Sunday, December 16, 2007

Tanah Papua


Jangan Memprovokasi Kekerasan Baru
Jumat, 17 Maret 2006


JAKARTA (Suara Karya): Supremasi otonomi khusus (otsus) di Papua harus tetap dikedepankan. Kebijakan pemerintah (pusat) yang menimbulkan persoalan di Papua harus ditangani dan ditanggulangi pula dengan ekstra hati-hati. Sebab, bukan tidak mungkin kerawanan kecil sekalipun bisa memicu konflik bersenjata berkepanjangan dan kekerasan baru.
Aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jhonson Panjaitan, Hendri dan Gunawan mengutarakan hal itu kepada wartawan di Jakarta, kemarin. Khususnya dengan kaitan pro-kontra pemilihan kepala daerah (pilkada) di Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar), PBHI meminta semua pihak agar tidak memprovokasi sehingga timbul kekerasan baru di Irjabar atau Papua. Melainkan berusaha menciptakan situasi yang kondusif sehingga penyelesaian damai menjadi satu-satunya pilihan.

Dalam Otsus, kata Jhonson Panjaitan, pemekaran Papua atau Irian Jaya tercatat ada mekanismenya. Sayangnya, mekanisme tersebut tidak diindahkan dalam pemekaran Irjabar. Bahkan dalam pelaksanaan pilkada Irjabar itu sendiri aturan main yang terdapat dalam otsus tidak diindahkan.

Meski PBHI termasuk mendukung warga masyarakat yang kontra pemekaran dan Pilkada Irjabar, tutur Jhonson Panjaitan lebih lanjut, PBHI tidak akan menggugat hasil Pilkada atau berusaha menggagalkannya. PBHI tetap mendukung siapapun yang terpilih dalam pilkada Irjabar.

Hanya saja PBHI akan terus melakukan konsolidasi dengan tokoh-tokoh masyarakat, adat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya agar otsus tetap menjadi acuan dalam setiap pengambilan kebijakan dan perkembangan pembangunan di Papua.

Pro-kontra yang terjadi dalam pemekaran dan Pilkada Irjabar, diharapkan Jhonson Panjaitan tidak menjadi embrio konflik permanen di Papua. Artinya, pendukung salah satu peserta pilkada yang gagal jangan sampai membuat intrik-intrik dan provokasi konflik. "Sekarang ini Papua termasuk sebagai wilayah yang dilanda konflik. Agar tidak semakin tersulut, maka setiap pro-kontra harus diselesaikan secara damai," ujar Jhonson Panjaitan.

Yorrys Th Raweyai, salah satu peserta pilkada di Provinsi Irjabar sebelumnya mengatakan ada kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan KPUD di sana. Kertas suara yang dibawa ke TPS hanya disimpan dalam kantong plastik dan bukan dalam amplop tertutup yang disegel. Atas fakta itu, tim suksesnya tengah menyusun gugatan berdasarkan temuan-temuan di lapangan. Artinya, mereka akan menggugat berdasarkan kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam pilkada.

Menanggapi hal itu, Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Irjabar Rudi Maturbongs mengatakan pihaknya tengah menentukan apakah temuan dan laporan termasuk dalam kategori pelanggaran atau tidak. Kalau terjadi pelanggaran, dibagi lagi apakah termasuk ke dalam pelanggaran administratif ataukah pidana. Namun panitia pengawas tidak berhak memberi sanksi atas pelanggaran yang terjadi. "Jika terbukti temuan dan laporan itu merupakan pelanggaran adminstratif maka akan diproses KPUD. Namun kalau pidana akan dilaporkan ke pihak kepolisian," demikian Rudi. (Wilmar P)
Copy Right ©2000 Suara Karya Online
Powered by Hanoman-i

Kapolri Diminta Tindak Anggota Polri yang Aniaya Terdakwa
SUARA PEMBARUAN DAILY

[JAKARTA] Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mendesak Kapolri memerintahkan Kapolda Papua agar ratusan polisi yang mengawal sidang terdakwa kasus bentrokan Abepura di Pengadilan Negeri (PN) Jayapura, tidak menteror terdakwa dan kuasa hukum terdakwa. Dalam persidangan selama ini, sejumlah anggota polisi yang mengamankan persidangan, justru menteror dan memukul para terdakwa dan kuasa hukum terdakwa.

Demikian seruan PBHI yang disampaikan Ketua Badan Pengurus PBHI, Johnson Panjaitan, Staf Divisi Wilayah Konflik PBHI Irfan Fahmi dan Kadiv Kajian dan Kampanye PBHI, Gunawan di kantor PBHI Jakarta, Jumat (26/5).

PBHI meminta Ketua PN Jayapura, Kejaksaan Tinggi Jayapura, dan Kapolda Papua segera memindahkan penahanan para terdakwa dari Mapolda Papua ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura. Hal ini dilakukan karena keamanan dan kesehatan terdakwa di tahanan Mapolda Papua tidak terjamin, kata Johnson.

PBHI mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim independen pencari fakta atas peristiwa bentrokan Abepura 16 Maret 2006 dan seluruh proses penegakan hukum perkara tersebut.

Terdakwa kasus tersebut terdiri dari 16 orang, antara lain Othen Dapyak, Elkana Lokobal, Musa Asso, Moses Lokobal, Mon Jefri Obaja Pawika, Matias M Dimara, Selvius Bobii, Ferdinandus Pakage, Luis Gedi, Nelson Rumbiak, Elyas Tamaka, Markus dan Blesiur Mirin.
Johnson menjelaskan, pada 17 Mei 2006, 16 orang terdakwa tiba di PN Jayapura untuk mengikuti persidangan. Sebelum sidang dimulai, para terdakwa ditempatkan di ruang tunggu terdakwa yang terletak di bagian belakang gedung pengadilan.

Selama 1 jam menunggu sidang, para terdakwa dipukul anggota Polri (Brimob). Sejumlah anggota polisi itu memukul para terdakwa menggunakan rotan, popor senjata serta ditendang. Tidak berhenti sampai disitu, tindak kekerasan juga kembali dilakukan saat setelah para terdakwa usai mengikuti persidangan. Demikian pula saat mereka akan dinaikkan ke dalam kendaraan yang mengangkutnya kembali ke tempat penahanan.

Minta Dipindahkan

Dalam persidangan perkara atas nama terdakwa Selvius Bobii, terdakwa meminta kepada majelis hakim untuk dipindahkan penahanannya ke LP Abepura dengan alasan keselamatannya tidak terjamin bila masih ditahan di ruang tahanan Polda Papua. Namun hakim menolak dengan alasan polisi masih membutuhkan untuk mengungkap tersangka lain.

Pada 23 Mei 2006, sidang kasus 16 orang kembali digelar secara maraton dengan agenda pembacaan nota keberatan (eksepsi) para terdakwa. Dimulai dengan sidang berkas perkara atas nama Othen Dapyak Dkk (6 orang). Dalam persidangan ini salah satu terdakwa Mon Jepfri Obaja Pakiwa mengalami sakit, sehingga hakim pun menunda persidangan dan memerintahkan jaksa mengurus terdakwa yang sakit itu. Kemudian diketahui, Mon Jefri mengalami dehidrasi dan kekurangan gizi.

Suasana tegang terjadi dalam persidangan Selvius Bobii yang mengagendakan pemeriksaan saksi. Saat itu ruangan sidang diwarnai dengan ungkapan caci maki kepada Selvius Bobii yang dilontarkan sejumlah anggota polisi yang meramaikan sidang.

Sidang pun terganggu, ditambah lagi anggota polisi membuat gaduh suasana dengan berteriak sembari memukul-mukul pintu dengan menggunakan tongkat rotan yang dibawanya.
Teror dan intimidasi juga ditujukan kepada penasehat hukum. Saat sidang diskor, para penasehat hukum yang sedang berjalan ke luar gedung pengadilan untuk beristirahat, dilempari batu kerikil, disertai dengan ungkapan caci dan maki bahasa kotor.

Johnson mengatakan, tindakan kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan anggota polisi terhadap para terdakwa yang sedang menunggu persidangan, nyata-nyata sebagai suatu tindak kriminal (pidana).

Untuk itu perlu dilakukan tindakan hukum kepada para pelakunya. Tindakan hukum tersebut bukan hanya penting bagi penegakan hukum, tetapi juga untuk menegakkan kewibawaan institusi Polri di hadapan publik yang telah tercoreng akibat perilaku anggotanya tersebut.

Dikatakan, dengan adanya tindak kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat Polri terhadap para terdakwa di dalam gedung pengadilan, makin memperkuat dugaan, keberadaan para terdakwa dalam tahanan Polda Papua, mengalami tindakan yang lebih buruk lagi dari apa yang mereka alami di dalam gedung pengadilan.

Terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan aparat Polri ini, majelis hakim dan pengadilan patut untuk dimintai pertanggungjawaban atas kejadian ini. Bukan hanya karena gagal dalam memberikan rasa aman dan kenyamanan bagi para terdakwa, tetapi juga gagal dalam menegakkan kewibawaan dan kehormatan pengadilan yang telah diinjak-injak oleh perilaku aparat Polri yang sudah dapat dikategorikan contempt of court.
[E-8]
Last modified: 27/5/06

ANTARA News
Nasional
16/03/07 20:53
PBHI: Tutup Segera PT Freeport

Jakarta (ANTARA News) - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (PBHI) menilai PT Freeport merupakan akar masalah yang ada di Papua,
sehingga harus segera ditutup.

Pernyataan BPHI tersebut terkait dengan peringatan bentrokan 16 Maret 2006 yang
terjadi di Unversitas Cenderawasih Jayapura, Papua.

Kepala Divisi Kajian dan Kampanye PBHI Gunawan di Jakarta, Jumat mengatakan
persoalan yang mendasar di Papua adalah eksploitasi sumber-sumber agraria yang
menghasilkan kerusakan lingkungan yang sangat parah.

Gunawan menilai sangat ironi, di tengah kekayaan sumber-sumber agrarianya yang
sanggup memperkaya segelintir orang di New York dan Jakarta, orang Papua
kelaparan dan kedinginan.

Kegelisahan orang Papua terhadap situasi tersebut, lanjut Gunawan, bagaikan api
dalam sekam yang sangat mudah menjadi ajang provokasi bagi tindakan kekerasan,
yang justru menjadi kontraproduktif bagi penyelesaian damai dan demokratis
persoalan Papua.

Imbas penting dari bentrokan tanggal 16 Maret 2006 adalah, diurungkannya rencana
Sidang Istimewa DPRP dan MRP dengan agenda pokok membahas menutup operasi
penambangan Freeport di Papua.

"Oleh karena itu, PBHI memandang diperlukannya kombinasi antara `agrarian
reform` dengan `security sector reform` khususnya di bidang `counter insurgency`
dalam rangka penyelesaian damai Papua," katanya.

Kasus bentrokan 16 Maret 2006 di Uncen itu, bermula dari insiden kekerasan di
Mile 72, ketika pada 21 Februari 2006, Tim Task Force Freeport yang terdiri dari
Brimob Polda Papua Detasemen B Timika dan satpam Freeport yang dipimpin AKP I
Ketut Surana bentrok dengan rakyat penambang tradisional.

Aksi massa yang disertai kekerasan pun terus terjadi, seperti pemblokiran dan
pengrusakan di Mile 72-74 Mimika Papua, pengrusakan Plaza 89 Jakarta 23 Februari
2006, pengrusakan Hotel Sheraton Timika Papua 12 Maret 2006, dan Bentrokan 16
Maret 2006 di Universitas Cenderawasih Jayapura Papua.

"Setelah berbagai insiden-insiden kekerasan tersebut, aparat maupun rakyat dan
para demonstran telah diadili, namun salah satu esensi dari akar permasalahan di
Tanah Papua, yaitu Freeport masih tegak kokoh berdiri, bahkan perlawananan atas
Freeport seakan mati," demikian Gunawan.(*)
Copyright © 2007 ANTARA

* Kamis**, 01 November 2007*
*Soal Penangkapan Aktivis Papua
Komnas HAM Minta Penjelasan Polri *

Jakarta - Penangkapan terhadap mantan relawan Elsham Papua, Iwangin Sabar Olif yang kini “mendekam” diperiksa di Mabes Polri (26/10) mendapatkan reaksi dari sejumlah LSM, antara lain Elsham Papua, Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Imparsial dan LBH Jakarta. Sebaliknya, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mendesak agar Polri, bukan saja menuntaskan kasus tersebut, tapi juga menjelaskan alasan penangkapan dan penahanan Iwangin. Sabar telah ditangkap ber-dasarkan Pasal 160 KUHP atas tuduhan penghasutan, serta Pasal 134 KUHP atas tuduhan penghinaan negara.

Sabar sendiri dituding melakukan penyebarluasan layanan pesan sms dengan mem-forward sms yang berisi barisan kata-kata dengan penutup beratasnamakan “Maya IPDN Bandung”.

Atas hal ini, program manager IHCS Gunawan, seusai laporan ke Komnas HAM (31/10) dan bertemu dengan Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Nurkholis dan Wakil Ketua II Komnas Ridha Saleh, mengungkapkan bahwa kasus ini harus dijelaskan oleh kepolisian. Mereka mempertanyakan alasan membawa Iwangin ke Jakarta. Apalagi, disebutkan pula adanya keterlibatan Densus 88 dalam penangkapan itu.

“Polisi juga telah melakukan praktik diskriminasi hukum terhadap Sabar karena dia hanya mendapatkan sms. Ada nama lain yang meng-sms dia misalnya Marto Yuwei, atau yang mengetik nama di sms itu seperti Maya,” papar Gunawan.

Bagi Gunawan, kasus ini dapat menjadi ancaman serius bagi pembela HAM. “Kami juga meminta Sabar dikembalikan ke Papua karena pasal yang dipergunakan hanyalah penghasutan, yang tak perlu dibawa ke Mabes Polri, tapi cukup di Papua saja,” ujarnya.
Polri memang membawa Sabar dengan alasan ponsel yang bersangkutan bisa diteliti dengan alat yang lebih canggih sehingga bisa diperoleh informasi siapa aktor utama yang pertama kali mengedarkan sms itu.

Selain penangkapan Sabar dipandang sebagai wujud pelanggaran Polri terhadap hukum, LSM itu mengharapkan tindakan proaktif dari Komnas HAM karena ini merupakan ancaman serius bagi para pembela HAM. “Kami telah membentuk Tim Advokasi Pejuang HAM Papua yang merupakan koalisi pengacara HAM di Jakarta dan Papua,” ujarnya.

Nurkholis saat ditemui di Kantor Komnas HAM, mengatakan bahwa ada dugaan sementara soal diskriminasi dari Densus 88 terhadap Sabar. “Diskriminasi karena sms yang disebarkan oleh Sabar bukan satu-satunya dan Sabar bukan orang pertama. Sebelum itu, banyak sms yang sama yang juga diduga bukan hanya beredar di Papua, tapi juga di Jakarta,” ujarnya.
Menurut Nurkholis, kalau ini fakta hukumnya, mengapa tidak diusut juga sms yang beredar sebelumnya maupun yang setelahnya. Nurkholis mendesak agar kasus ini segera dikembalikan ke Papua karena dengan melimpahkan kasus ini ke Mabes Polri justru menambah kasus ini makin ruwet karena menjadi isu besar. “Menurut saya, kenapa bukan handphone-nya saja yang dibawa ke sini (Jakarta-red),” katanya. (sihar ramses simatupang)
*Copyright © Sinar Harapan 2003

Polisi Perlu Beri Penjelasan soal Penangkapan Iwangin
Kamis, 01 November 2007

Jakarta, Kompas - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengharapkan polisi segera memberi penjelasan atas penangkapan aktivis Lembaga Pendidikan Hukum dan Demokrasi, Iwangin Sabar Olif. Penjelasan itu dibutuhkan agar masyarakat di Papua, khususnya para aktivis, tidak resah karena dalam proses penangkapan itu terlibat anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror.

Hal tersebut dikemukakan komisioner Komnas HAM, Ridha Saleh, Rabu (31/10), setelah sebelumnya menerima aktivis HAM yang mengadukan penahanan Iwangin. Saat ini Iwangin yang ditangkap pada tanggal 18 Oktober lalu masih ditahan di Markas Besar Polri, Jakarta.

Gunawan, salah satu aktivis yang turut mengadu ke Komnas, mengatakan, Iwangin ditangkap karena diduga menghasut dan menghina kepala negara. Penghasutan itu terkait dengan penyebaran layanan pesan pendek (SMS) yang berisi antara lain dugaan genosida terhadap warga Papua melalui makanan beracun.

Para aktivis menilai penangkapan itu janggal karena polisi tidak menangkap orang yang mengirim SMS kepada Iwangin serta penulis awal pesan itu.

Selain itu, setelah ditangkap di Papua, Iwangin dibawa ke Jakarta dan ditahan di Mabes Polri.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Humas Polda Papua Kombes Agus Rianto mengemukakan, pemindahan Iwangin ke Jakarta sepenuhnya dilakukan untuk mempercepat pengembangan penyelidikan.

”Kami memiliki keterbatasan peralatan untuk membuktikan pengakuan tersangka. Sejauh ini kami belum menerima hasil pemeriksaan dan penelusuran tersangka lain di Jakarta. Di Papua, polisi menelusuri berdasarkan keterangan tersangka. Bisa saja jika kami menemukan tersangka lain, Iwangin tidak lagi berstatus tersangka,” ungkap Agus Rianto. (JOS)
Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

No comments: