Maulana Matarani). 1 Juli 1641 ia telah disebut Sultan Mataram[21]. Semasa hidupnya gelar Sultan Agung Anyokrokusuma tidak dikenal, nama itu muncul setelah penulisan Babad di masa Pakubuwono III (1749-1788)
Setelah Sultan Agung, corak Islam semakin menurun di Mataram, terputusnya Mataram dengan daerah pesisir dan pembatasan hubungan dengan Mataram. Perkembangan internasional Islam yang memunculkan reformasi (pembaharuan atau modernisasi) kalaupun masuk ke Jawa hanya bergaung di daerah pesisir.

G. Kesimpulan

Dimana kita hendak mencari otensitas sejarah, jawabannya adalah bersumber pada apa kita mencoba memahami sejarah dan perkembangan masyarakat. Masyarakat memiliki lokalitas dalam arti ia berada dalam identitas yang saling berbeda; plural dalam pengertian horizontal – gender, suku, ras – maupun vertikal – akses ekonomi dan politik. Nasionalitas merujuk pada karakter umum kekuasaan, mulai dari situasinya, cita-cita dan proyeksinya hingga kendalinya. Globalitas masyarakat adalah dialektika emansipasi kemanusiaan antar keyakinan, pemikiran dan sistem kebudayaan. Secara sederhana lokalitas-nasionalitas-Globalitas adalah proses membangun relasi yang utuh antara geo sosial-ekonomi-politik dan cara pandang kemanusiaan yang bisa jadi ideologi yang membebaskan.
Jika lokalitas, nasionalitas, globalitas kita jadikan aras di mana tindakan dilakukan dan pemikiran dikembangkan melalui spektrum fundamental sosial, politik, dan ekonomi masyarakat, maka sejarah masyarakat Jawa adalah plural, dalam pengertian perkembangan agama, kebudayaan, cara produksi dan kekuasaan adalah lahir dari dialektika kawasan. Maka menjadi keliru kemudian meletakan kebudayaan Mataram dalam pengertian pedalaman yang anti pesisir, anti perdagangan dan anti laut serta tertutup.
Mataram jelas memiki armada dan pelabuhan yang memungkinan dia berhubungan bahkan menyerap pengetahuan, budaya bahkan aspirasi politik orang-orang luar negeri. Dan rupanya penulisan sejarah di masa surutnya Mataram berdampak pada penulisan sejarah Jawa seperti yang kita kenal selama ini, yang juga diselimuti situasi-situasi lupa. Para penulis Babad kiranya tidak mengetahui secara detail Mataram Hindu maupun Majapahit bahkan sewaktu Mataram didirikan hingga masa kejayaanya

Daftar Pustaka

Anonim, Kelahiran Hanacaraka, www.jawapalace.org
De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, De Eeste Moslimse Vorstendommen op Java, Studien Over de Staatkundige Gesshiedenis van de 15 de en 16 de euw, No. 69 seri Verhandelingen van het KITLV, KITLV, Leiden 1974, terjemahan Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens (ed), Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001
De Graaf. H.J., De Regering Van Panembahan Senapati Ingalaga, KITLV, Leiden, 1954, Terjemahan Javanologi, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati, Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, 1987
-----, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, Cetakan Pertama, 1986
GPH .Soeryo Wicaksono, Indonesia Sekilas Catatan Tahun Demi Tahun, http://www.jawapalace.org
Pramoedya Ananta Toer, Drama Mangir, KPG, Jakarta, Cetakan Keempat, 2000
Reid, Anthony, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume One: The Lands Below the Winds, Yale University Press, New Haven and London, 1988, terjemahan Mochtar Pabotinggi, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cetakan 1, 1992
---, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Yale University, 1993, terjemahan R. Z. Leirissa & P. Soemitro, Dari Ekspansi hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Asia Tenggara 1450-1680, Jilid II, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Edisi 1, 1992
Slamet Mulyana, Nagarakretagama, Bharata Karya Askara, Jakarta, 1979



[1] Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis II, Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999, H: 231
[2] Anonim, Kelahiran Hanacaraka, www.jawapalace.org
[3]De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001, h: 21-22

[4] Ibid
[5]De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001, h: 77
[6] H.J. De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati, Grafiti Perss&KITLV, Jakarta, 1987, Cetakan Kedua, h: 46
[7] Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cetakan 1, 1992, h: 6

[8] Ibid, h: 9
[9] Ibid, h: 10
[10] Ibid, h: 9
[11] Ibid, h: 9
[12] Ibid, h: 13
[13] De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001, h: 66

[14] Anonim, Kelahiran Hanacaraka, www.jawapalace.org

[15] H.J. De Graaf, Awal Kebangkitan Matarm, Masa Pemerintahan Senapati, PT Pustaka Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, Edisi Kedua, h: 10
[16] Slamet Mulyana, Nagarakretagama, Bharata Karya Askara, Jakarta, 1979, h: 288
[17] Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cetakan 1, 1992, h: 6
[18] GPH .Soeryo Wicaksono, Indonesia Sekilas Catatan Tahun Demi Tahun, http://www.jawapalace.org


[19] Slamet Mulyana, Nagarakretagama, Bharata Karya Askara, Jakarta, 1979, h: lampiran
[20] Pramoedya Ananta Toer, Drama Mangir, KPG, Jakarta, Cetakan Keempat, 2000
[21] HJ. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, Cetakan Pertama, 1986, h: 276