Thursday, October 19, 2006



Bismillahirrohmanirrohim
Menjadi Semi Kolonial atau Rencana Ekonomi Berjuang
Oleh: Gunawan

“Biar tuan caci aku tetap tak mau pergi, biar nyonya maki aku tetap saja, suka
…… Saat nyonya antarkan tuan tidur. Saat tuan temani nyonya mimpi
Aku lihat berjuta manusia, yang merintih lantaran hidupnya
Terperangkap kedalam jurang dusta, Terperosok kedalam lembah nista…..”
(Saksi Gitar Tua, God Bless)

Krisis moneter 1997, yang dialami Negara Orde Baru (NOB) yang kemudian disusul dengan krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis sosial yang menyertai ambruknya Rezim Militer Orde Baru, ternyata tidak berhasil diatasi oleh mister Habibie, Gus Dur, dan ibu Mega sebagai para presiden berturut-turut pasca Soeharto.
Semenjak Jenderal Besar Soeharto merasa kesulitan mengatasi krisis ekonomi, hingga pemerintahan Megawati, bisa dikatakan bahwa strategi ekonomi Indonesia bersandar pada resep-resep IMF, Megawati mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak populis - seakan membuktikan prediksi orang bahwa Megawati akan menjalankan neo developmentalism -, seperti privatisasi BUMN, pencabutan subsidi BBM dan biaya pendidikan, tidak melakukan perlindungan atas produksi rakyat seperti impor beras, gula, paha ayam dan sebagainya.
Meskipun diakhir periode pemerintahannya, Megawati telah mengutarakan maksud tentang strategi lepas dari IMF, tetapi diakhir masa pemerintahannya, presiden Megawati dan DPR telah memproduksi sekian peraturan perundangan yang membawa keterasingan Indonesia dari kekuatan-kekuatan produksinya, tanah, air dan udara, serta martabat kemerdekaannya serta daulat rakyat kuasa, tetapi justru membuka ruang yang besar bagi modal internasional. Penggusuran kaum miskin kotapun menjadi massif diakhir pemerintahan Megawati dengan di beberapa tempat menampilkan Dinas Trantib dan Sat Pol PP yang seakan menampilkan sosok baru “militeristik” dan “police brutality” di Indonesia.
Pemilu adalah harapan rakyat atas masa depan yang lebih baik bagi negara, masyarakat dan perekonomian di Indonesia. Maka adalah wajar jika banyak yang berharap banyak pada pada kepemimpinan SBY-JK, namun, SBY segera menuai kritik ketika beliau mengangkat beberapa menteri yang dianggap mewakili kepentingan internasionalisasi modal, disusul dengan belum jelasnya arah 100 hari SBY, yang dijawabnya dengan bahwa saat ini dia sedang mengenali masalah meskipun SBY telah mengambil tindakan yang populer seperti inspeksi mendadak, melarang pejabat menerima parsel dan sebagainya. Namun bagaimanapun juga tanpa “analisis kongret atas situasi kongret” sehingga menjadi jelas “apa yang harus dilakukan” dan “dari mana harus memulai” pelbagai tindakan tersebut hanyalah verbalisme dan aktivisme belaka.
Tetapi dua hal yang mengemuka yang dicanangkan SBY, Yaitu Dewan Keamanan Nasional dan Dewan Ekonomi Nasional. Dalam forum APEC di Santiago Chile, SBY juga kembali menekankan arti penting keamanan dan menawarkan pasar dan investasi ke Indonesia. Hampir sama dengan SBY, namun lebih ekstrim, George W Bush Jr menawarkan perang melawan terorisme dan globalisasi. Praktis semenjak Amerika menyatakan perang terhadap terorisme, hal itu menjadi provokasi bagi kekerasan politik diberbagai belahan dunia, khususnya negara-negara Dunia Ketiga, mulai dari Indonesia, Filipina, Thailand, Afghanistan, Pakistan, India (Khasmir), Arab Saudi dan Iraq.
Artinya memprediksi perekonomian dan stabilitas politik serta stabilitas keamanan di Indonesia, kita harus menjadikan internasionalisasi modal sebagai unit analisa, khususnya peranan Amerika dalam membawa neo liberalisme, yang itu kaitannya dengan, pertama, jika investasi membutuhkan keamanan, bagaimana kaitannya dengan konsolidasi demokrasi, khususnya demokrasi ekonomi, karena ketidakdilan distribusi ekonomi, ekspolitasi alam dan tenaga kerja (buruh dan petani serta high cost production bagi pengusaha), serta ekses lain dari ekspansi kapitalisme internasional adalah pemicu munculnya kerawanan social, apakah Dewan Keamanan Nasional akan dijadikan solusi. Kedua, perubahan sosial seperti apa yang akan dibawa SBY dalam mode produksi, mode konsumsi dan distribusi ekonomi politik. Akankah SBY akan menjalankan amanat reformasi 1998 ataukah ia akan membangkitkan kembali kekuatan lama (ancient regime: imperialisme, kapitalisme birokratik-rente, militerisme dan oligarki) atau justru memunculkan oligarki kekuasaan yang baru. Padahal jika kita merujuk apa yang diungkapkan Carlos M. Vilas (1986), bahwa perubahan sosial yang mendasar pada negara dan masyarakat kapitalisme pinggiran menyangkut empat masalah mendasar dan saling berhubungan, yaitu: (1) Persoalan kelas, yang menyangkut pengakhiran eksploitasi massal dibimbing suatu kelas atau faksi kelas tertentu; (2) Persoalan kedaulatan nasional, yang merujuk pada likuidasi dominasi imperialis dan penentuan kembali nasion itu secara ekonomi dan politik dimasukan kedalam sistem dunia; (3) Persoalan pembangunan, melalui ekspansi kekuatan-kekuatan produktif dan rasionalisasi struktur produktif; dan (4) Persoalan demokrasi, atau dibongkarnya negara yang telah menjamin eksploitasi kelas, keterbelakangan ekonomi, dan dominasi imperialis, dan pembangunan suatu jenis baru kekuasaan politik. Maka bentuk maju dari menjalankan amanat reformasi 1998 adalah meneruskan perjuangan revolusi kemerdekaan 1945.

Pax Americana, Negara, dan Perekonomian
Provokasi terorisme yang terus didorong oleh Amerika harus dilihat sebagai bagian usaha Amerika menjaga kebijakan ekonominya yang internasionalis liberal, atau yang lebih dikenal sebagai neo liberalisme. Ahmad Rosadi Harahap (2004) mengungkapkan, berbeda dengan hipotesis Huntington (1996) yang memprediksi konflik peradapan di masa depan bakal bermotif budaya, Brawley (1993) percaya liberalisasi perdagangan dunia sebagai penyebab perang dunia (trade liberalization as a catalyst). Berbeda dengan teori siklus hegemoni yang umum dianut pakar (Goldstein, 1988), Brawley melihat, perang terjadi bukan semata karena melemahnya suatu hegemoni, tetapi lebih disebabkan perhitungan untung-rugi suatu negara terhadap liberalisasi perdagangan internasional. Pendapat itu dikuatkan hasil penelitian Snooks (1996) yang menyimpulkan perang lebih cepat menghasilkan pertumbuhan dunia (Conquest-led growth), dibanding commerce-led growth, maupun technological-led growth. Perang tidak hanya melahirkan marked leader, tetapi juga akan mendorong (demi memenangkan perang) inovasi tekhnologi dan persaingan usaha di antara kelompok-kelompok yang berperang, yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan di masa damai. Schumpeter (1950) menyebutnya sebagai kekuatan creative destruction dari sistem kapitalisme.
Maka mengamati konflik internasional kontemporer ini, maka benarlah jika imperialism higgest stage of capitalism dan militerisme adalah ekspresi puncak dari kapitalisme. Dua kali perang dunia (PD I dan PD II) telah menunjukan bagaimana kebutuhan kolonialisasi atas kapitalisme internasional telah melahirkan perang besar. Namun juga kapitalisme sampai dengan Perang Dunia II telah menumbuhkan, pertama, nasionalisme borjuis dan demokrasi liberal di Eropa yang tumbuh semenjak perjanjian Westphalia yang memunculkan konsep negara bangsa (nation state) hingga Revolusi Perancis, Revolusi Industri dan Revolusi Amerika, yang ketiganya telah menjadi fondasi bagi perkembangan kapitalisme dari merkantilisme ke kapitalisme industri dan modal. Respon atas eksploitasi dan ekspansi kapitalisme di Eropa kemudian memunculkan sosialisme sedangkan di negara-negara jajahan dan setengah jajahan sebagai respon atas ekspansi dan ekspolitasi kapitalisme internasional yang mengambil bentuk kolonialisme telah memunculkan juga nasionalisme dan demokrasi, tetapi nasionalisme baru dan demokrasi baru yang revolusioner dan berpihak kepada rakyat pekerja. Kedua, krisis kapitalisme yang menyertai PD I dan PD II telah melahirkan dunia komunis di Rusia, kritik diri kapitalisme di Amerika lewat negara kesejahteraan (welfare state) dan kemunculan fasisme di Jerman, Italia, dan Jepang. Fasisme adalah bentuk kecelakaan dari kapitalisme atau gerakan lain dari borjuis, seperti yang dijelaskan Hokhiemer dan Adorno (Bakarrudin Rosydi Ahmad; 1991). Hokhimer menyatakan, fasisme, hanya dapat dipahami dalam hubungan dengan perjuangan kelas dalam masing-masing negara. Jadi, alienasi dan borjuasi serta organisasi fasis muncul dari rasa takut akan proletariat. Theodor Adorno juga menelanjangi fasisme sebagai puncak dari sisi negatif kapitalisme. Dampak perang dan krisis kapitalisme yang dialami Italia dan Jerman, ternyata tidak diatasi lewat penguatan basis bawah (basic structure:mode of production) tetapi di basis atas (supra structure), yaitu ideologisasi negara dan masyarakat dengan agitasi perlunya kekuasaan negara yang otoriter-birokratik-militeristik dan anti orang asing (xenophobis, tribalis, dan anti pluralisme). Artinya kapitalisme tidak saja memainkan alat-alat untuk mendominasi secara fisik untuk mengatasi krisis, tetapi dengan apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni. Bagi Gramsci (Muhadi Sugiono; 1999), hegemoni akan menjelaskan mengapa suatu kelompok atau kelas secara sukarela atau dengan konsensus mau menundukkan diri pada kelompok atau kelas yang lain. Teori ini dibangun diatas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan "hegemoni" atau menguasi dengan "kepemimpinan moral dan intelektual" secara konsensual.
Sebagai upaya rekontruksi, konsolidasi dan reorganisasi kapitalisme internasional/neo imperialime, Amerika mencoba meletakan dirinya di posisi dominan dan hegemonik dengan mengangkat suatu tema (intenasionalis liberal-neoliberalisme) yang didukung dengan operasi ekonomi-politik dan manuver militer, atau bisa juga diartikan bahwa neo liberalisme bersembunyi di setiap operasi ekonomi dan politik serta manuver militer Amerika, fenomena ini mulai muncul semenjak Amerika memiliki posisi dominan, ketika Eropa mengalami depresi ekonomi akibat perang.
Tatanan baru ekonomi internasional versi Amerika tersebut kemudian termanifestasi dalam sebuah sistem yang kemudian disebut Bretton Woods. Menurut Robert A. Isaak (1995), sistem Bretton Woods mengacu pada piagam yang dirundingkan bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hampshire, yang menciptakan international Monetary Fund (IMF) dan juga lembaga saudaranya, International Bank for Recontruction and Development (IBRD) atau Bank Dunia. Selain itu upaya yang dilakukan adalah dengan membangun ITO (International Trade Organization). Bagi Djauhari Oratmangun (2001), upaya membentuk ITO bermula dari diadakannya pertemuan pertama Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UNECOSOC) pada Februari 1946 yang menyetujui gagasan Amerika Serikat untuk mengadakan konferensi internasional mengenai perdagangan dan kesempatan kerja (UN Conference on Trade and Employment) guna membicarakan rencana pembentukan ITO. Untuk menyusun perjanjian ITO, yang disebut ITO Charter, maka dibentuklah sebuah Komite Persiapan beranggota 23 negara yang mengadakan pertemuan-pertemuannya di London pada Oktober 1946. Dalam proses pembentukan ITO di atas, secara bersamaan sebagian dari negara anggota Komite Persiapan membicarakan ide penyelenggaraan negosiasi multilateral untuk menurunkan tarif diantara mereka. Pada pertemuan di New York pada Januari-Februari 1947, Komite berhasil menyusun naskah yang memuat aturan perdagangan multilateral dan tata cara negosiasi. Sebenarnya naskah aturan perdagangan yang dirumuskan oleh Komite persiapan ini dimaksud untuk disisipkan sebagai bagian dari naskah ITO Charter yang sedang disusun. Disamping itu, aturan-aturan perdagangan tersebut juga dimaksudkan sebagai perjanjian perdagangan multilateral yang akan dilaksanakan dalam kerangka ITO kelak. Pada pertemuan selanjutnya di Jenewa pada April-Oktober 1947, Komite berhasil merampungkan naskah ITO Charter. Bersamaan dengan itu, pada 30 Oktober 1947 Komite yang terdiri dari 23 negara juga menandatangani General Agreement on Tariff anda Trade – GATT yang naskahnya disusun pada waktu di New York bulan Januari-Februari 1947. GATT yang mulai berlaku pada 1 Januari 1948 pada mulanya dianggap sebagai aturan perdagangan sementara (provisional legal instruments) sampai berlakunya ITO secara efektif dan akan merupakan bagian dari ITO Charter. Dalam perkembangan selanjutnya GATT itulah yang menjadi aturan GATT seperti yang dikenal saat ini.
Untuk mengamankan rencana tatanan ekonomi internasional barunya, Amerika kemudian di Eropa Barat mendorong rekontruksi ekonomi Eropa dengan bantuan Marshal Plan dan membatasi Eropa Barat dengan Eropa Timur yang komunis dengan menggelar ribuan pasukan dan peralatan tempurnya.
Di daerah-daerah jajahan, kolonialisme menghadapi tantangan dari perang revolusi kemerdekaan yang menciptakan sikap ambigu dari Amerika, disatu sisi bantuan Marshall tidak cukup bagi pembangunan Eropa Barat, namun jika tidak memberikan dukungan bagi dekolonialisasi, maka, gerakan revolusi nasional akan mudah dipengaruhi atau bersimpati kepada Uni Soviet. Maka yang mesti dilakukan Amerika adalah mendukung dekolonialisasi dengan memberikan keuntungan bagi Eropa Barat, anti komunis (“the policy of containment”) dan hegemoni Amerika.
Untuk kasus Indonesia, studi dari pasangan Kahin (Audrey R & George McT; 1997) menunjukan, jelaslah bagi Indonesia bahwa Amerika Serikat menyediakan bantuan yang sangat penting bagi Belanda. Bahkan, seorang petani sekalipun dapat melihat senjata yang digunakan tentara Belanda merupakan kiriman Amerika Serikat karena kebanyakan tank, truk dan pesawat terbang masih menggunakan lambang Amerika Serikat, dan setidaknya hingga akhir Januari 1949 sejumlah marinir Belanda masih menggunakan seragam yang bertuliskan (di saku dada) “U.S. Marines”. Sudah menjadi rahasia umum pula, Amerika Serikat memberi sumbangan keuangan bagi upaya Belanda merebut kembali Indonesia. Laporan CIA pada 14 November 1947, umpamanya, mencatat, “sekarang rakyat Indonesia dan Indocina cenderung melihat upaya Belanda dan Perancis untuk menegakkan kembali kekuasaan mereka dilakukan dengan dukungan Amerika serikat. Terus meningkatnya Program Perbaikan Eropa (Marshal Plan) dalam memperkuat kemampuan Belanda dan Perancis di Asia Tenggara membuat kemarahan penduduk meningkat. Bahkan ketika dilaksanakan sepenuhnya, dana Amerika Serikat yang dipompakan ke Perancis dan Belanda sama besarnya dengan jumlah dana yang dikeluarkan negara-negara itu untuk membiayai pasukan-pasukan di Asia Tenggara. Beberapa perancang kebijakan Amerika yang paling berpengaruh menganggap Hindia Belanda sebagai gabus yang diatasnya ekonomi Belanda berpijak – yang menyediakan 20 persen pendapatan nasionalnya – dan bila bisa dipulihkan kembali akan sangat berguna bagi negara itu. Mereka yakin bila Belanda tidak terus mengendalikan minyak, timah, karet dan kopra dari kepulauan tersebut, bahkan suntikan dana Amerika Serikat secara besar-besaran tidak akan dapat memperkuat perekonomian negara itu. Demikian pula investasi penting Amerika Serikat di Indonesia (terutama di Sumatera), khususnya minyak dan karet, mempengaruhi kebijakan Amerika Serikat. Walau tidak terlalu penting.
Amerika memediasi perundingan antara Indonesia dan Belanda, dan menyelundupkan anggota Mobrig (Mobil Brigade) Indonesia dan melatihnya. Perundingan-perundingan yang difasilitasi Amerika adalah Renville yang membawa wilayah republik dipersempit garis van Mook yang menciptakan frustasi sosial, ekonomi, politik dan kemiliteran di wilayah republik. Perjanjian kedua adalah KMB yang membawa pengakuan kedaulatan bagi Indonesia dari Belanda, tetapi tetap membawa kerugian bagi republik yang juga bisa ditafsirkan sebagai kegagalan revolusi nasional Indonesia. Pertama, revolusi telah gagal merebut alat-alat produksi yang dikuasai pihak asing dan merombak mode produksi kolonial. Perusahaan asing masih menguasai aset-aset produksi sumber daya alam Indonesia yang mereka bangun semenjak masa kolonial, sebagai contoh - seperti yang ditunjukan Hermawan Sulistyo (2000) -, di kota sekecil Jombang dan Kediri di provinsi Jawa Timur, sesuai revolusi sisa pabrik gula (PG) yang ada di bawah penguasaan pemerintah Republik Indonesia, tetapi dikelola oleh teknisi dan pejabat Belanda. Secara legal, pabrik-pabrik itu masih milik Belanda sampai 1957, hingga pemerintah RI memutuskan menyita dan menasionalisasi seluruh perusahaan Belanda. Kedua, Indonesia segera terjebak pada hutang luar negeri. Seperti yang diutarakan pasangan Kahin (Audrey R & George McT; 1997), saat mana Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia, wakil Amerika Serikat, Merle Cohran, yang bertindak sebagai moderator, memihak Belanda dan menuntut dua hal dari Indonesia. Mengingat Amerika Serikat masih prihatin dengan keadaan perekonomian Belanda, Cohran memaksa agar Republik menanggung hutang Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dollar Amerika. Sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah hutang pemerintah kolonial, yang menurut pihak Indonesia 42 persennya merupakan biaya operasi militer dalam menghadapi Republik. Mengingat mereka telah setuju semua investasi Belanda (dan pihak asing lainnya) di Indonesia akan dilindungi, persyaratan tersebut dilihat oleh semua pihak di Indonesia bahwa mereka akan mendapat bantuan yang cukup besar dari Amerika Serikat untuk melunasi beban hutang tersebut terbukti kosong belaka ketika ternyata yang diberikan hanya 100 juta dolar Amerika dalam bentuk kredit ekspor-impor yang harus dibayar kembali. Namun, dalam pengertian politik, konsensi paling penting yang dipaksakan Cohran adalah setengah bagian New Guinea (Irian Barat) yang secara geografis merupakan bagian Hindia-Belanda yang tidak diserahkan kepada Republik karena akan dibicarakan kemudian oleh Indonesia dan Belanda dalam waktu satu tahun.
Sedangkan tujuan dari Amerika melatih Mobrig, pasangan Kahin (Audrey R & George McT; 1997) mengutarakan, tampaknya, alasan bagi kebijakan rahasia tersebut adalah apabila pada akhirnya republik menang atas Belanda, para perwira yang dilatih di Amerika Serikat tidak saja menentang kebangkitan kembali komunis tetapi juga siapapun yang mendukung pemimpin komunis, Tan Malaka, yang telah lama melepaskan diri dari Uni Soviet dan yang pengikutnya telah tergabung dengan tentara Republik dalam menghadapi pemberontakan Madiun yang pro-Soviet yang telah ditaklukan. Bila perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut, jumlah mereka akan makin banyak, demikian pula taktik bumi hangus terhadap properti Amerika Serikat dan Belanda yang mereka anjurkan. Selain kemungkinan itu, ada pertimbangan pragmatis bahwa perlawanan secara gerilya dengan melancarkan taktik bumi hangus terhadap perkebunan-perkebunan dan properti Belanda lainnya segera akan menghancurkan sebagian besar aset ekonomi yang berusaha dipertahankan Belanda. Maka, kepentingan pribadi pengusaha Belanda menyebabkan gagalnya usaha mereka tersebut. Kepentingan pribadi pengusaha Amerika Serikat atas investasi di Indonesia menyebabkan mereka mengalami hal yang sama, dan sudah pasti hal itu berpengaruh pada kebijakan politik Amerika.
Mengamati negara, masyarakat dan perekonomian di Indonesia post colonial, tentunya kita harus mengamti formasi sosial atupun formasi kapital yang terbentuk selama masa kolonial. Peralihan ke kapitalisme di Indonesia berbeda perkembangannya (uneven development of capitalism) dengan di Eropa, yaitu bukan dari feodalisme ke kapitalisme, tetapi kombinasi yang terartikulasi (articulated combination) yang khas dari cara produksi kolonial, yaitu eksploitasi atas petani (hilangnya lahan petani, tanam paksa, dan terciptanya buruh tani) yang berdampak pada proses pemelaratan petani terus-menerus (Agricultural ladder) dan memakai pengertian dari Bil Warren (Bonnie Setiawan: 1999) bahwa kelas-kelas feodal akan memformasikan dirinya sendiri, setidak-setidaknya secara sebagian untuk menjadi kapitalis industri ketika kondisi-kondisinya telah memungkinkan untuk itu. Sementara itu sektor industri dan distribusi hampir bisa dikatakan dikuasai oleh modal asing. Sedang kaum borjuis kecilnya adalah kalangan bumi putra, seperti dalam kasus para pedagang batik, yang akhirnya persaingan dengan borjuasi transnasional dan China tidak mengandalkan mekanisme pasar tetapi lewat gerakan politik, sebut saja Serikat Dagang Islam (SDI), Rekso Rumekso dan Serikat Islam (SI).
Proses peralihan disebabkan model produksi yang dibentuk pemerintahan kolonial, yaitu VOC, sebuah organisasi dagang yang membentuk kekuasaan negara, sehingga bisa disebut kapitalisme negara atau juga negara perusahaan yang akumulasi modalnya terbentuk lewat monopoli. Meskipun kemudian VOC bangkrut, tetapi pemerintahan Hindia Belanda tetap meneruskan pola VOC.
Perang revolusi kemerdekaan di Indonesia praktis hanya sampai pada pengakuan kedaulatan, karena tanpa upaya mengubah formasi sosial dan formasi kapital, maka Indonesia dalam status semi kolonial.
Setelah pengakuan kedaulatan, negara selain dalam posisi setengah jajahan juga dalam situasi otonomi relatif karena negara dalam situasi perebutan kekuasaan terus menerus yang dilakukan oleh faksi-faksi dalam tentara dan masyarakat serta intervensi Amerika yang berdampak pada krisis ekonomi, politik dan kemiliteran (pertahanan), yang mendorong Soekarno mengendalikan negara terpusat ditanganya (demokrasi terpimpin) yang berbasiskan konsolidasi ekonomi dan politik Angkatan Darat lewat Undang-undang Darurat Perang (SOB:negara dalam keadan bahaya), hingga Soekarno menguasai total negara lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Akan tetapi intensitas perebutan kekuasaan ternyata tetap tinggi, yang mana kemudian dalam pertarungan dimenangkan oleh faksi Angkatan Darat dukungan Amerika Serikat.
Studi dari Harold Crouch (1986) menunjukan bahwasannya tentara Indonesia mendapatkan orientasi politik dan kepentingan-kepentingan politik sewaktu revolusi melawan Belanda. Belakangan, yaitu setelah hukum darurat perang dilakukan pada tahun 1957, Angkatan Darat dan beberapa bagian lain dari angkatan bersenjata lebih dalam lagi terlibat dalam politik, administrasi sipil dan pengelolaan ekonomi yang menjadikan Angkatan Darat sebagai unsur penentu dalam kegiatan-kegiatan nonmiliter telah menimbulkan dua konsekuensi utama yang dalam politik, administrasi dan dunia usaha, telah mengakibatkan politisasi korps perwira serta saling penetrasi dari kelompok-kelompok tentara dan sipil yang mengganggu kapasitas golongan militer untuk bertindak sebagai suatu kekuatan politik yang mempersatukan, serta menghalangi gerakannya untuk mendapatkan kekuasaan secara menyeluruh. Kedua, para perwira tentara juga telah memperoleh keuntungan-keuntungan politik yang akan mereka usahakan untuk lebih dikembangkan sebagai suatu kekuatan politik, sudah sewajarnyalah tentara berusaha memperkuat posisi mereka sendiri dan mengalahkan saingan-saingan mereka, sementara perluasan di bidang ekonomi telah memberikan para perwira tentara itu suatu pertaruhan pribadi dalam banyak perusahaan. Sebagai konsekuensi, personil-personil militer menjadi bagian dari elite politik dan ekonomi dengan mempertahankan orde sosial yang ada, yang mereka anggap terancam baik oleh kaum komunis maupun kebijakan-kebijakan Soekarno yang dapat menimbulkan kekacauan. Jika semula mereka terpaksa terjun ke bidang usaha karena didesak oleh kebutuhan, dalam waktu singkat mereka telah menyesuaikan diri dengan tanggungjawab baru. Banyak dari mereka lebih suka berhubungan dengan para pengusaha Cina daripada memimpin pasukan di lapangan. Dengan mendasarkan kekuatan-kekuatan ekonomi mereka pada pengaruh politik, bukan pada ketrampilan kewiraswastaan, anggota-anggota dari elite militer berhasil memperoleh sifat-sifat kelas komprador yang kepentingannya sejajar dengan orang-orang dari perusahan asing dengan siapa mereka mempunyai hubungan.
Dekolonialisasi adalah langkah sadar Amerika untuk mengakomodir negara baru merdeka dalam tatanan ekonomi internasional baru, akan tetapi sebagian besar negara baru merdeka memiliki nasionalisme ekonomi dan politik luar negeri yang netral, padahal bagi Amerika netral, dalam Perang Dingin (Cold War) adalah tidak bermoral. Untuk itu untuk dibutuhkan kebijakan ekonomi-politik untuk mempersiapkan kondisi perekonomian di negara baru merdeka agar dibawah dominasi dan hegemoni Amerika. Tentu saja yang lebih penting adalah siapa pelaksananya. Berkait dengan itu Amerika melakukan suversib sebagai politik luar negeri melalui sabotase ekonomi-politik, mendukung gerakan separatis dan kudeta militer atau bahkan invasi militer.
Di Indonesia, Amerika setelah gerakan separatis PRRI dan Permesta yang didukungnya kalah, Amerika mulai melirik ke Angkatan Darat, lewat penyusupan ke SESKOAD (Sekolah Komando Angkatan Darat) dan menciptakan kalangan ekonom dari intelektual mupun tentara yang pro pembangunanisme (developmentalism), yang kemudan dikenal sebagai mafia Barkeley. Setelah militer berhasilkan mendirikan rezim Orde Baru, langkah awal pelaksanaan pembangunanisme adalah disahkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dengan Freeport yang pertamakali mendapatkan lisensi untuk beroperasi.
Modal pembangunan di masa Orde Baru dalam rangka modernsasi dan tricle down effect mengandal booming minyak bumi, dan ketika booming berakhir, Orde Baru menggandeng modal asing masuk lewat relokasi industri. Lemahnya modal dalam negeri tetapi berlimpahnya tenaga kerja dan tanah mendorong Orde Baru menjadikan upah buruh murah sebagai keunggulan komparatif dan menyediakan sumber daya kekerasan untuk praktek penggusuran tanah rakyat, dimana sumber daya kekerasan tersebut juga diakumulasi bagi kontrol negara dan monopoli negara dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan. Artinya Negara Orde Baru adalah overdeveloped state yang ditegakan oleh militer yang mana militer telah berkembang menjadi masyarakat politik, masyarakat industri dan masyarakat keamanan. Tidak seperti di negara kapitalis dimana negara adalah alat dari borjuis, ataupun dalam terminologi sosialis bahwa negara dalam kekuasaan buruh. Orde Baru justru yang menumbuhkan borjuasi nasional (konglomerat China, bisnis militer, BUMN, dan bisnis keluarga pejabat) dan mentransformasi buruh dan petani. Maka overdeveloped state, meminjam istilah dari Harry J. Benda (Farchan Bulkin; 1984) adalah Beamtenstaat - negara-untuk-negara-sendiri (a state "of its own").
Dalam situasi Perang Dingin, Amerika memberikan dukungan besar terhadap rezim militer – meskipun korup, melanggar HAM berat, dan pendudukan Timor Leste – karena bagi Amerika tidak peduli “kucing apa, yang penting bisa menangkap tikus” komunis. Dan bagi kalangan posivistik-modernis, untuk menumbuhkan industrialisasi dibutuhkan negara yang otoriter birokratik yang terdiri para teknokrat yang mempersiap situasi bagi sirkulasi modal asing, artinya seperti yang diungkapkan oleh Mansour faqih (1996), bahwa modernisasi dan developmentalisme adalah “bungkus baru dari kue lama” kapitalisme. Dengan demikian, pembangunan juga dilihat sebagai ideologi dominan baru yang tidak memungkinkan bagi Dunia Ketiga mencapai demokratisasi dan transformasi di bidang apapun yang meliputi bidang ekonomi, politik, kultur, gender dan lingkungan hidup termasuk hubungan pengetahuan/kekuasaan (knowledge/power relation).
Namun karena Perang Dingin usai, high cost production akibat pemerintahan rezim militer yang korup, serta Dunia Ketiga harus di-“demokratis”-kan dalam pengertian liberal, khususnya di bidang ekonomi sehingga menghilangkan berbagai hambatan, seperti tarif, proteksi, budaya dan lainya, Amerika mulai mencabut dukungan terhadap rezim militer. Ketergantungan yang tinggi terhadap dollar AS, mengakibat gangguan dalam sistem moneter berdampak pada krisis ekonomi dan politik, seperti yang dialami oleh Orde Baru di tahun 1997, yang berdampak kekuasaan ekonomi dan politik IMF di Indonesia menjelang akhir pemerintahan Soeharto dan pemerintahan-pemerintahan penggantinya.
Namun, fenomena-fenomena lanjutan pasca Perang Dingin menunjukan munculnya tantangan atas globalisasi berserta dominasi dan hegemoni Amerika Serikat dalam beberapa hal: Pertama. Tantangan dari regionalisme atau blok perdagangan, terutama sekali Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang sesungguhnya coba disaingi oleh Amerika lewat NAFTA (North America Free Trade Area) dan APEC (Asia Pasisic Economic Corporation) dengan AFTA (Asia Free Trade Area)-nya. Selanjutnya pasar bebas global kacau dengan munculnya FTA (Free Trade Area) antar negara dan dalam regionalisme seperti di Eropa Bersatu (Uni Eropa) dan ASEAN dengan China – rencananya menyusul dengan India – yang berdampak dua sekutu Amerika di Asia –Korea Selatan dan Jepang – kebakaran jenggot dan tergopoh-gopoh ingin seperti China. Maka di depan mata sangat mungkin tercipta komunitas Asia Timur yang sanggup menandingi Uni Eropa dan Amerika. Kedua. Tantangan dari kekuatan-kekuatan nasional, terutama dari China, yang semakin menjadi ancaman secara ekonomi, politik dan kemiliteran Amerika berserta sekutunya di wilayah Asia Pasifik khususnya. China cukup siap menghadapi globalisasi, keikutsertaan China dalam WTO (Word Trade Organization) bukan wujud ketertundukannya terhadap kapitalisme internasional, tetapi justru mempergunakan sarana kapitalisme internasional untuk menjual barang produksinya, artinya di China kapitalisme tidak pernah dihancurkan tetapi dikontrol, seperti yang nampak pada resolusi kongres PKC beberapa waktu yang lampau yang mengijinkan warga kelas kapitalis menjadi anggota PKC. Munculnya kekuatan-kekuatan nasional yang menentang dominasi Amerika, akhirnya menimbulkan pertanyaan akankah kritik atas kapitalisme pasca Perang Dingin tidak hanya melahirkan kemenangan partai-partai sosialis dan partai pekerja (buruh) dengan basis ideologi sosial demokrasi di Eropa tetapi juga memunculkan national question baru yang akan memunculkan nasional demokrasi kerakyatan ? Ketiga. Krisis moneter di Amerika. Dollar AS semakin turun nilai tukarnya terhadap euro, mata uang Uni Eropa, yang kini mendorong banyak negara mengganti nilai tukar mata uangnya dari dollar AS ke uero.
Pertanyaan bagi Indonesia adalah apa prasyarat obyektif Indonesia untuk ikut dalam perdagangan bebas, apakah itu merupakan bagian dari marketing ataukah keharusan yang harus diterima. Dan bagaimana kesiapan negara, masyarat dan perekonomian Indonesia menghadapi perdagangan bebas?. Ataukah kita akan menolaknya, secara langsung atau secara parsial dan bertahap ?
Para pengusaha menyatakan siap mengikuti pasar bebas, dikatakanya ketidaksiapan ada di pihak pemerintah. Hal-hal yang sering disebut menjadi kendala bagi kalangan usaha – yang disebabkan pemerintah - antara lain, bunga yang tinggi; pajak yang tinggi; tidak adanya konsep dari pemerintah (regulasi, pemetaan persaingan internasional, Undang-undang) yang complemented bagi dunia usaha, justru kebijakan pemerintah kontraproduktif dengan dunia usaha karena tidak ada sistem kebersamaan antara pemerintah dengan pengusaha; Hight cost production yang disebabkan KKN; dan krisis moneter.
Namun juga terlalu berlebihan jika dikatakan pengusaha Indonesia telah siap, selain karena mereka tumbuh dalam tradisi yang dikembangkan oleh Orde Baru yaitu monopoli, oligopoli, nepotisme, kolusi dan korupsi – maka banyak pengusaha yang menjadi fungsionaris Golkar di masa Orba dan fenomena baru menunjukan mereka mengincar kursi legislatif dan eksekutif yang berarti akumulasi modal dan laba tertinggi didapat dari proyek negara dan hutang luar negeri atau modal asing yang berarti melanggengkan ketergantungan lumpan borjuis terhadap borjuis international/transnasional - para pengusaha juga memiliki kelemahan berupa lemahnya inovasi; lemahnya research development; lemahnya SDM; lemahnya daya saing; lemahnya manajemen mutu; dan lemahnya standarisasi tekhnologi. Dan jika berbagai kelemahan tersebut hendak ditutupi dengan strategi kolusi atau menguasai negara, dan menjadi komprador untuk mencukupi lemahnya permodalan maka borjuasi Indonesia tidak mempunyai watak progresif.
Hingga sekarang praktis pembangunan infrastruktur negara dan perekonomian masih sangatlah lemah dan wacana yang berkembang masih menunjukan bahwa bagaimana kita ikut pasar bebas dan perbaikan ekonomi nasional yang diukur dari turunnya inflasi dan suku bunga serta kestabilan moneter, sebuah pemikiran yang merefleksikan ketergantungan atas modal asing (dollar), padahal perbaikan harusnya tertuju kepada ekonomi riil masyarakat yaitu pekerjaan dan kesempatan kerja, yang itu secara nasional nantinya terlihat dalam besarnya investasi, ekspor dan domestic demand. Soal investasipun seharusnya bersandar pada formasi sosial dan formasi kapital seperti apa yang hendak dibangun, dan bagaimana persoalan transisi dan transformasinya, sehingga tidak seperti tambal sulam demi investasi dan pasar bebas.
Modal adalah persoalan penting dalam pembangunan dalam negeri, khususnya modal asing memiliki signifikansi dalam mode of production post colonial yang telah menciptakan negara dan masyarakat dalam kapitalisme pinggiran yang terhisap oleh kapitalisme pusat semenjak masa kolonial. Bagi pemerintah Indonesia, pasca proklamasi, Amerika dan modal asing tetap faktor penting, wakil presiden M. Hatta mengatakan (Anderson; 1988), terlebih2 Amerika Serikat jang oleh seloeroeh Asia dan teroetama oleh Indonesia diharapkan akan dapat memberi pertolongan jang sebesar-besarnja dikemoedian hari, di dalam oesaha bangsa Indonesia memadjoekan negaranja serta penghidoepan rakjatnja. Oempamanja dengan pertolongan indoestri besar Amerika serta kredit Amerika dan pembelian barang mentah jang banyak itoe.....malahan kita mengetahoei dan mengerti benar, bahwa oentoek keperloean negeri dan bangsa kita di dalam beberapa tahoen jang akan datang ini, kita akan memerloekan pertolongan bangsa asing di dalam pembangoenan negeri kita berupa kaoem teknik, dan kaoem terpeladjar, poen joega kapital asing........Segala milik bangsa asing selain daripada jang diperloekan oleh negara kita oentoek dioesahakan oleh negara sendiri, dikembalikan pada jang berhak, serta jang diambil oleh negara akan dibajar keroegiannya. Hal senada juga disampaikan perdana menteri Sutan Sjahrir (1945), selama alam kita alam dunia kapitalis, terpaksa kita menjaga jangan sampai dimusuhi oleh dunia kapitalis itu, jadi membuka negara kita menjadi lapang usaha mereka sedapat mungkin, yaitu dengan batas bahwa keselamatan rakyat tidak akan terganggu olehnya. Demikian pula terhadap pemasukan orang-orang asing ke dalam negeri kita. Di dalam masyarakat yang berdasar demokratis yang kuat dan sehat, segala ini dapat dipikul dengan mudah, dengan tak perlu menimbulkan pembencian golongan-golongan berdasar atas kebangsaan. Berbeda dengan kalangan oposisi yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat yang kemudian menjadi Persatuan Perjuangan, yang progamnya bersandar pada pemikiran Tan Malaka, yang menyatakan bahwa Indonesia dapat keluar dari cengkeraman imperialisme lewat gerilya (perlawanan bersenjata), politik (persatuan perjuangan, rezim pejuang, memanfaatkan konflik/kontradiksi internasional), dan ekonomi (Rencana Ekonomi Berjuang: nasionalisasi, koperasi, boikot dan mogok). Namun akhirnya akhir episode perang revolusi kemerdekaan dimenangkan oleh mereka yang menghendaki berkompromi dengan Amerika- Inggris-Belanda.
Setelah pengakuan kedaulatan, pemerintahan Soekarno menolak mengambil jalan kapitalis, - meski mengijinkan perusahaan asing beroperasi kecuali Inggris dan Belanda akibat Trikora dan Dwikora – Soekarno mengumandang ekonomi berdikari dan berseru: “go to hell with your american aid`s”: Tetapi Soekarno juga tidak menempuh pola pembangunan sosialis sepenuhnya. Sedangkan di masa Orde Baru, modal diambilkan lewat hutang luar negeri dan investasi di relokasi industri, sedangkan pemerintahan-pemerintahan pengganti Orde Baru praktis secara ekonomi masih bercorak irasionalitas orbais-soehartois: “Ketidakmengertian akan masa lalu, dan kebingungan akan masa depan. Kepercayaan akan kekayaan Indonesia sekaligus kepasrahan tentang kemiskinannya.”
Yang berbeda dengan di masa Orba, dimana eksekutif, birokrasi, legislatif, yudikatif dan masyarakat sipil sepenuhnya dalam kontrol eksekutif (presiden Soeharto). Sedangkan di masa Abdurahman Wahid hingga sekarang, praktis eksekutif harus berhadapan dengan kekuatan mandiri legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer. Artinya prediksi ekonomi politik SBY-JK adalah fenomena eksekutif, sedangkan fenomena negaranya kita harus memprediksikan parlemen, birokrasi dan militer. Namun pengalaman sebelumnya pada pasca Soeharto menunjukan hampir tidak ada pertikaian di internal legislatif maupun legislatif dengan eksekutif yang berkaitan dengan kebijakan liberalisasi ekonomi produksi. Lihat saja mesti banyak ditentang oleh elemen-elemen masyarakat sipil, DPR dan pemerintah tetap mensahkan serangkaian peraturan perundangan yang berkaitan dengan sumber-sumber daya agraria, perburuhan, privatisasi, pencabutan subsidi dan sebagainya, yang dipandang berdampak buruk terhadap bangsa, negara, dan rakyat Indonesia
Selain dengan parlemen, eksekutif juga harus menyesuaikan anggaran belanja dengan kebutuhan pertahanan – berbeda dengan Jepang, Korea Selatan, Jerman Barat, Brunei dan sebagainya yang pertahanannya di tanggung oleh Amerika dan Inggris (atau NATO – North Atlantic Teatry Organizations) – yang diajukan TNI. Penelitian yang dilakukan Talukder Maniruzzaman (1998), menyebutkan, sebuah negara yang sedang berkembang jarang sekali mampu memberikan senjata-senjata yang paling canggih dan efektif kepada para serdadunya Meskipun dalam kenyataannya, anggaran belanja untuk tentara merupakan bagian terbesar dari pengeluaran tahunan negara Dunia Ketiga. Bahkan kalaupun senjata-senjata mutakhir bisa dibeli, kebanyakan negara berkembang tidak mampu mengadakan latihan militer dengan memakai senjata-senjata tersebut karena mahalnya ongkos latihan serta peralatan-peralatan penunjang. Artinya kemudian diperlukan upaya memasukan aspirasi demokrasi dalam strategi pertahanan dan keamanan dalam kerangka konsolidasi demokrasi, sehingga memungkinkan munculnya alternatif strategi pertahanan yang tidak mahal, intelijen yang terpantau, mendorong reformasi TNI dan yang lebih penting adalah tidak mengulangi kesalahan menjadikan militer sebagai anjing penjaga modal serta kesalahan kontrol subyektif terhadap militer, misalnya Dewan Keamanan Nasional sebagai pelengkap Dewan Ekonomi Nasional, yang berarti stabilatas ekonomi akan ditopang oleh security approach (cara-cara militeristik).
Untuk itulah menjadi tidak relevan jika Dewan Ekonomi Nasional, ruang koordinasi antara pemerintah dan pengusaha, tetapi harus melibatkan pekerja, maka Undang-undang Dewan Ekonomi perlu dilengkapi dengan Undang-undang Dewan Pekerja dan Undang-undang Partisipasi Pekerja.
Di Indonesia sampai sekarang nasib buruh atau pekerja masih menyedihkan, apalagi nasib para TKI. Meski sudah banyak muncul serikat pekerja, akan tetapi kesadaran politik pekerja masih tetap lemah, dan PHK adalah ancaman nyata pekerja akibatnya tingginya angka pengangguran pada sektor miskin kota dan keluarga petani miskin di desa. Proses pemiskinan struktural akibat kebijakan ekonomi yang membawa kontradiksi antara industri besar dengan industri ringan dan pertanian.
Industrialisasi adalah jawaban bagi peningkatan investasi, ekpor dan domestic demand, akan tetapi industrialisasi tidak boleh menjadi sesuatu yang utama, melainkan harus menjadi penggerak sektor-sektor ekonomi rakyat – usaha mikro, kecil, dan menengah serta pertanian – yang merupakan fundamental ekonomi.
Selama ini industrialisasi menyimpan kontradiksi dengan sektor industri ringan (usaha mikro, kecil, dan menengah) dan sektor pertanian yang membawa dampak kontradiksi antara kota dan desa – termasuk juga daerah maju dengan daerah tertinggal. Contoh kontradiksi antara industri dengan pertanian: Perluasan industrialisasi berdampak pada semakin bertambah sempitnya lahan pertanian; pertanian menghamba pada industri; pertanian organik (organic farming) menjadi rusak karena pertanian harus memakai produk industri dan mengakibatkan lemahnya produktifitas serta harga produksi pertanian rendah. Sementara itu barang konsumsi produk industri tinggi sehingga menguras penghasilan rendah petani. Kemiskinan petani yang massif berdampak turunnya penjualan barang produksi industri.
Kontradiksi antara kota dengan desa (di desa minus kapital sedangkan di kota surplus kapital), hal ini berdampak pada terasingnya petani dalam distribusi hasil pertanian, petani rela menjual rendah hasil pertanian kepada tukang ijon atau tengkulak karena minus kapital serta terjebak pada rentenir. Kemiskinan di desa dan tidak prospektifnya pertanian mengakibatkan urbanisasi di kota-kota dan bergerak di sektor-sektor informal. Lemahnya produktifitas pertanian menjadikan alasan bagi pemerintah untuk mengimport produk pertanian yang justru menjatuhkan harga produk pertanian; Surplus kapital di kota, mendorong perluasan kota dan terjadinya artikulasi cara-cara produksi, dimana sektor pertanian diganti dengan ruko atau perumahan. Jika artikulasi cara-cara produksi memunculkan industrialisasi, maka posisi kelas petani tetap jelas, yaitu menjadi buruh (kelas proletariat), tetapi jika pertanian dijadikan ruko, perumahan, lapangan golf, dan sebagainya maka yang muncul adalah masyarakat declasses (lumpan proletariat) yang fenomenanya dapat kita lihat dalam kaum miskin kota: Pedagang Kaki Lima (PKL), premanisme, dan sektor informal lainya.
Kepasrahan PKL terhadap ancaman penggusuran adalah sikap atas ketertundukan kepada dominasi dan hegemoni negara, yang diawali rasa takutnya terhadap hukum. Kalaupun ada sering muncul perlawanan dari PKL ataupun rakyat miskin perkotaan yang digusur lebih dikarenakan matinya harapan. Penggusuran bukanlah jawaban, meskipun penggusuran adalah cermin masuknya investasi di kota, tetapi jika industri ringan (usaha mikro dan kecil) dan pertanian digulung maka sektor informal akan tetap muncul.
Maraknya pembangunan mall menunjukan pesatnya laju investasi, tetapi investasi yang hanya memacu konsumsi warga, juga pembangunan mall yang dibarengi massifnya penggusuran terhadap PKL, konflik dengan warga sekitar, menggusur lembaga pendidikan dan sebagainya, hanya akan mendorong ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Soe Hok Gie di masa awal Orde Baru membuat tulisan mengkritik pemerintah dengan judul “Betapa Tidak Menariknya Pemerintah Sekarang”. Soe Hok Gie memandang Soekarno mampu membawa antusiasme rakyat, berbeda dengan Orde Baru, yang pejabatnya secara penampilan dan materi yang disampaikan membosankan. Hal itu tentu bisa dijadikan pelajaran bagi pemerintahan sekarang bagaimana mendorong partisipasi bukanya antipati rakyat. Artinya pembangunan kota harus melibatkan public critical rational discourse, dan secara teknis bahwa pemerintah tidak bermaksud menelantarkan rakyat harus di buktikan lewat pembangunan pusat ekonomi baru, tempat-tempat penyerapan PKL dan revitalisasi pasar tradisional bagi solusi pemberdayaan kewirausahaan PKL. Namun untuk berkembang secara ekonomi khususnya relokasi di daerah yang masih mau dikembangkan pemerintah harus mempunyai kebijakan transisi yang transformatif. Secara teknis bisa saja untuk pemberdayaan dibentuk Biro UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di birokrasi dan center for industrial strategy untuk merencanakan industrialisasi dan subsidi yang lebih fokus dan nyata, misalnya KTP yang pembikinannya bisa agak mahal tetapi dapat berfungsi sebagai subsidi kesehatan, dan sebagainya. Namun yang lebih penting untuk menangani kemiskinan, pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan (general contruction) harus jelas untuk mengatasi berbagai kontradiksi tersebut.
Pertama. Pembangunan harus mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi antara pemerintah, sektor bisnis dan sektor rakyat. Untuk itu harus terjadi kolektivitas antara sektor bisnis (modal, industri dan perdagangan), sektor rakyat (produsen: industri ringan dan pertanian), pemerintah (regulator) dan intelektual (entepreuner policy). Kedua. Prinsip pembangunan selain kolektivitas adalah independensi, yaitu berdikari dan merdeka dari aspirasi dan pengaruh imperialisme, berpegang pada potensi dan kearifan lokal (indegeneous knowledge), Ketiga. Tujuan pembangunan adalah pemberantasan kemiskinan absolut, memenuhi kebutuhan rakyat, membuka lapangan kerja, national and character building lewat pembentukan formasi sosial dan formasi kapital untuk merubah mode produksi post kolonial, status semi kolonial, dan demokratisasi. Demokrasi harus dimaknai bukannya liberalisme vulgar, tetapi kritisme masyarakat terhadap negara dan cara produksi serta pemerintahan yang berorientasi kerakyatan, perjuangan kerakyatan adalah mengembalikan apa yang menjadi hak dari buruh dan petani kita. Yang kita maksudkan dengan Hak adalah kemampuan petani untuk memproduksi kembali melalui kepemilikan tanah produktif oleh petani menggantikan kepemilikan tunggal oleh perusahaan-perusahaan perkebunan besar. Bagi buruh, tidak ada jalan lain kecuali memaksa sang kapitalis untuk merubah manajerial pabrik dengan kesejahteraan buruh sebagai dasar hubungan produksi yang menguntungkan. (Manifesto Politik Front Perjuangan Pemuda Indonesia).
Negara harus mampu menghilangkan hambatan-hambatan pada sektor industri, perdagangan dan modal, serta merencanakan dan mengontrol industrialisasi, perdagangan dan modal, Lewat center for industrial strategy dan mensosialisasikan industri (industri dalam kontrol sosial). Go public bukan dalam pengertian privatisasi, tetapi pada pengkoperasian. Tak kalah pentingnya adalah kesejahteraan dan perlindungan terhadap buruh untuk menghilangkan kontradiksi pengusaha dengan buruh. Hal yang paling mendasar adalah bahwa upah harus bersandar pada kebutuhan primer dan sekunder buruh serta menjadi prioritas pembangunan, karena selama ini upah buruh bersandar pada kebijakan relokasi industri berbasis upah buruh murah sebagai keunggulan komparatif, dan bersandar pada sisa nilai lebih yang di curi kapitalisme dan digunakan menutup biaya siluman, dimana biaya siluman tersebut (rente tersebut) kini telah menjadi modal yang terakumulasi dan menghasilkan laba).
Perjuangan demokratik dalam hubungan internasional adalah dengan negara yang menolak intervensi asing, dengan negara membawa perjuangan nasional di tingkatan internasional dengan mempelopori pembentukan wilayah pertukaran dan wilayah hegemoni tersendiri (komunitas demokratik) dalam rangka renegosiasi sistem ekonomi-politik internasional. Pemerintahan SBY-JK harus mendukung komunitas Asia Timur, karena jika tidak maka Indonesia yang digilas roda globalisasi.
Untuk mengatasi kontradiksi antara industri besar dengan industri ringan dan pertanian, yang diperlukan adalah : Satu. Industri dasar-berat-besar mendukung industri ringan dan pertanian. Dua. Investasi ke industri ringan dan pertanian agar modalnya lebih besar dari industri besar sehingga menciptakan fundamental ekonomi. Tiga. Reforma agraria dan pembangunan desa terpadu yang mampu mencukupi kebutuhan pokok rakyat, membuka kesempatan kerja, diversifikasi ekonomi desa, menggerakan proses industrialisasi di desa dan peningkatan pendapatan.
Persoalan pertanian dan agraria lainya adalah hal yang signifikan dan fundamental, karena kegagalan sektor pertanian dan permasalahan-permasalahan agraria akan berdampak pada ekonomi kolektif .
Pemaparan diatas menyarankan pemerintah hendaknya tidak semata-mata memberi penekanan terhadap pendekatan moneteris, tetapi lebih ke pendekatan strukturalisme, yang berorientasi - menurut Wisnu Agung Prasetya (2004) - pada strukturisasi dan re­strukturisasi ekonomi disertai intervensi mengatur dan mengontrol mekanisme pasar. Pertama. Restrukturisasi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi. Kedua. Restrukturisasi alokatif: Menyangkut alokasi dana-dana pembangunan, baik dana anggaran nasional ataupun daerah, baik yang berasal dari perbankan ataupun dari lembaga-lembaga non-bank. Ketiga. Restrukturisasi spasial (spatial): Restrukturisasi ini diperlukan antara lain untuk mencapai pemerataan dan keseimbangan pembangunan serta pertumbuhan antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, antara Jawa dan luar Jawa, antara perkotaan dan perdesaan, dan seterusnya. Keempat. Restrukturisasi sektoral: Hal ini diperlukan terutama untuk mencapai keseimbangan dinamis antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor formal-modern dan sektor informal-tradisional, antara sektor-sektor yang grassroots-based dan yang non­grassroots-based. Kelima. Restrukturisasi perpajakan: Selain berperan sebagai sumber penerimaan negara, pajak adalah sarana redistribusi. Pada dasarnya pajak harus progresif untuk mempersempit kesenjangan. Khususnya terhadap kekayaan dan pemilikan barang mewah harus dikenakan pajak kekayaan secara progresif. Sebaliknya terhadap kelompok miskin yang memerlukan pemberdayaan diberikan subsidi atau proteksi. Pajak merupakan insentif untuk kegiatan produktif dan disinsentif terhadap konsumsi mewah. Keenam. Restrukturisasi strategis: Restrukturisasi ini untuk memperkukuh kemandirian ekonomi, mengurangi dependensi dan meningkatkan interdependensi resiprokal yang seimbang dan diperlukan untuk memperkukuh fundamental ekonomi. Dengan restrukturisasi strategis ini perekonomian nasional diarahkan untuk berakar di dalam-negeri dan menjadi people-centered dan resources-based.
Sebagai penutup, globalisasi harus kita songsong dengan tetap menjadi negara semi kolonial atau dengan negara revolusioner, rezim pejuang yang akan menjalankan rencana ekonomi berjuang.

Daftar Pustaka
Ahmad Rosadi Harahap, Tantangan Ekonomi Dunia dan Terorisme, Kompas, Kamis 25 November 2004
Anderson, Ben, Java in A Time of Revolution, Occupation and Resistance 1944-1946, Cornel University Press,1972, terjemahan Jiman Rumbo, Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan Pertama, 1988
Bakaruddin Rosyidi Ahmad, Pemikiran Marx Tentang Alienasi : Sejarah Metode dan isi, Tesis Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 1991
Bonnie Setiawan, Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga, Teori-teori Radikal dari Klasik sampai Kontemporer, Insist Press, KPA, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan I, 1999
Crouch, Harold, Army and Politics in Indonesia, terjemahan Th. Sumartana, Militer dan Politik di Indonesia, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan pertama,1986
Djauhari Oratmangun, Sejarah Perkembangan WTO dan Deskripsi Isi Perjanjiannya, Disusun sebagai materi diskusi interaktif bertema “Implikasi Perjanjian WTO Terhadap Pengembangan Ekonomi Daerah”, Yogyakarta, 27 Oktober 2001, Direktorat Kerjasama Ekonomi Multilateral Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri Republik Indonesia, 2001
Farchan Bulkin, Negara, Masyarakat dan Ekonomi, Prisma, No. 8, 1984
Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Manifesto Politik Front Perjuangan Pemuda Indonesia, 2000
Hermawan Sulistyo, The Forgotten Years: The Missing History of Indonesia`s Mass Slaugter (Jombang-Kediri 1965-1966), Arizona State University, terjemahan: Suaedy, Uchi Sabiri, Syafiq, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), Keputakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000
Isaak, Robert A, International Political Economy, terjemahan Muhadi Sugiono, Ekonomi Politik International, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 1995
Kahin, Audrey R, Kahin, George McT, Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia, New York Press, New York, 1995, terjemahan R.Z. Leirissa, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri, Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Pertama, Jakarta, 1997
Maniruzzaman, Talukder, Military Withdrawal from politics a comparative studie, terjemahan Ashintya D. Sukma, Militer Kembali ke Barak, Sebuah Studi Komparatif, Cetakan Pertama, PT Tiara Wacana, Yogya, Yogyakarta, 1998
Mansour Faqih, The Role of Non-Governmental Organizations in Social Transformation: A Participatory Inguiry, Disertasi UNivesity of Massachusetts, Amherst, 1996, terjemahan Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial. Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1996
Muhadi Sugono, Restructuring Hegemony and the Changing Discourse of Development, terjemahan Cholish, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
Vilas, Carlos M, Perfiles de la revolucion Sandinista: Liberacion nacional y tranformaciones socials en Centroamerika, Legasa S.R.I, Buenos Aries, terjemahan Inggris The Sandinista Revolution, Monthly Review Press N.Y, Center for the Study of Americas, CA, terjemahan Ira Iramanto, Revolusi Sandinista, Revolusi Nasional dan Transformasi Sosial di Amerika Tengah, naskah tidak diterbitkan, tt