Wednesday, October 18, 2006



Perkembangan Islam dan Konsolidasi Kekuasaan di Jawa:
Berdirinya dan Konsolidasi Kekuasaan Mataram

Oleh : Gunawan


Yogyakarta
2004


A. Alasan Pemilihan Judul

Mengapa judul diatas layak dikemukakan adalah ketika seolah masyarakat Indonesia terbelah dalam pembagian Clifford Geertz: “Santri; Abangan; Priyayi”. Santri mewakili tradisi Islam – meski istilah santri lahir dari istilah cantrik dalam tradisi Hindu – sedangkan priyayi dan abangan mewakili tradisi Jawa. Dalam konteks pelajaran sejarah, para “santri” membaca Tarikh sedangkan “Jawa” membaca Babad.
Dampaknya bagi sejarah dan perkembangan masyarakat adalah the dark side of history, karena banyak penggalan sejarah yang hilang, sejarah Islam kehilangan pijakannya karena terpisah dengan ke-jawa-annya. Dan sejarah Jawa, kehilangan spiritualitasnya karena terlepas dari ke-islamanya. Maka the dark side of history perkembangan masyarakat Jawa adalah juga the dark side of humanism. Karena masyarakat memiliki globalitasnya sendiri sebagai ruang dialektika antar berbagai pandangan, keyakinan, ideologi dan sistem kebudayaan yang menunjukan emansipatoris kemanusiaan, maka penghilangan prinsip-prinsip dialektika – kontradiksi cara produksi, ide dan emansipasi - dalam sejarah, menjadikannya sekedar cerita yang menidurkan semangat gerak kemanusiaan.
Mataram (baca: Mataram Islam) adalah contoh kongret dari the dark side of history dan the dark side of humanism. Dalam sejarah “Islam”, Mataram seolah hanya kelanjutan dari kisah jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan Islam, sehingga seolah menjadi sejarah keadminitratifan - yang lahir dari pandang kaum positivis pengusung rasionalisme birokratik - tanpa pernah menyentuh isi kehidupannya. Sedangkan dalam sejarah “Jawa”, Islam seolah menjadi artifisial belaka yang menyertai sebuah periode kekuasaan, dalam artian muncul sepintas lalu dalam sebuah episode sejarah yang puritan dan xenophobis.
Gambaran yang lebih menyeluruh sejarah – termasuk juga – Mataram justru muncul dari sejarawan Barat di mulai dalam masa periode kolonial. Artinya sejarah Indonesia adalah sejarah temuan, untuk itu diperlukan upaya rekontruksi atas historisitas dan historiografi Indonesia. Sejarah Indonesia adalah produk dari sejarah kolonial, meski telah muncul kajian sejarah post colonial, tetap harus mengingat status semi kolonial pada post colonial Indonesia kontemporer, yang berarti negara, masyarakat, cara produksi dan sistem pengetahuan serta sejarah tetap di bawah hegemoni dan dominasi Barat.
Karena hal itulah menjadi perlu untuk membangun metode baru dan kajian-kajian kritis atas sejarah dan perkembangan masyarakat, bahkan pembangunan teori-teori sosial baru, yang di susun oleh orang Indonesia sendiri.

B. Tujuan Penelitian
Melakukan cultural studies melalui sebuah riset sejarah dalam rangka menemukan sebuah dialektika dari perkembangan Islam dan konsolidasi kekuasaan dengan studi kasus Mataram Islam.
Melakukan pendokumentasian sejarah.
Mempopulerkan kembali cerita sejarah lokal yang tengah tenggelam dalam budaya popular yang serba Barat, serba materialistik, dan serba konsumtif.

C. Latar Belakang Masalah

Sejarah Jawa paling tidak bersumber pada Babad dan sejarah lisan atau tutur. Sumber berikutnya adalah hasil dari penelitian sejarah, yang sering juga menggunakan sumber Babad dan sejarah lisan juga menggunakan beberapa peninggalan sejarah dan penemuan arkeologi termasuk juga laporan dari orang-orang Barat, khususnya orang Portugis, Belanda dan Inggris.
Penelitian orang Barat, terutama H.J De Graff sedikitnya telah mampu merekontruksikan perkembangan Islam dan konsolidasi kekuasaan di Jawa, sebut saja hasil risetnya yang telah di Indonesiakan : “Pertama. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Kedua. Awal Kebangkitan Mataram. Masa Pemerintahan Senapati. Ketiga. Puncak Kekuasaan Mataram. Politik Ekspansi Sultan Agung.”
Kelemahan dari studi De Graff justru terletak diwilayah geografis Mataram itu sendiri dalam pengertian studinya atas perkembangan Islam dan konsolidasi kekuasaan Mataram. Misal saja De Graff hanya sepintas saja menceritakan ekspansi Ki Ageng Pamanahan atas penduduk Mataram dan ekspedisi ke Giring. Bahkan tidak memasukan ekspedisi Mataram di bawah Senapati anak Pamanahan ke Mangir.
Sisi lain yang belum diungkap oleh banyak peneliti mengapa Mataram - yang juga termasuk tanah mahkota Majapahit – dan juga Giring serta Mangir luput dari ekspedisi penaklukan Sunan Kudus di masa Demak, padahal ekpedisi tersebut telah berhasil menaklukan Pengging (timur Mataram) dan Pasir (barat Mataram). Serta bagaimana posisi makam keramat Syekh Jumadil Kubro dan makam Syekh Bela Belu serta makam Syekh Maulana Maghribi dengan pengislaman penduduk Mataram, mengingat islamisasi berbarengan dengan ekspedisi Pamanahan membuka hutan Mentaouk (Mataram).
Kalau kekuasaan awal Mataram di pandang kurang bercorak Islam, walaupun memiliki klaim legitimasi dari Sunan Kalijaga. Namun di masa kejayaanya (masa Sultan Agung), gelar raja telah memakai gelar Islam (Arab) sultan dan wacana Mataram-Mekah dalam kasus rutinitas raja dalam sholat Jum`at dan pembangunan kompleks makam Imogiri.
Dari pemaparan di atas menunjukan adanya episode sejarah yang terpenggal dan perlunya untuk pendokumentasian baru dalam rangka rekontruksi atas historiografi dan historisitas sejarah di Indonesia.

D. Landasan Pemikiran

Anthony Reid menjelaskan bahwa Jawa sebagai kasus khusus. “Kekuatan kejawen, atau Jawaisme yang langgeng menyebabkan wilayah-wilayah yang berbahasa Jawa tampak unik di antara budaya-budaya Islam. Dalam zaman modern (terlebih dalam tahun 1950-an di banding tahun 1980-an) tidak sulit menemukan aristokrat muslim nominal Jawa yang percaya bahwa islamisasi Pulau Jawa merupakan suatu bencana budaya dan bahwa tradisi yang lebih tua mengenai meditasi dan asketisme adalah jalan yang lebih benar untuk mencapai yang suci dibandingkan dengan syari`ah. Penelitian belum lama ini (Ricklefs 1979; Kumar 1980: 12-16: Kumar 1985: 6-7) membuktikan bahwa jurang budaya yang di bentang dengan jelas oleh Geertz (1960) antara para aristokrat kejawen dengan muslim taat (santri) sebagian besar disebabkan karena tekanan intelektual Belanda selama seabad sebelumnya dan oleh moralisme baru kaum reformis Islam. Jawa di abad ke-17 belum merupakan kasus khusus dibandingkan perkembangan kemudian di awal abad ke-20. Meskipun demikian, dalam dua hal Jawa berada pada satu spektrum. Jawa memiliki budaya keraton yang paling berkembang di banding kerajaan-kerajaan lain yang menerima Islam, dan penolakannya untuk terlibat dalam jaringan Islam internasional dalam abad ke-17 adalah lebih mendalam dibandingkan dengan lainnya”[1].

E. Jangkauan Penelitian dan Pendokumentasian

Secara geografis meliputi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk melacak leluhur pengislaman dan konsolidasi kekuasaan Mataram, serta DIY untuk fokus studi utama yaitu pembukaan kembali Mataram (masa Ki Ageng Pamanahan), konsolidasi Mataram (masa Panembahan Senapati) dan kejayaan Mataram (masa Sultan Agung)
Sedangkan untuk bentangan sejarahnya, untuk bisa memahami latar belakang Mataram, terutama sekali para leluhurnya dan pengislamanya, sedikit akan diurai pengislaman Jawa, dan beberapa kerajaan pra Mataram.

F. Pembahasan

I. Pengislaman Jawa, Pan Islamisme, dan Fundamentalisme

Menceritakan bagaimana ajaran Islam masuk ke Jawa. Baik secara mitos, legenda maupun berdasarkan bukti-bukti sejarah. Jika hal-hal itu dirangkai maka ada beberapa kelompok cerita.
Pertama. Mitos Aji Saka. Seperti diceritakan dalam Manikmaya (salinan Panambangan, 1981 : 295) disebutkan bahwa Aji Saka - dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad (yang hidup pada akhir abad VI - pertengahan abad VII). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad (Graff 1989 : 9) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII (sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit[2].
Kedua. Cerita putri Campa dan Para Keponakannya[3]. Putri Campa adalah seorang putri dari Campa Kamboja yang diperistri raja Majapahit (Prabu Brawijaya).Setelah dinikahi Brawijaya, putri Campa tersebut bergelar ratu Andarawati atau Darawati Di asalnya dia mempunyai saudara perempuan yang menikah dengan orang Arab. Konon orang Arab ini adalah anak Syekh Jumadil Kubra dan masih keturunan Syekh Parnen (Iskandar Zulkarnain). Dia memiliki beberapa nama, antara lain: Raja Pandhita; Sayid kaji Mustakim; Makdum Brahim Asmara; Imam dari Asmara; Maulana Ibrahim Asmara. Konon dia lahir di Arab dan pernikahannya dengan putri Campa saudara Ratu Darawati melahirkan dua orang anak yang kemudian menyusul di Jawa.
Dua orang tersebut bernama Raja Pandhita (Raden Santri atau Sayid Ngali Murtala) dan Pangeran Ngampel Denta (Raden Rahmat atau Sayid Ngali Rahmat atau Arya Sena). Kedatangannya bersama saudara sepupu yang lebih tua bernama Abu Hureirah (Raden Burereh) putra raja Campa. Raja Pandhita kemudian berkedudukan sebagai imam masjid di Gresik, sedangkan Raden Rahmat menjadi imam masjid di Surabaya.
Ketiga. Konsolidasi kekuasaan para pedagang Cina. Para pedagang Cina banyak menetap di pantai utara pulau Jawa, disana selain menjadi pelopor pembukaan dermaga bahkan ada yang kemudian mendirikan kerajaan seperti dalam kasus Demak (Jimbun/Bintara) dan Jepara (Jung Mara).
De Graaf dengan menggunakan berbagai sumber (Barat, Jawa Barat, dan Babad) telah berhasil merekontruksi pendirian Demak dan Jepara[4]. Menurut studinya asal-usul berdirinya Demak Islam berasal dari Cek Kopo dari Moghul (yang dimaksud Mongol) Orang Cina ini (Cek dalam bahasa Melayu adalah Paman) adalah abdi Gresik yang mengabdi ke Demak, yang kala itu masih bawahan Majapahit. Di Demak diangkat menjadi Capitan untuk diutus menaklukan Cirebon. Karena keberhasilannya ia diangkat patih (Pate).
Cucu Cek Kopo yang bernama Cu-Cu, menurut Sadjarah Banten karya Djajadiningrat adalah murid Ngampel Denta yang diutus untuk membikin kompleks muslim di Demak, dan dia berhasil melakukannya di daerah Bintara, oleh penguasa Demak, Lembu Sora di laporkan ke Majapahit, dan Cu-Cu mendapat gelar “Tandha di Bintara”.
Rupanya Cu-Cu kemudian melakukan penggulingan kekuasaan di Demak dan berhasil, akan tetapi tetap menyatakan setia terhadap Majapahit, ini bisa dilihat dari penugasanya oleh Majapahit untuk mengatasi keangkuhan Palembang, keberhasilan di Palembang sehingga ia mendapat gelar dari Majapahit yaitu Arya Sumangsang. Tetapi Palembang membangkang lagi, Cu-Cu kembali diutus dan berhasil hingga diberi gelar baru yaitu Prabu Anom dan anaknya diberi nama Ki Mas Palembang. Setelah Demak berhasil mengalahkan Majapahit, oleh para wali diberi gelar Senapati Jimbun Ngabdu`r-rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama. Kata Jimbun adalah nama salah suatu lokasi di Demak.
Dalam berita Portugis Cu-Cu dikenal sebagai Pate Rodin (blasteran dari Kamaru’d-din dan Badru’d-din) Senior, sedangkan anaknya dikenal sebagai Pate Rodin Junior. Dalam Babad Cu-Cu dikenal sebagai raden Patah, namun dia adalah anak dari Brawijaya dari istri yang berasal dari Cina. Ketika hamil dihadiahkan ke penguasa Palembang, di Palembang Raden Patah lahir. Dalam tradisi Jawa Ki Mas Palembang di kenal sebagai Sultan Trenggana (Sultan Bintara Jimbun) sebagai raja ketiga Demak setelah Raden Patah dan Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor/Jimbun Sabrang), yang juga putra Raden Patah.
Berbeda dengan Babad, berita Portugis justru menunjukan bahwa Dipati Unus (Pate Unus menurut Portugis – mungkin berasal dari kata Yunus) adalah menantu dari Cu-Cu. Orang tua Dipati Unus adalah Cina yang menjadi Buruh di Kalimantan Barat Daya yang kemudian pindah ke Malaka. Dia menjadi sukses dengan menjadi Bajak Laut dan hubungan kekeluargaan, sebut saja Pate Unus pernah meminang putri raja Malaka dan menikah dengan anak Cu-Cu (Raden Patah). Pate Unus kemudian pindah ke Jepara dan setelah membunuh penguasa setempat ia berkuasa.
Kalau merujuk ini maka menjadi wajar kalau Pate Unus bergelar Pangeran Sabrang Lor, yang berarti Pangeran dari seberang utara. Pate Unus memang sangat dikenal dalam berita Portugis, karena serangan Jepara atas Malaka yang gagal.
Di Jepara ada juga kerajaan yang masih memiliki hubungan famili dengan Demak dan Jepara, yaitu Kalinyamat, yang didirikan oleh seorang nahkoda Cina sebuah kapal dagang yang kandas. Dia di Islamkan oleh Sunan Kudus, dan mengabdi pada Demak di masa Trenggana yang kemudian dihadiahi putri Trenggana untuk dinikahi. Cina tersebut kemudian terkenal dengan nama Ki Kalinyamat, sedangkang istrinya dikenal dengan nama ratu Kalinyamat, yang kemudian melanjutkan serangan Jepara terhadap Protugis di Malaka dan Maluku. Ratu Kalinyamat pernah menerima utusan orang-orang Maluku, yaitu dari persekutuan Hitu di Ambon dan Hative yang meminta dukungan untuk menyerang Portugis..
Perluasan Demak dan Jepara ke Jawa maupun luar Jawa dipandang juga bagian dari pengislaman nusantara. Sebuah pengislaman terhadap kekuasaan non Islam, tetapi juga kepada yang murtad (serangan Demak atas Pasir/Banyumas) dan kepada kekuasaan yang menjadi pengikut model Islamnya – pengikut Syekh Siti Jenar - (serangan Demak atas Pengging berserta sekutunya - Tingkir, Ngerang, Butuh). Dan menggagalkan (atau tidak merestui) Sunan Tembayat (Ki Pandanaran) mengkonsolidasikan kekuasaan Islam lain diluar Demak di bagian selatan Jawa Tengah.
Pengislaman atas Jawa dan beberapa tempat di nusantara juga akibat pengaruh dari masjid Agung Demak, sebagai tempat berkumpulnya para Wali, yang mana para imamnya masih famili dengan Putri Campa, terutama keturunan dari keponakannya, Raja Pandhita di Gresik.
Imam pertama masjid Demak adalah putra Raja Pandhita yang bernama Pangeran Bonang (Pangeran Ratu, Pangeran Makdum Ibrahim, Sunan Wadat Anyakra Wati).
Imam kedua adalah cucu dari Raja Pandhita dari anak perempuannya Nyai Agung Pancuran. Imam kedua ini bernama Makdum Sampang.
Imam ketiga masjid Demak adalah adalah anak Makdum Sampang yang bernama Kiai Gedeng Pambayun
Imam Keempat masjid Demak adalah Pangulu Rahmatullah dari Undung anak Nyai Ageng Pambareb yang merupakan saudara perempuan dari Nyai Ageng Pancuran, yang berarti imam masjid Demak keempat ini adalah cucu Ratu Pandhita, keponakan Nyai Ageng Pancuran dan ipar Makdum Sampang.
Imam kelima masjid Demak adalah anak dari Pangulu Rahmatullah yang bernama Pangeran Kudus (Pandhita Rabani/Sunan Kudus).
Yang menarik dari Islam dan kekuasaan di Demak adalah adanya gelar Sultan dan Suronatan. Sunan Kudus menjadi imam masjid Demak adalah karena panggilan dari Syekh Nurullah (Sunan Gunungjati), yang menurut Portugis bernama Falatehan (berasal dari kata Fatahillah) atau Tagaril. Syekh Nurullah adalah yang memberikan gelar Sultan pada Trenggana (Sultan Abdu`l-Arifin). Sebuah gelar untuk menandingi Sultan Salim I Akbar, dari Turki, yang di tahun 1517 berhasil menaklukan Mesir dan mendirikan khalifah Islam. Syekh Nurullah mengetahui soal kekhalifahan Islam ini karena dia pernah tinggal di Makkah dan rupanya ingin membangun pusat kekuasaan (khalifah Islam) untuk menandingi Turki, yang berarti pemakaian gelar Sultan tidak saja untuk menunjukan kesan Islam, tetapi juga internalisasi konflik internasional.
Pada zaman Demak kefanatikan orang yang baru saja memeluk agama Islam dan jiwa kepahlawanan tradisional umat Islam telah mendorong orang yang semula termasuk “masyarakat alim” – yaitu para pengrajin dan pedagang di lingkungan masjid ibu kota dan desa – bergabung menjadi kelompok bersenjata dengan tujuan mempertahankan agama yang benar, memperluas wilayah yang beragama Islam. Dapat diakui bahwa itulah yang merupakan latar belakang terbentuknya kelompok “pangulu bersenjata”, dibawah kepemimpinan Sunan Kudus, yang mana mereka sangat aktif dalam ekspansi Islam[5]. Seperti ikut aktif dalam menyerang dan meruntuhkan Majapahit dan wilayah lainnya. Dapat kita saksikan bagaimana Sunan Kudus membunuh Syekh Siti Jenar dan muridnya, Kebo Kenanga, seorang penguasa Pengging yang merupakan ayah dari Mas Karebet (Jaka Tingkir/Sultan Hadiwijaya).
Maka, masuk akal jika ada dugaan bahwa kelompok pegawai keraton yang setengah militer setengah religius itu (di keraton-keraton Jawa Tengah sejak abad XVII di kenal dengan nama Suranata (penata surau/masjid) adalah peninggalan suatu kelompok “orang alim” yang dipersenjatai dan berasal dari golongan menengah di kota. Mereka berhasil merebut tempat yang paling dekat dengan raja. Inilah mungkin tradisi awal dari fundamentalisme Islam. Seperti telah diurai diatas, kini di keraton-keraton Jawa selalu ada dua masjid, yaitu masjid Agung yang dilingkungan kampung yang bernama Kauman dan satu lagi di Suronatan.

II. Para Leluhur Mataram

Menceritakan para leluhur wangsa Mataram. Seperti halnya Demak, Mataram juga berusaha menghubungkan wangsanya sebagai keturunan Majapahit. Selain itu Mataram juga mencoba menghubungkan wangsanya dengan daerah keramat Medang Kemulan, khususnya daerah Sela (Sesela).
Alkisah Jaka Tarub (Ki Ageng Tarub) – cucu mbah kiai Telingsing (The Ling Sing) pendiri kota Ngundung (Undung) yang kemudian di kenal sebagai Kudus, maka ia di kenal juga bernama Kiai Gede Kudus - berhasil memperistri bidadari yang selendangnya dia curi. Bidadari tersebut bernama Nawangwulan yang perkawinannya dengan Jaka Tarub memperoleh anak Nawangsih yang kemudian menikah dengan raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng.
Konon Lembu Peteng adalah anak Brawijaya yang menikah dengan putri asal Wandan, sebuah suku berkulit kehitam-hitaman. Pernikahan itu terjadi karena Brawijaya mendapatkan wangsit bahwa penyakit kelaminnya akan sembuh bila menikahi putri Wandan. Wangsit itu juga mengatakan bahwa sang anak dari perkawinannya kelak dengan putri Wandan akan menghadirkan bahaya. Maka begitu lahir sang jabang bayi dititipkan ke seorang pengawas sawah yang bernama Kiai Buyut Masahar untuk dibunuh. Karena tidak tega akhirnya Raden Bondan Kejawan dipelihara oleh Kiai Buyut Masahar dan setelah dewasa diantar ke Prabu Brawijaya, pada mulanya Prabu Brawawijaya tidak mengenalinya, begitu dikenalinya kembali kemudian di terima dan dititipkan ke Ki Ageng Tarub yang kemudian dinikahkan dengan putri Ki Ageng Tarub, Dewi Nawangsih. Raden Bondan Kejawan namanya berubah menjadi Lembu Peteng.
Lembu Peteng secara harafiah berarti Kerbau Hitam. Yang ini bisa jadi sanepa dari anak yang lahir dari hubungan gelap. Dalam sejarah Jawa nama Lembu Peteng juga muncul beberapa kali. Pertama, merupakan anak dari Lembu Sora, penguasa Demak yang dijatuhkan Cu-Cu (Raden Patah), dimana kemudian Lembu Peteng dijadikan anak angkat oleh Cu-Cu dan menjadi moyang dari Sunan Tembayat (berarti pendiri Semarang/Sampo to alang). Kedua, anak Brawijaya raja Majapahit dengan putri Campa dan menjadi raja di Gili Mandangin atau Sampang, Madura
Perkawinan Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pandawa yang kemudian menikah dengan putri Ki Ageng Ngerang, yang mana hasil dari perkawinan tersebut lahirlah Ki Ageng Sela, yang merupakan anak tertua dari 6 orang saudara perempuan, yaitu: Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya.
Ki Ageng Sela termasyur ceritanya karena kemampuannya menangkap petir di dekat Masjid Agung Demak sewaktu Pangeran Sabrang Lor (Adipati Unus Jepara) meninggal, yang kini deskripsi dari perwujudan petir tersebut ada di Masjid Agung Demak. Masuknya Ki Ageng Sela ke lingkar kraton Demak bukanlah jalan yang mudah. Ki Ageng Sela mengikuti ujian masuk tamtama Demak dengan memukul hancur kepala Banteng, namun karena ia membuang muka takut terkena cipratan darah banteng, maka ia dianggap gagal karena dituduh penakut.
Maka goncanglah Ki Ageng Sela dan akhirnya bersama beberapa orang melakukan serangan bersenjata ke Kraton Demak, namun di alun-alun ia dihadang panah-panah yang dikeluarkan Sultan, hingga salah satu anah panah mengenai ikat pelana kuda Ki Ageng Sela yang mengakibatkan dia terpental dan melarikan diri karena malu.
Ki Ageng Sela kemudian memiliki 6 orang anak perempuan dan anak ketujuh baru laki-laki. Keenam anak perempuan tersebut yaitu Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba, Nyai Ageng Bangsri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, dan Nyai Ageng Pakisdadu. Sedangkan bungsu lelakinya bernama Ki Ageng Ngenis Ki Ageng Ngenis kemudian berputra atau mempunyai menantu Ki Ageng Pamanahan (Bagus Kacung), yang bekerja sebagai pencari rumput bagi kuda-kuda Demak.
Ki Ageng Ngenis adalah kakak seperguruan dari Mas Karebet (Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya) ketika berguru pada Sunan Kalijaga. Maka ketika Hadiwijaya berdaulat di Pajang Ki Ageng Ngenis dibawa. Di Pajang Ki Ageng Ngenis membawa anaknya Bagus Kacung, dan dua keponakannya, yaitu: Ki Juru Martani dan Ki Panjawi. Yang mana akhirnya mereka mendapat pangkat lurah Tamtama dan Bagus Kacung mendapat tanah di daerah Manahan (sekarang Solo) hingga namanya berubah menjadi Ki Ageng Pamanahan. Ki Ageng Pamanahan berputra Raden Sarubut, yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya, dan namanya berubah menjadi Danang Sutawijaya dan berkedudukan di utara pasar, maka dia juga bergelar Raden Ngabehi Saloring Pasar.
Sutawijaya kemudian bergelar Senapati ketika ia memimpin pasukan Pajang untuk berperang dengan Jipang Panolang dibawah kekuasaan (Haryo) Ario Panangsang. Pamanahan, Juru Martani, dan Panjawi sepakat untuk merahasiakan keberhasilan Senapati membunuh Ario Panangsang, dan diakui bahwa yang membunuh adalah mereka, hal ini dilakukan agar hadiahnya tidak sederhana, karena Senapati masih muda dan anak angkat. Maka kemudian Panjawi mendapatkan Pati dan Pamanahan mendapatkan Mataram. Pamanahan juga mengajak Juru Martani dan Senapati serta kerabatnya di Sela untuk turut serta ke Mataram. Dalam perjalanan ke Mataram, di daerah Taji (perbatasan DIY-Klaten Jawa Tengah Sekarang) Pamanahan disambut oleh Kiai Gede Karang Lo, dan ketika menyeberang sungai Opak bertemu dengan Sunan Kalijaga yang sedang mandi (mungkin Sunan Adi, putra Sunan Kalijaga). Setelah menguasai Mataram, Ki Ageng Pamanahan namanya berubah menjadi Kiai Gede Mataram.
Sebelum berangkat ke Mataram, Pamanahan mengunjungi Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa telanjang di gunung Danajaya di Jepara – akibat suaminya di bunuh Ario Panangsang - untuk menyampaikan kekalahan Jipang. Dari Ratu, selain mendapatkan barang material, Pamanahan juga mendapatkan istri-istri mendiang suami Ratu Kalinyamat. Pamahanan juga dititipi perawan untuk Sultan Hadiwijaya, namun dikarenakan belum cukup umur perawan itu oleh Sultan Hadiwijaya dititipkan ke Pamanahan.
Namun penyerahan Mataram tidaklah lancar, sehingga Pamahanan mesti bertapa yang mana dalam tapanya ia ditemui oleh Sunan Kalijaga. Keluhan Pamanahan kemudian disampaikan Sunan Kalijaga ke Sultan Hadiwijaya sehingga dilakukan penyerahan atas Mataram lewat sebuah piagam.
Kasus “pengrahasiaan keberhasilan Senapati” bisa jadi dimaksudkan bahwa sesungguhnya kurang penting peranan kerabat Sela dalam peristiwa terbunuhnya Ario Panangsang dalam pertempuran dengan Pajang di Bengawan Solo. Sehingga bisa jadi ada versi lain dari penguasaan atas Mataram.
De Graaf dengan menyandarkan studinya atas cerita dari Jawa Barat dan berita-berita Barat mengemukan[6], bahwa kepindahan Pamahanan ke Mataram lebih diupayakan mencari posisi aman, akibat tindakan kejahatan Pamanahan seperti perampokan atas harta benda Pajang dan penculikan istri-istri selir Sultan Hadiwijaya (lihat cerita soal penitipan perawan). Di Mataram Pamahan menjadi pencuri kerbau, setelah anggotanya sekitar 30-40 orang ia mulai melakukan aksi perampokan. Dan setelah angotanya berkisar 300 orang dia mulai merebut Mataram. Kisah yang agak baik, seperti diuraikan De Graaf, - bersandar riset H. van der Hosrt - bahwa Pamanahan merebut Mataram dengan kekerasan atas perintah Sultan Hadiwijaya dalam rangka pengislaman, tentu disini juga dipahami sebagai perluasan wilayah Pajang, namun setelah berhasil ia tinggal di Mataram.
Dari semua pemaparan diatas, sedikitnya dapat disimpulkan bahwa penguasaan Mataram dilakukan bukan dengan cara damai.

III. Mataram dari Zaman Hindu hingga Islam

Dalam mitos Jawa, Mendang Kamulan adalah negeri segala asal yang mana hal ini bisa kita tarik dengan kajian sejarah total Anthony Reid yang menemukan adanya kesatuan fisik dan kesatuan manusia Asia Tenggara.
Anthony Reid paling tidak menunjukan tiga hal yang membentuk kesatuan Asia Tenggara, selain kesatuan rumpun bahasa, masih ada dua faktor lagi yang memberi kawasan ini suatu kesamaan sifat. Pertama, penyesuaian dengan suatu lingkungan fisik yang sama. Kedua, suatu jalinan niaga yang tinggi di kawasan tersebut[7]. Namun Anthony Reid masih belum bisa menemukan jawaban apakah kesamaan gejala-gejala demikian harus dijelaskan oleh perpindahan di masa pra sejarah atau oleh hubungan niaga dan politik yang terus berlangsung[8].
Dalam hal hubungan niaga dan politik, kawasan juga dilintasi selain dari dua peradaban besar yang membatasi Asia Tenggara yaitu India dan Cina, tetapi juga dari kawasan Timur Tengah. Dikurun waktu yang disebut Reid sebagai Kurun Niaga (1450-1680 atau abad 15-17)[9], pusat-pusat perdagangan atau pusat niaga pantai (entrepot) adalah adalah Sriwijaya kemudian digantikan Pasai, Melaka, Johor, Patani, Aceh dan Brunei yang kesemuanya menggunakan bahasa Melayu, maka jadilah bahaya Melayu menjadi lingua franca, dimana di Asia Tenggara kelas pedagang kosmopolitan selalu disebut orang Melayu, padahal asalnya bisa dari mana saja, maka kemudian diketemukan budak Sumatera bisa berkomunikasi dengan orang Filipina dan orang-orang Eropa bisa belajar bahaya Melayu di Vietnam.
Kenyataan bahwa pengaruh Cina dan India sampai pada sebagian besar kawasan ini lewat perdagangan maritim, bukan lewat penaklukan atau kolonialisasi, tampaknya menyakinkan kita bahwa Asia Tenggara tetap mempertahankan keunikannya, kendati ia juga meminjam berbagai unsur dari kedua negeri yang lebih besar diatas. Apa yang tidak terjadi (dengan sejumlah pengecualian di Vietnam) ialah bahwa suatu bagian dari kawasan tersebut membina hubungan yang lebih dekat dengan Cina atau India dibandingkan dengan negara tetangganya sendiri di Asia Tenggara. Bangsa Cina selamanya memandang Asia Tenggara (kecuali Vietnam) secara keseluruhan sebagai “Laut Selatan” (Nan Yang). Orang-orang India, Persia, Arab, dan Melayu menyebut kawasan ini “tanah dibawah angin” karena angin musimlah yang membawa perahu-perahu layar melintasi Lautan Hindia[10]. Bagi Reid[11], hal tersebut menunjukan bahwa perhubungan sangat ditentukan oleh pelayaran samudera dan adanya upaya saling mencukupi kebutuhan, dimana hal ini rusak ketika Belanda mulai melakukan praktek monopoli dan kolonialisme.
Namun ketika Reid mengutarakan bahwa pelebaran pengaruh Cina dan India hanya lewat perdagangan maritim bukanya lewat penaklukan dan kolonialisasi, hal tersebut bisa dikritisi dengan fakta sejarah yang menunjukan serangan kerajaan Comandala (India) ke Sriwijaya dan Serangan Cina (Mongol/Tartar) ke Kediri dengan maksud menghukum Singasari, dan Reid sendiri menjelaskan bahwa Cina harus lewat maritim untuk ke Nanyang juga karena disebabkan usaha Vietnam membangun birokrasi dan kemiliteran mencontoh Cina, serta memperjuangkan kesamaan kemerdekaan dan kedudukan yang setara dengan Cina[12], artinya karena penguatan politik dan militer Vietnam yang mencegah Cina melakukan ekspansi ke Asia Tenggara lewat darat.
Mendang Kamulan, yang dalam mitos menurunkan raja-raja tua di Jawa terletak berdasarkan penelitian De Graaf dan Pigeaud terletak di Blora dan istana Angling Darma salah seorang rajanya di Bojonegoro, keduanya berada di Pantai Utara Jawa[13]. Dalam teks Jawa seperti yang dikemukakan oleh Daldjoeni (1984 : 147-148) yang kemudian diacu oleh Suryadi (1995 : 79) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora. Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar (Brandes, 1889a : 382-383) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut : Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung[14].
Menurut De Graaf dengan bersandar pada risetnya W.F. Stutterhem[15], bahwa desa Sela terletak di dekat tempat tempat yang oleh tradisi dicari sebagai tempat Mendang Kemulan yang misterius itu. Disana Raffles masih menemukan sisa-sisa sebuah keraton tua. Stutterhem melihat Kai Ageng Sela, yang dikatakannya “orang keramat yang agung dari Sela”, seorang raja Cailendra. Kata Cailendra dipecahkannya dalam : Caila (Jawa Kuno untuk Sela) dan Indra, dewa langit yang membawa halilintar.
Tentu meragukan kalau Kiai Ageng Sela adalah raja dinasti Syailendra, tetapi hal itu menunjukan upaya merekontruksi sejarah (ingatan) yang remang-remang, dan tentu saja hendak digunakan sebagai alat legitimasi kerajaan. Seperti halnya Kiai Gede Tarub, karena di masa Sanjaya juga diketemukan lokasi keramat yang bernama Tarub. Mpu Prapanca dalam Negarakretagama, pupuh XXX/I, juga melaporkan kunjungan Hayam Wuruk ke tempat suci di Cela dan Tarub[16].
Jika itu kita tarik dengan studinya Reid, yang menunjukan kemungkinan bahwa berbagai kesamaan unsur pada segenap rumpun bahasa Asia Tenggara harus diterangkan dalam tatanan interaksi intensif antara penduduk berbahasa Vietnam, Thai, dan Birma yang berpindah keselatan di satu pihak, dengan para pemakai bahasa Mon-Khmer dan Austronesia yang sudah lebih mapan di pihak lain[17]. Maka sangat mungkin nenek moyang Jawa ada yang berasal dari luar Jawa (khususnya dari Indocina), sehingga sejarah awal Jawa adalah di pantai utara Pulau Jawa. Sebuah penelitian lain mengatakan Sanjaya adalah keturunan dari Indo-Cina
Kalingga adalah kerajaan Hindu yang terletak di daerah Jepara, dengan salah satu rajanya yang terkenal yaitu Ratu Shima (Hsi-ma) di tahun 674, menurut GPH.Soeryo Wicaksono, kira-kira tahun. 732 Wangsa Sanjaya merubah nama Kalingga dengan Mataram. Ia menjadi raja pertama Mataram Hindu, dengan Ibu kota Medang Kamulan. Masa ini juga merupakan masa pendirian candi-candi Siwa di Gunung Dieng. Kira-kira tahun. 750-850 Sailendra dari Sriwijaya menguasai Jawa Tengah, masa berdirinya candi-candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Kalasan. Kira-kira tahun 800 Mataram Hindu terdesak Keluarga Sanjaya menyingkir ke wilayah Jawa Tengah Kira-kira tahun. 925 Jawa Tengah ditinggalkan, di Jawa Timur mulai didirikan kerajaaan-kerajaan (925-1042)[18].
Kekeliruan GPH Soeryo Wicaksono adalah bahwa Sailendra dari Sriwijaya, karena harusnya ia memindahkan ke Sriwijaya. Berarti di Jawa Tengah ada dua wangsa. Pertama Wangsa Mataram Hindu, di wilayah eks karisedenan Kedu sekarang. Kedua Wangsa Sailendra, Budha, di wilayah Bagelen dan Yogyakarta sekarang. Terjadi pernikahan di kedua wangsa tersebut, antara Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya dengan Pramudha Wardani dari wangsa Sailendra. Rupanya pernikahan ini tidak cukup menghentikan permusuhan, sehingga Rakai Pikatan dapat mengalahkan saudara iparnya Balaputra Dewa, yang berdampak pada perpindahan wangsa Sailendra ke Sumatera dan mendirikan Sriwijaya.
Sailendra tadinya adalah bawahan Mataram (dimasa Rakai Sanjaya, 730-750). Namun ketika di masa Rakai Panangkaran, Mataram tunduk kepada Sailendra, sehingga ia bersedia mendirikan candi Kalasan (778), puncak pendirian candi-candi Budha adalah di masa Samarottungga dari Sailendra (825), di masa itu dibangunlah candi Borobudur, Mendut dan Pawon. Samarottungga memiliki dua anak yaitu Pramudha Wardani dan Balaputra Dewa.
Wangsa Sanjaya pindah ke Jawa Timur (Madiun) di masa Diah Balitung, pendiri candi Prambanan, mpu Sindok kemudian berhasil menegakkan wangsa Isana di Jawa Timur dan berjaya di masa Teguh Darmawangsa dengan nama kerajaan yang juga Medang. Kekuasaan Teguh Darmawangsa amburk dalam peristiwa Pralaya, anak menantu Teguh Darmawangsa, Airlangga yang kemudian mampu mengkonsolidasikan kembali kerajaan Medang dengan namanya diganti menjadi Kahuripan.
Kahuripan kemudian di pecah dua menjadi Panjalu dan Jenggala, dan dipersatukan kembali menjadi Kediri. Hingga akhirnya kekuasaan Kediri ditumbangkan Tumapel dan setelah hancurnya Singasari berdirilah Majapahit.
Bisa jadi dijadikannya Mataram menjadi tanah keramat (mahkota) Majapahit – yang ditandai dengan adanya keturunan raja yang bernama Bhre Mataram[19] - karena faktor masa lalu, yaitu bekas kerajaan dan keberadaan bangunan suci, namun kelihatan tidak cukup penting secara ekonomi dan politik, sampai dibuka kembali oleh Ki Ageng Pamanahan.
Cerita lain tentang kekuasaan di Mataram, adalah Prabu Baka, raja Prambanan yang konon berasal dari Bali, dimana Prambanan mempunyai hubungan yang baik dengan Kodrat (Gujarat di India), Medang Kamulan, dan Sumedang (Jawa Barat).
Geografi Mataram dibatasi oleh sungai Progo dan sungai Opak untuk sebelah barat dan timur, utara dibatasi Gunung Merapi dan selatan oleh Laut Selatan. Paling tidak ada dua kekuasaan disana setelah runtuhnya Mataram Kuno (Hindu) dan Kraton Baka, namun tidak model kekuasaan keraton tetapi tanah perdikan, yaitu di sebelah timur (Gunung Kidul dan Prambanan) ada Ki Ageng Giring dan di sebelah barat (Bantul dan Kulon Progo) ada Ki Ageng Mangir. Daerah Mataram, khususnya yang berbatasan dengan Tingkir dan Pengging, kemungkinan di Islamkan oleh Sunan Tembayat. Para penguasa Giring adalah menantu dari Sunan Tembayat. Situs lain yang menunjukan pengislaman Mataram adalah makam keramat Syekh Jumadil Kubra di daerah sekitar Gunung Merapi dan Syekh Bela-Belu, dan Syekh Maulana Maghribi di sekitar Parangtritis pantai selatan. Banyaknya situs keramat di sepanjang aliran sungai Opak kiranya menunjukan bahwa di masa pra Islam daerah tersebut adalah tempat suci, termasuk di muaranya, dimana muncul legenda Ratu Kidul semenjak Majapahit, yang kemudian tempat suci berubah, dari tempat suci pra Islam menjadi tempat suci Islam. Penguasaan Mataram oleh Pamanahan mendorong pengislaman yang besar-besar

IV. Ekpedisi ke Giring dan Mangir

Menceritakan perluasan Mataram ke penghuni-penghuni tua Mataram.
Dalam tradisi Jawa, Ki Ageng Giring rajin bertapa agar keterunannya menjadi raja di Jawa. Tapanya berhasil dengan turunnya wangsit agar Ki Ageng Giring meminum kelapa yang dibawanya. Kelapa itu dibawa ke rumah, tetapi tidak langsung diminum. Ki Ageng Pamanahan datang berkunjung ke rumah Ki Ageng Giring, karena haus maka diminumlah air tersebut. Menghadapi keterlanjuran tersebut, Ki Ageng Giring menceritakan kepada Ki Ageng Pamanahan apa yang telah diminumnya dan meminta agar kelak keturunannya ketujuh boleh menggantikan posisi keturunan Pamanahan.
Giring terletak di pegunungan Sewu (Gunung Kidul). Ki Ageng Giring (Penderesan), seorang penyadap nira, dapat dihubungkan dengan dengan mitos Tunggul Petung, raja Prambanan, rajanya para penyadap nira. Artinya Ki Ageng Giring lebih tua haknya (penduduk asli) dibandingkan Pamanahan. Apalagi kalau mengingat Ki Ageng Giring adalah menantu Sunan Tembayat yang memang berniat membangun kekuasaan. Nantinya Tembayat, Kajoran, dan Giring adalah basis perlawanan atas kekuasaan Mataram. Penyelesaian politik atas Giring juga diselesaikan dengan perkawinan. Ekspedisi militer menjadi agak sulit bagi Mataram, mengingat persekutuan Tembayat, Kajoran dan Giring. Artinya minum air kelapa adalah sanepa tentang intrik politik yang berdampak pada pengakuan sementara Giring atas Mataram.
Hal serupa nampaknya terjadi juga dalam ekspedisi militer ke Mangir yang gagal. Posisi Mangir menjadi kuat karena kademangan-kademangan (sekarang menjadi nama-nama kecamatan di kabupaten Bantul DIY) bersekutu dengan Mangir. Ada kemungkinan Mangir juga didukung penguasa di seberang sungai Progo (kabupaten Kulon Progo DIY sekarang) dan penduduk di aliran sungai Bedog, dari gunung Merapi hingga pantai Selatan. Karena hal itu maka penaklukan Mangir adalah kombinasi antara perkawinan, tipuan politik dan manuver militer.
Bersandarkan cerita tutur yang berkembang. Ki Ageng Mangir (Ki Wanabaya) menyelenggarakan hajatan. Yang dipertuan di Kulon Progo mengirim anak gadisnya untuk membantu Wanabaya. Karena tidak membawa peralatan, maka Ki Wanabaya meminjamkan senjatanya ke gadis tersebut dengan syarat senjata tersebut jangan ditaruh diatas paha (dipangku; bahasa Jawa).
Namun gadis itu alpa yang berakibat pada kehamilannya. Ketika sang bayi dilahirkan berujud ular, dan diberi nama Baru Klinting. Dia disembuyikan dalam sebuah tempayan di pinggir rawa. Ketika si ular semakin besar pecahlah tempayan itu, dan sang ularpun mencari bapaknya hingga ke gunung Merapi. Jalur yang dilewati Baru Klinting menjadi sungai yang bernama Bedog (mencuri dalam bahasa Jawa). Ki Wanabaya bersedia mengakui Baru Klinting menjadi anak asalkan mampu mengelilingi gunung Merapi. Baru Klinting hampir gagal mengelilingi gunung Merapi andaikata ia tidak menjulurkan lidahnya. Namun ketika berhasil lidah itu dipotong oleh Ki Wanabaya sehingga sang ular menjadi tombak dan diserahkan ke anaknya yang menjadi dipertuan di Mangir yang dikenal juga sebagai Ki Ageng Mangir yang sedang mendapat ancaman ekspansi Mataram.
Berdasarkan sketsa tersebut bisa terlihat dari basis pengaruh tanah perdikan Mangir. Sungai yang dibentuk Baru Klinting melambangkan kemakmuran. Pramoedya Ananta Toer mencoba versi baru dengan meletakan Baru Klinting sebagai sosok manusia[20]. Jika kita mengikuti logikanya Pram, maka tafsir sejarahnya bisa diartikan Baru Klinting adalah hasil hubungan gelap yang di-sanepa-kan dengan meletakan senjata di paha. Ditaruh di tempayan hingga pecah ketika sang ular besar, diartikan bahwa sang bayi disembunyikan dan ketika besar dia mencari bapaknya (takon bapa) hingga rahasianya terbongkar, maka ia menyusuri sungai Bedog menyusul bapaknya yang sedang bertapa di Merapi. Apakah mungkin sembari berjalan ia banyak menularkan pengetahuannya kepada para petani (juru mertani) sehingga dilambangkan sungai, dimana sungai akan membentuk kantong-kantong pertanian, tetapi mengapa nama sungainya Bedog (mencuri), apakah ia dalam mempertahankan hidupnya selama perjalanan ke Merapi dengan mencuri.
Jika sanepa ular dan nama sungai Bedog dianggap bersumber dari Mataram, maka itu bisa dipahami sebagai pembunuhan karakter bagi musuhnya, maka kejadiannya bisa sebaliknya.
Syarat mengelilingi gunung Merapi, lidah dipotong, dan dijadikan senjata. Bisa ditafsirkan bahwa Baru Klinting diakui menjadi anak jika bisa menggalang penduduk Merapi untuk membantu Mangir yang sedang dalam bahaya serta jangan mengaku kalau anaknya Ki Ageng Mangir (Wanabaya tua).
Kuatnya Mangir, mendorong Mataram untuk menginflitrasikan anaknya, Pambayun ke Mangir dengan menyamar sebagai penari untuk memikat hati Ki Ageng Mangir, dan itu berhasil maka menikahlah kedua sejoli tersebut hingga membawa kehamilan.
Dalam keadaan hamil Pambayun membuka rahasianya dan mengajak Ki Ageng Mangir untuk menghadap guna memberi hormat ke Senapati. Dan itu disanggupi Ki Ageng Mangir meski dengan berat hati. Syahdan Mataram kemudian membikin pesta untuk memecah barisan pasukan Mangir dan daerah-daerah yang bersekutu dengannya, serta memendekan gapura-gapura. Sehingga tombak Baru Klinting yang harus selalu tegak, dipotong tangkainya sedikit demi sedikit.
Kisah itu menunjukan bahwa ada upaya menjebak pasukan Mangir dan mengeliminir Baru Klinthing. Sehingga ketika sampai di depan Senapati, Mangir dalam kondisi tak berdaya hingga bisa dibunuh dengan dibenturkan kepalanya ke batu singgasana ketika Mangir sedang bersujud hormat di kaki Senapati.

V. Islam dan Keraton Mataram

Menceritakan bagaimana Islam dalam model kekuasaan Mataram.
Berdirinya Mataram, dalam Babad diupayakan untuk mendapatkan legitimasi para tokoh spiritual Jawa, yaitu para wali, terutama sekali Sunan Kalijaga. Pamanahan mendapatkan ramalan bahwa keturunannya akan menjadi raja Jawa dari Sunan Giri. Senapati dan Sultan Agung menjadi raja juga dikisahkan akibat campur tangan spiritual Sunan Kalijaga. Maka dapat dipastikan kalau corak Islam di Mataram sangat mengikuti model kerajaan-kerajaan di pesisir, seperti Cirebon, Demak, Kudus, Jepara, dan Giri-Gresik, berbeda dengan pemahaman umum belakangan ini bahwa model pasisiran berbeda dengan pedalaman.
Sultan Agung bisa dipandang berhasil mendirikan kekuasaan Islam – dibandingkan pendahulunya yaitu Panembahan Senapati dan Prabu Seda ing Krapyak - tidak saja secara politik tetapi juga secara spiritual, dalam pengertian mensintesiskan antara Islam, Jawa dan Kultus raja.
Sultan Agung, dimasa muda bernama raden Jetmiko lalu berubah menjadi raden mas Rangsang. Setelah menjadi raja bergelar Pangeran Ingalaga. Kekuasaan politik (duniawi) sukses terpegang setelah ia menguasai seluruh pulau Jawa kecuali Banten dan Batavia. Kekuasaan duniawi tersebut menjadi kekuasaan spiritual (Islam dengan kultus raja) yang disebabkan oleh takluknya tempat-tempat suci (daerah suci yang berkembang menjadi kerajaan) seperti Cirebon, Demak, Kudus, terutama Giri-Gresik – karena pengaruh keturunan Sunan Giri masih sangat kuat – berhasil ditaklukan Mataram. Namun hal itu menjadi tidak begitu berarti jika tidak didukung oleh perolehan gelar Sunan (Susuhunan) dan Sultan dari Makah, yang mana kedua gelar menjadi batas sikapnya untuk menjadi semakin ketat menjalankan Islam.
Pergantian gelar dari Pangeran Ingalaga menjadi Susuhunan Ingalaga Mataram dilakukan pada peringatan Garebek pada tanggal 16 Agustus 1624 setelah menang Mataram menang atas Madura, yang ini menunjukan dari Pangeran menuju raja seluruh Jawa.
Dalam kesehariannya Sultan Agung memakai kopiah (kuluk) putih dan terompah kayu layaknya seperti santri. Dia juga mengharuskan para pejabat kraton dan para prajuritnya untuk khitan, memotong rambut, dan sholat Jum`at, yang tidak terjadi lagi setelah Sultan Agung wafat.
Dan yang paling berpengaruh, ketika Sultan Agung melakukan perbaikan atas kompleks makam di Tembayat yang dihancurkannya karena menjadi basis pemberontakan para agamawan (Islam dan pertapa Hindu-Budha). Sultan Agung juga berziarah ke makam keramat tersebut dan sepulangnya dari sana ia mengubah penanggalan Jawa menjadi penanggalan Islam.
Meski menegakan “syariat Islam” rupanya Sultan Agung juga masih memberikan tempat para pertapa Hindu-Budha. Namun oleh masyarakat Mataram mereka dipandang sebagai orang suci Islam, karena penerimaan para pertapa tersebut pada mistik Islam (tasawuf) dan perilaku para pertapa yang selalu menjaga makam orang-orang suci Islam.
Hubungan baik dengan Makkah dimungkinkan mengingat Mataram menguasai hampir seluruh pesisir pulau Jawa dan beberapa tempat di Sumatera (Palembang dan Jambi) serta Kalimantan (Sukadana). Menurut mitos, karena kesaktiannya Sultan Agung bisa setiap Jum`at sholat di Makkah, dan Sultan Agung membangun kompleks makam di Imogiri, karena tanah Makkah yang dikirim jatuh ke lokasi tersebut.
Dengan menggunakan sarana laut rupanya Sultan Agung mengirim utusan ke Makkah (1641-1642) untuk meminta gelar Sultan seperti yang diperoleh Pangeran Banten. Inggris bisa dikatakan cukup membantu pelayaran tersebut, hingga berita soal pemberian gelar tersebut berasal dari berita Inggris, dalam logat Inggris gelar tersebut adalah Sultan Abdul Mahometh Moulana Matarani (maksudnya mungkin Sultan Abdulah Maulana Matarani). 1 Juli 1641 ia telah disebut Sultan Mataram[21]. Semasa hidupnya gelar Sultan Agung Anyokrokusuma tidak dikenal, nama itu muncul setelah penulisan Babad di masa Pakubuwono III (1749-1788)
Setelah Sultan Agung, corak Islam semakin menurun di Mataram, terputusnya Mataram dengan daerah pesisir dan pembatasan hubungan dengan Mataram. Perkembangan internasional Islam yang memunculkan reformasi (pembaharuan atau modernisasi) kalaupun masuk ke Jawa hanya bergaung di daerah pesisir.

G. Kesimpulan

Dimana kita hendak mencari otensitas sejarah, jawabannya adalah bersumber pada apa kita mencoba memahami sejarah dan perkembangan masyarakat. Masyarakat memiliki lokalitas dalam arti ia berada dalam identitas yang saling berbeda; plural dalam pengertian horizontal – gender, suku, ras – maupun vertikal – akses ekonomi dan politik. Nasionalitas merujuk pada karakter umum kekuasaan, mulai dari situasinya, cita-cita dan proyeksinya hingga kendalinya. Globalitas masyarakat adalah dialektika emansipasi kemanusiaan antar keyakinan, pemikiran dan sistem kebudayaan. Secara sederhana lokalitas-nasionalitas-Globalitas adalah proses membangun relasi yang utuh antara geo sosial-ekonomi-politik dan cara pandang kemanusiaan yang bisa jadi ideologi yang membebaskan.
Jika lokalitas, nasionalitas, globalitas kita jadikan aras di mana tindakan dilakukan dan pemikiran dikembangkan melalui spektrum fundamental sosial, politik, dan ekonomi masyarakat, maka sejarah masyarakat Jawa adalah plural, dalam pengertian perkembangan agama, kebudayaan, cara produksi dan kekuasaan adalah lahir dari dialektika kawasan. Maka menjadi keliru kemudian meletakan kebudayaan Mataram dalam pengertian pedalaman yang anti pesisir, anti perdagangan dan anti laut serta tertutup.
Mataram jelas memiki armada dan pelabuhan yang memungkinan dia berhubungan bahkan menyerap pengetahuan, budaya bahkan aspirasi politik orang-orang luar negeri. Dan rupanya penulisan sejarah di masa surutnya Mataram berdampak pada penulisan sejarah Jawa seperti yang kita kenal selama ini, yang juga diselimuti situasi-situasi lupa. Para penulis Babad kiranya tidak mengetahui secara detail Mataram Hindu maupun Majapahit bahkan sewaktu Mataram didirikan hingga masa kejayaanya

Daftar Pustaka

Anonim, Kelahiran Hanacaraka, www.jawapalace.org
De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, De Eeste Moslimse Vorstendommen op Java, Studien Over de Staatkundige Gesshiedenis van de 15 de en 16 de euw, No. 69 seri Verhandelingen van het KITLV, KITLV, Leiden 1974, terjemahan Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens (ed), Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001
De Graaf. H.J., De Regering Van Panembahan Senapati Ingalaga, KITLV, Leiden, 1954, Terjemahan Javanologi, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati, Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, 1987
-----, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, Cetakan Pertama, 1986
GPH .Soeryo Wicaksono, Indonesia Sekilas Catatan Tahun Demi Tahun, http://www.jawapalace.org
Pramoedya Ananta Toer, Drama Mangir, KPG, Jakarta, Cetakan Keempat, 2000
Reid, Anthony, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume One: The Lands Below the Winds, Yale University Press, New Haven and London, 1988, terjemahan Mochtar Pabotinggi, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cetakan 1, 1992
---, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Yale University, 1993, terjemahan R. Z. Leirissa & P. Soemitro, Dari Ekspansi hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Asia Tenggara 1450-1680, Jilid II, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Edisi 1, 1992
Slamet Mulyana, Nagarakretagama, Bharata Karya Askara, Jakarta, 1979



[1] Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis II, Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999, H: 231
[2] Anonim, Kelahiran Hanacaraka, www.jawapalace.org
[3]De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001, h: 21-22

[4] Ibid
[5]De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001, h: 77
[6] H.J. De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati, Grafiti Perss&KITLV, Jakarta, 1987, Cetakan Kedua, h: 46
[7] Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cetakan 1, 1992, h: 6

[8] Ibid, h: 9
[9] Ibid, h: 10
[10] Ibid, h: 9
[11] Ibid, h: 9
[12] Ibid, h: 13
[13] De Graaf, H. J & Pigeaud, T. H, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Cetakan IV (ed. rev), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001, h: 66

[14] Anonim, Kelahiran Hanacaraka, www.jawapalace.org

[15] H.J. De Graaf, Awal Kebangkitan Matarm, Masa Pemerintahan Senapati, PT Pustaka Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, Edisi Kedua, h: 10
[16] Slamet Mulyana, Nagarakretagama, Bharata Karya Askara, Jakarta, 1979, h: 288
[17] Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cetakan 1, 1992, h: 6
[18] GPH .Soeryo Wicaksono, Indonesia Sekilas Catatan Tahun Demi Tahun, http://www.jawapalace.org


[19] Slamet Mulyana, Nagarakretagama, Bharata Karya Askara, Jakarta, 1979, h: lampiran
[20] Pramoedya Ananta Toer, Drama Mangir, KPG, Jakarta, Cetakan Keempat, 2000
[21] HJ. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Grafiti Pers&KITLV, Jakarta, Cetakan Pertama, 1986, h: 276

No comments: